Tampilkan postingan dengan label cuap-cuap. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cuap-cuap. Tampilkan semua postingan

My Life (I'm Thirty Something)

 

Udah lama banget aku nggak nulis. Kenapa? Karena mungkin aku ngerasa udah sedikit bisa merasa bahagia. Sehingga aku nggak perlu menulis sebagai salah satu jalan untuk menghibur dan menyemangati diri. Dan menurutku itu hal yang baik sih. Makanya aku santai aja. Toh, aku nggak mengharap apa-apa dengan menulis blog ini kecuali menjaga agar diri ini tetap waras.

Dan hari ini aku berfikir untuk menulis lagi. Karena ada satu hal yang menjadi ganjalan dan aku nggak ingin hal ini malah menjadi penyakit yang mengganggu kebahagiaan hatiku. Toh, siapa sih yang baca blog ini? Kecuali mereka yang tersesat dan nggak sengaja terdampar menemukan tulisan yang aku yakin ini bukanlah hal yang menarik. 

Sekali lagi, aku menulis hanya untuk menenangkan hatiku. Ya, sebegitu self-sentris-nya aku. But why not? Aku hanya mencoba untuk menyayangi dan melindungi diriku sendiri. Haha 

Di usiaku yang hampir 33th, aku nggak banyak lagi mengalami kontemplasi2 yang berarti. Life dilemma atau krisis dalam hidup udah aku lewati sebelum menginjak usia 30. Alhamdulillah aku mampu berdamai dengan diri sendiri, dengan orang tua, dengan keadaan yang menjadi takdirku. Dan itu membahagiakan menurutku. Membuat hidupku jauh lebih mudah. Dan aku banyak2 bersyukur dengan hal tersebut.

Aku yang masih menyandang status bersendirian juga nggak merasa terlalu terbebani. Satu hal yang aku juga syukuri, aku nggak diuji Allah dengan fitnah lawan jenis. Maksudku, aku bukan tipe cewek yang haus akan perhatian dan kasih sayang dari lawan jenis. Aku punya temen2 yang peduli, kasih sayang yang cukup dari keluarga, dan komunitas yang baik untuk bisa menjalani hidup dengan nyaman. Jadi, aku nggak begitu merasa kesepian dengan statusku yang sekarang.

Apa aku nggak tertarik dengan lawan jenis? Haha. Alhamdulillah aku merasa masih normal. Aku suka dengan cowok ganteng. Aku pernah merasa tertarik dengan senior, atau teman saat bersekolah. Tapi, aku memilih untuk menjadi diriku yang bebas dengan tidak mengikatkan diri pada sebuah hubungan bernama pacaran. Aku nggak suka terikat atau mengikat. Aku nggak suka diatur dan nggak mau juga terlalu banyak mengatur. Aku, lebih suka bertanggung jawab terhadap diriku. Aku nggak suka terbebani dengan orang lain. Karena aku sendiri merasa diriku sudah cukup menyita waktu dan pikiranku. Ya, aku se-self-sentris itu.

Tapi sekali lagi, so what? Toh, aku nggak menyakiti siapapun. Aku berusaha untuk menjaga diriku agar nggak tersakiti. Dan aku merasa tidak menyakiti siapapun. Saat SMP, ada teman yang mengaku naksir aku. Tapi nggak aku tanggepin karena dia nggak bicara langsung padaku. Dia justru mengakui itu di hadapan teman-temanku yang lain yang kebetulan saat itu aku juga berada di ruang yang sama. Tapi, apa yang bisa aku lakukan selain pura2 nggak mendengarnya? Toh, dia nggak bicara langsung padaku 

Saat lulus SMA, seorang teman mengungkapkan perasaannya padaku. Sekedar mengungkapkan perasaannya. Karena dia tau aku akan pergi jauh. Melanjutkan kuliah ke kota lain. Dia pun sudah merencanakan untuk bekerja di kota yang jauh berbeda dengan kota tujuanku. Lalu, aku harus membalas apa? Akay hanya jujur tentang perasaanku saat itu. Bahwa aku nggak melihat dia lebih dari sekedar teman. Dan aku juga nggak menutup jalan untuk dia. Kalo dia mau berjuang, aku persilakan. Tapi, aku nggak bisa menjanjikan apapun. Karena aku memang se-gamang itu saat itu.

Saat kuliah, aku nggak lagi melihat perasaan tertarik pada lawan jenis sebagai sebuah prioritas. Ada hal yang lebih urgen yang menjadi fokus perhatianku saat itu. Perbaikan diri. Rehab jiwa. Iya, sudah sejak lama aku merasa "there's something wrong with me". Dan Alhamdulillah saat aku kuliah Allah memberi jalan untuk aku menganalisa, memperbaiki, dan mulai membenahi hal-hal yang menyangkut diriku. Fokus pada diriku sendiri. Karena aku pikir, nggak mungkin aku membangun sebuah hubungan jika aku nggak menyembuhkan diriku saat itu. 

Lulus kuliah, aku kembali ke keluargaku. Salah satu faktor terbesar adanya "something wrong" pada diriku. Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa berdamai dan rekonsiliasi. Tapi, Alhamdulillah. Sampai aku tiba di titik hari ini. Meski kata orang usia thirty something adalah usia rawan, harusnya sudah menikah dan punya anak, but once again, so what? Hidupku, aku yang menjalaninya. Dan aku sudah berusaha menyelaraskan dengan orang2 yang relate dengan kehidupanku. Dan aku Alhamdulillah tipe orang yang nggak terlalu terpengaruh dengan apa yang berada di luar duniaku.

Well, tulisan ini mungkin cuma sebagai pengingat dan penguat aku dalam menjalani usiaku saat ini. Age is just a number. Menikah cuma satu dari sekian stase dalam hidup. Ada yang memilikinya, ada juga yang enggak. Dan itu pun hanya perkara di dunia. Sementara di akhirat nanti (kalo Allah takdirin masuk syurga), setiap orang akan bersama dengan pasangannya masing2. Itu janji Allah. 

So, haps... Cheer up lah. Hidup kamu toh nggak menyedihkan amat. Your heart's more at ease, now right? Ada saat sedih atau terluka adalah hal yang biasa dalam hidup. Tapi kamu toh sekarang sudah tahu bagaimana rasanya bahagia itu. Jadi berbahagialah, haps! Kamu berhak kok mendapatkannya. 






Talk to whom? Your Mother?


Entah sy yg nggak gaul atau konservatif, tapi telinga saya gatal minta ampun saat siang ini sy duduk diatas angkot, harus mendengarkan percakapan seorang ibu dan anak gadisnya. Karena mereka berbicara dengan volume cukup kencang, maka mau tidak mau percakapan mereka mampir ke telinga saya. Sayangnya, saya tidak bawa headset hari ini.

Anak gadis : "Mama ini makanya besok disiapin berkas-berkasnya. Gua juga kan yang repot, Ma. Untung nggak ada yang ketinggalan."

Si Mama : "Iya, untung KTPnya nggak ketinggalan. *sambil melihat ke arah berkas ditangannya* Ini elo kok nggak tanda tangan? Kan kemaren dibilangin di surat ini lo tanda tangan."

Anak gadis : "Iya tah ma? Gua nggak tau. Lagian, itu fotokopian bego. Ngapain dia press segala. Lah yang perlu di press cuma ijazah, surat itu di press juga."

Uuhh... telinga saya gatal banget. Saya nggak terbiasa mendengar percakapan seperti itu antara ibu dan anak. Kalo sesama teman sih menurut saya masih wajar. Apalagi anak-anak muda yang mau terlihat gaul.

Sepanjang perjalanan, saya mengernyit pahit saat si anak gadis mengucapkan kata-kata yang menurut saya agak kasar. Yang Setan lah. Gila lah. Dan gua-elo untuk ibu dan anak menurut saya tuh agak gimana gitu.

Tapi, mungkin itu persepsi saya sendiri. Karena memang saya orang jawa yang diajari tata krama terhadap orang tua. Dan mungkin standar tata krama di keluarga saya berbeda dengan standar ibu dan anak gadisnya tadi. Kalo di keluarga saya, cara saya berbicara kepada orang tua saya tidak sama dengan ketika saya berbicara dengan teman saya. Dan, mungkin standar itu yang masih saya bawa.

Haha, this is life. You should know that everything doesnt revolve only around you, haps.

Tapi saya bersyukur karena diajari yang baik oleh orang tua saya. Orang tua saya mengajari tata krama saja, saya masih sering khilaf dan nggak sopan ke orang tua saya. Apalagi kalo saya nggak diajari tata krama. Haha.

Dan alhamdulillah angkot yang saya naiki sudah sampai di tempat tujuan. Segera saya bayar ongkos angkot dan melenggang pergi.


Bahagia Itu Sederhana



Edisi : Pandai Bersyukur

Awalnya, aku begitu kagum dengan kejadian yang terjadi pada temanku ini. Sebut saja Dya. Aku baru tahu setahun kemarin kejadian yang Dya alami. Dan menurutku, itu sebuah hal yang begitu menakjubkan. 

Dya sangat jarang bahkan enggan jika diajak pergi ta’lim (mendengarkan ceramah) di masjid. Berbeda dengan sang adik, Ars yang memang senang menghadiri ta’lim. Beberapa kali Ars mengajak Dya untuk menghadiri ta’lim. Tapi entahlah, ada saja alasan Dya untuk tidak ikut. Meskipun begitu, Ars tak bosan-bosannya mengajak Dya untuk ikut menghadiri majelis ta’lim. Sampai suatu ketika, Dya memutuskan untuk ikut Ars menghadiri ta’lim di suatu masjid yang terkenal bagus, dingin, dan nyaman di samping area public space di Bandar Lampung. 

Ars tidak bercerita banyak padaku kecuali: “Setelah ta’lim selesai, Dya pergi ke toilet. Tiba-tiba ada seorang Ibu yang mendekatiku bertanya tentang Dya. Maka kukatakan bahwa Dya adalah kakakku. Lalu Ibu tadi menyebutkan bahwa ia hendak mencarikan istri untuk anak laki-lakinya. Dan Ibu tadi berkenan dengan Dya.”

Maka perkenalan pun terjadi. Ibu tadi adalah istri salah satu pejabat di Bandar lampung. Background keluarga si laki-laki dari kalangan terpandang dan berada. Anak laki-laki yang sedang ia carikan istri pun ternyata sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai PNS. Meski tidak setampan artis-artis di Televisi, tapi si laki-laki memiliki wajah yang rupawan, enak dipandang. Bawaannya adalah mobil Pajero Sport mentereng. Tempat makannya bukan kelas kaki lima melainkan hotel bintang lima. Dan ia termasuk anak yang patuh pada perintah orang tua. Padahal, banyak yang menolak perjodohan dengan alasan “Ini kan bukan lagi zaman Siti Nurbaya!”

Maka, tak ada alasan bagi Dya untuk menolak pinangan tersebut. Pernikahan pun diselenggarakan dengan cukup mewah dan meriah. Maklum, undangan dari pihak keluarga laki-laki kebanyakan dari kalangan pejabat maupun PNS. 

Ohya, bagaimana dengan kondisi keluarga Dya? Maka, saya beri judul di atas dengan “BAHAGIA ITU SEDERHANA”. Karena Dya berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Dya yatim sejak SD. Dya dan Ars terpaksa ikut dengan tantenya (adik ayahnya) dan hidup dari sokongan keluarga sang ayah (oom dan tante-tante yang lain) karena Ibunya tak sanggup membiayai sekolah keduanya. Berbeda dengan Ars yang berprestasi, Dya termasuk siswa biasa-biasa saja. Nilai-nilai ujian Dya sangat sederhana. Ketika kuliah pun IPKnya masih juga sederhana. Dya bekerja di perusahaan yang sederhana juga. Bukan perusahaan besar dengan gaji yang lumayan. 

Tapi, subhanallah. Jika Allah berkehendak, maka segala sesuatu akan terjadi. Baru setengah tahunan Dya bekerja, dan dengan sekali ia datang bermajelis (itupun karena diajak Ars, adiknya), Ia dilirik oleh Ibu Ratu dari Pangeran Hatinya. Ia mendapatkan jodoh di masjid yang nyaman dan dingin itu. Masya Allah.

Bahagia itu Sederhana. Jika kamu bisa menyederhanakan hatimu untuk lapang menerima apapun yang Allah berikan padamu. Banyak atau sedikitnya. Besar atau kecilnya. Itulah yang saya lihat pada diri Dya. Menurut penuturan Ars, Dya tak menyimpan dendam pada ibunya yang menikah lagi dan tetap hormat dan patuh pada ibunya meski ia tahu ibunya tak pernah membiayai hidupnya sejak kematian ayahnya. Dya juga menjalani hidup dengan santai dan apa adanya. Ia tak pernah menutupi kondisi “adopsi” yang ia jalani. Dya juga, adalah sosok periang dibalik semua cobaan hidup yang dia alami.

Maka, jika Allah berkehendak untuk menjadikan Dya bak Cinderella dalam kehidupan nyata, mungkin itu sesuatu yang wajar saja. Lalu saya menasehati diri sendiri :

Kebahagiaan itu akan datang kepada mereka yang berhati baik. Sesederhana itu.



Bandar Lampung, 06 September 2017
Setelah berbincang dengan Dya dan tahu tentang kabar kehamilannya. Selamat ya, Dya. Semoga Sehat Ibu dan Baby.



What The Difference?!

Oh yaaaaaa..... sekali lagi ada saja yang bertanya pada saya tentang perbedaan-perbedaan tempat ngaji. Dan, to be honest, saya sudah sangat amat bosan dengan pembahasan tersebut. Tapi, berhubung yang bertanya pada saya tadi adalah orang yang sedang semangat-semangatnya belajar, dan memang masih sangat nol pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan tersebut, maka... saya berusaha menjawab se-wise yang saya bisa.

Dan, saya sangat menyayangkan dengan oknum-oknum yang masih saja membesar-besarkan perbedaan yang sebenarnya bukan hal esensi untuk dijadikan fokus yang akhirnya mengarah pada saling tuduh dan menjelek-jelekkan satu sisi.

Well, khusus di Bandar Lampung, ibu-ibu yang saya kenal sering kebingungan kalo datang ke pengajian. ketika datang ke pengajian A, beberapa orang jelas-jelas melarang ibu-ibu yang saya kenal itu agar nggak datang ke pengajian B. Dan begitu juga sebaliknya, ketika si Ibu datang ke pengajian B, ada saja beberapa orang yang melarang si Ibu tersebut untuk nggak datang ke pengajian A. Padahal, pakaian (jilbab) pengajian A dan B sama. Buku-buku (kitab) yang dipakai ketika pengajian sama. Ilmu yang disampaikan ustad/ustadzah di pengajian A dan B sama. Aqidah, dan fiqih di pengajian A dan B sama. Jadi, apa yang salah sama mereka ya? Hanya karena di pengajian A animo untuk taat kepada pemerintah begitu kuat, sementara animo di pengajian B adalah tidak mengakui pemerintah sebagai ulil amri. Ya Tuhan.....

Dan, posisi saya yang nggak ikut ke keduanya dengan memilih berdiri sendiri di jalan tengah pun ternyata ikut-ikutan dapat sorotan. Ketika tadi saya datang untuk memperbaiki bacaan Al-Qur'an (Tahsinul Qiro'ah) beberapa ibu-ibu yang saya kenal, langsung saja saya dapat laporan bahwa ibu-ibu tersebut dilarang untuk tahsin dengan saya. Ya Tuhan.....

Menurut saya, sangat disayangkan banget loh sikap beberapa orang yang seperti itu. Ketika ibu-ibu itu adalah orang yang sedang semangat-semangatnya belajar dan mencari hidayah kemana-mana, kenapa mesti kita redam semangatnya dengan melarang-larang mereka? Lebih di sayangkan lagi jika larangan tersebut disertai dengan memaparkan keburukan-keburukan pihak lain yang, bisa jadi itu hanya prasangka semata.

Jika memang secara aqidah kita nggak berbeda, kenapa mesti panik? Manusia kan nggak sempurna. Para ulama saja sering berbeda dalam sebuah hukum, padahal mereka adalah orang yang paling mengerti tentang agama. Apatah lagi kita yang ilmunya, seujung kukupun belum sampai. Ketika Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas berbeda dalam bacaan tasyahud, hal itu tidak menjadikan pertentangan yang besar yang menyebabkan satu pihak menyalahkan pihak yang lainnya kan?

Jadi, apakah perkara berbeda dalam menerima atau menolak aturan pemerintah kedudukannya setara dengan akidah? Dengan catatan, pemerintah yang dimaksud bukan daulah Islamiyah. Adalah pemerintahan sekuler. Pemerintahan yang pemimpinnya adalah seorang muslim, tapi mengambil hukum buatan manusia, dan tidak menegakkan syariat Islam. Jadi, apakah ketika ketauhidan kita sama, fiqih kita sama, penampilan kita sama, tahsin kita sama, lalu, apa yang salah jika hanya satu sisi itu kita berbeda?

Kalo saya boleh berpendapat, rasa "klik" pada satu tempat ngaji itu nggak bisa dipaksakan loh. Jadi, biarkan saja Ibu-Ibu itu kalo mau ngaji kesana-kesini. Selama kita tahu tempat ngaji itu sumbernya adalah Al-qur'an dan Hadits dengan metode yang diajarkan Rasulullah. Karena, tanpa perlu kita paksa memilih, hati itu akan memilih dengan sendirinya ke tempat mana yang klik dengan hatinya. Dan, kalo pun mereka nggak memilih bersama kita, so what? Selama tujuan kita sama, kendaraan yang dipake berbeda, bukan masalah besar bukan? Kalo kita senang naik pesawat, sementara dia takut ketinggian dan memilih naik kapal, ya biarkan saja. Janjian saja untuk bertemu di hadapan Ka'bah misalnya. Nggak ada masalah bukan? Kecuali kita tahu bahwa kapal yang dia naiki tujuannya nggak sama dengan kita.

Well yah, tapi kita kan emang nggak bisa ngatur semua orang untuk bisa berpikir yang sama dengan kita kan, ya? :))

Bipolar - Personality Disorder


Pembahasan ini lagi marak-maraknya. Di televisi atau di sosmed. Ah, tema pembahasan kan emang gitu. Kalo ada satu hal yang heboh, itu semua dibahas. Ntar kalo ada yang lain lagi, bahasan baru ngegantiin bahasan yang booming kemaren.

But, whatever, personality disorder yang muncul ini dari kalangan public figure. Makanya, beritanya bisa sebegini heboh. Kemaren saya sempet nonton salah satu acara di tv yang nayangin klub orang-orang penderita bipolar. Oh, God... sampe dibikinin klub! Haha

Padahal, saya pikir bagaimanapun itu kan sebuah penyakit yang nggak perlu dibangga-banggain kan? I mean, statusmu 'hampir' mendekati gila, kamu masih memamerkannyake hadapan publik, yang nggak tau apa manfaat besarnya? Kalo saya sih memandangnya, tunjukin aja kepada orang yang akan membantu kamu melewati masa-masa sulit saat kamu depresi bahkan kepikiran untuk bunuh diri.

Dan, emang bipolar ini ngebahayain diri sendiri dan orang lain sih. Efek ke diri sendiri, bawaannya pengen bunuh diri itu bisa bikin kita nyakitin diri sendiri kan? Efeknya ke orang lain, penderita bipolar sering bikin orang-orang di sekitarnya nggak nyaman. Siapa sih yang bisa nyaman dengan oranh yang sedetik lalu jejeritan histeris dan sedetik kemudian udah tertawa ceria?

Jadi emang seharusnya penderita bipolar punya kesadaran untuk menyembuhkan dirinya. Dan, support dari orang-orang di sekeliking itu penting banget.

Dan lagi, saya pernah inget bahwa bahkan ada orang yang sampe usia 45 tahun belum bisa juga menemukan jati dirinya. Oh well, begitulah manusia. Harus ekstra usaha untuk hidup di dunia. Karena dalam hidup ini ada hal-hal yang baik dan nggak baik. Ada hal-hal yang boleh dan nggak boleh. Ada hal-hal yang bisa di maafkan dan ada juga yang tidak.

Just for your information, bunuh diri itu nggak dibenarkan agama. Pelakunya, nggak akan mencium bau syurga. It means tempat dia selanjutnya adalah di neraka. Jadi, hilangkan pikiran bunuh diri itu. Nggak ada keren-kerenya. Bakal menyesal mah iya. Dan, sangat penting untuk menjaga keimanan dalam dada. Dengan perkuat ibadah, perbanyak belajar agama, plus pilih temen-temen yang baik, yang sholih dan sholihah.

Kita berharap bisa selamat dunia dan akhirat kan ya :)







Menikah Seems Complicated (When others getting involved)

Sometimes, I just felt this way. 

Nggak, nggak, saya nggak sedang meracau. Saya hanya, sekedar berpikir, melihat hal yang terasa 'salah'.

Semacam ketidaksesuaian dari apa yang ada di sekitar kita, yang kadang bikin saya nggak bisa menahan diri untuk nggak bertanya, 'kenapa ya?'

Oh, well, beberapa waktu yang lalu, orang dekat saya bercerita kepada saya, kalau ada temannya (laki-laki) yang hendak serius dengan saya. Dan temannya itu meminta dimediasi agar bisa 'nyambung' ke saya. But, you know what, orang dekat saya itu nggak ngasi respons ke temannya itu. Dan orang dekat saya itu baru bercerita kepada saya setelah berbulan-bulan berlalu dari peristiwa itu.

Awalnya, saya santai aja menanggapi hal itu. Saya pikir, 'Oh well, she must has her own reasons kenapa kok nggak langsung gomong ke saya saat si temannya itu minta dimediasi. Kali aja si cowok itu brengsek, atau nggak kurang baik dari sisi akhlak atau agamanya. Atau mungkin, sayanya yg nggak pantas buat laki2 itu.' But anyways, saya nggak ngomong banyak ke orang dekat saya itu sewaktu dia ngungkapin cerita itu. Saya cuma senyum aja dan bilang, 'ya kali belum jodoh'.

Berhari berlalu dari pengungkapan itu, si orang dekat saya nyeletuk ke saya yang intinya, 'get married soon sana, haps!' Well, saya cuma bilang aamiin dengan santainya.

Dan kenapa hari ini pada akhirnya santai saya bisa bergeser dari kedudukannya? I was so annoyed with her blabering about 'get lost by married sana, haps!'-nya dia. I mean, sebenarnya dia itu serius nggak sih mengharap saya segera nikah? Atau sebenarnya saking sayangnya dia ke saya, she just wants to keep me close to her with being single? Haha, I don't really know what's in her real intention. Soalnya, udah dua kali saya dapati orang dekat saya itu 'menolak' (baca: nggak ngerespon) dua temannya yang want to have a relationship with me.

Haha, aneh kan ya? Ya emang sih dia bukan orang tua saya yang berkewajiban ngurus hidup saya gitu. Usianya juga nggak terpaut jauh dari saya, jd mungkin pola pikirnya masih belum begitu matang. Tapi, semacam timpang sih ya kalau udah mulai ngedesak-desak saya untuk segera nikah, sementara dia tahu kalo saya lebih milih santai nikmatin hidup kalo emang belum ada yang bener-bener datang ke hadapan saya dan bilang, 'I am houndred, even thousand serious being involved to you.'

Oh well, kata temen-temen saya, emang usia-usia segini udah bakal diributin masalah nikah. Tapi, kenapa nikah bisa jadi urusan yang dibikn complicated gini, sih?

Kalo saya yang ngejalani aja bisa santai dengan mensugesti diri, kenapa orang2 di sekeliling saya yang justru nggak bisa santai? Kadang saya berpikir, yang sebenernya itu, saya yang nunda-nunda nikah atau orang-orang dekat saya yang emang belum menginginkan agar saya segera menikah ya? Haha

Umur 25 di tanya-tanya terus soal nikah itu, kayak kembali ke semester 9 yang nggak ada hari nggak ditanya tentang skripsi. Pengen banget deh bilang, 'It's okay dear. It's been in processing right now. Lagian, waktu DO masih lama kali.' Dan waktu bikin skripsi, pas ada yang nyeletuk, 'kok stuck di BAB III aja sih?' Pengen banget deh bilang, 'ya udah deh ya, coba deh kerjain skripsi saya.' Nah, sometimes  beberapa waktu ini perasaannya semacam kembali ke masa itu deh. Haha

But, gimanapun, mereka adalah orang-orang deket saya. Yang pasti sayang sama saya. Jadi, pasti mereka tetap mengharap kebahagiaan saya. :)

Pull Yourself Together


Beberapa kali saya mendengar atau membaca kalimat itu. Awalnya, saya bingung maksudnya apa ya. Tapi sekali, dua kali, tiga kali. Mengikuti bagaimana kalimat itu diucapkan, melihat situasi saat kalimat itu diucapkan, akhirnya saya menebak-nebak apa maksudnya. 

Seorang perempuan terkejut mendengar berita tentang kematian anaknya. Padahal, anak semata wayangnya itulah satu-satunya tumpuan hidupnya. Karena sejak melahirkannya, dia sudah merelakan rahimnya diangkat. Itu artinya, dia sudah tak bisa melahirkan anak yang lain. Ia benar-benar linglung. Seperti tak ada lagi harapan untuk hidup. Bahkan, suami perempuan itu sering mendapati perempuan itu menangis dan melamun seolah-olah ia dan orang-orang tak pernah ada di sekitar perempuan itu. Sang suami prihatin melihat keadaan istrinya. Dengan sedih dan hampir putus asa melihat kondisi perempuan itu ia berkata, "Please, pull yourself together. Please, I beg you honey."

Well, itu satu adegan yang sedikit menggambarkan bagaimana keadaan kalimat 'pull yourself together' perlu diucapkan. Pull yourself together adalah semacam phrasal verb yang emang udah kesatuan. Kalimat itu diucapkan pada seseorang yang nggak lagi sadar dengan keadaan dirinya, saking larut sama kesedihan atau hal yang nggak bisa dia tanggung. 
And then, buat lebih ngeyakinin diri saya cek di kamus oxford. Di kata pull, ternyata ada penjelasan dengan kaliamat 'pull yourself together' yang merupakan prasal verb dengan kode 'phr v'. Dan pull yourself together means to take control of your feelings and behave in a calm way (mengontrol perasaan dan bersikap tenang).

Jadi kalo ada yang sering kalap, kita bilangin aja "please pull yourself together". Dan kalo dia nggak tau artinya, kita jelasin deh :)















How About Being A Splendid Angel?


Just now, saya baca sebuah twit tentang#GAFinale di-TL saya. Telusur punya telusur, saya tertarik dengan pertanyaannya. Actually, saya bukan orang yang gila kuis. Saya cuma ikut kalau saya merasa tertarik. Dan saya tertarik dengan pertanyaan di #GAFinale itu. Di tambah lagi, syarat dan ketentuannya nggak begitu rumit: Cukup tinggal di Indonesia (1), Follow akun penyelenggara #GAFinale @lucktygs dan akun penerbit @fantasiousID and share it (2), follow blog luckty.wordpress.com [meski saya nggak punya blog di wordpress, sy tetap bisa follow dengan menggunakan email saya] (3), dan terakhir jawab pertanyaan (4) :

Kalau kamu jadi malaikat yang terbuang dan turun ke bumi, apa yang akan kamu lakukan?

 Oh, actually saya sangat bersemangat dalam menjawabnya. Sampe-sampe, saya udah ngetik 3 kali di kolom komentar berpanjang-panjang. Dan selalu gagal, hilang ketikannya dan harus mengulang. Nggak tau juga salahnya dimana sampe begitu. Dan, terakhir, dengan redaksi yang nggak selengkap tiga ketikan sebelumnya, akhirnya submited juga. Haha. But it's ok. Saya senang aja dengan pertanyaan itu.

Dari pertanyaan itu saya menjawab begini:

 Awalnya saya pasti akan mencari cara agar saya bisa kembali ke syurga, tempat asal saya semula. Tapi saya yakin pada akhirnya saya hanya akan menikmati hidup di dunia. Bersama manusia. Layaknya manusia. Bersenang-senang. Jatuh cinta. Melakukan kesalahan. Menyadari telah berbuat salah. Meminta maaf. Lalu hidup lebih lama bersama orang-orang yang saya sayang dan menyayangi saya. [Pada bagian ini, seolah-olah seperti pengalaman saya nyata. Tapi, begitulah perasaan saya. Haha] Dan satu hal yang bisa saya lakukan untuk melindungi manusia serta tanpa mengingkari jati diri sebagai malaikat, saya akan menjadi ksatria yang melindungi manusia dari kejahatan iblis di dunia.

Oh well, I feel like I'm a splendid angel or something. Haha. Di akhir komentar, kita juga perlu menuliskan nama, akun twitter, dan lokasi kita. Haha, guess what, perhaps being unconscious bisa-bisanya saya nulis gini di akhir komentar: Well then, this angel's name is HAPSARI DW. Hiding her true identity in twitter account @hapsdw. And now her location is on Bandar Lampung.

Fortunately about three times error tadi, saya lantas nggak jadi nulis dengan redaksi seperti itu. Pada akhirnya saya memperkenalkan diri dengan cara biasa saja. Haha
 Oh well, about winning the prize, saya nggak terlalu menggebu. Menang alhamdulillah, nggak juga gak apa-apa. Saya adalah orang dengan prinsip, "yang penting saya enjoy ngelakuinnya." Dan ikut ngejawab pertanyaan tadi, I enjoy so much :)



Desember = Libur (?)


Desember itu... bulan libur. 6 bulan yang lalu, saya telah merencanakan untuk bisa berlibur ke Palembang di bulan Desember. Mengunjungi Nuari. Main ke Unsri. Maen ke jembatan ampera. Makan pempek asli palembang. Naik kereta dari Lampung ke Palembang bareng bokap. Tapi, ternyata rencana hanya tinggal rencana. Desember ini, saya justru harus bersiap ke Bekasi. Liburan di Desember ini dipenuhi dengan acara nikahannya Dimas (sepupuku). Seperti layaknya rencana yang terlewatkan di bulan November lalu: Ke Kiluan Dolphin batal. Bahkan, ke Klara pun nggak jadi. November saya diisi penuh dengan bedrest. Dan, alhamdulillah. Semua itu semakin membuat saya yakin kalau Allah lah yang maha berkehendak.

Qadarullah...

Tapi, meskipun begitu... saya nggak pernah berhenti menguntai harapan-harapan. Saya nggak pernah capek menyusun rencana-rencana. Dan berharap Allah menjadikannya nyata. Kalaupun tidak, Allah mengganti dengan yang lebih baik dari semua milik saya, yang membuat saya justru lebih bahagia. Jadi, semoga di tahun depan saya bisa benar2 pergi ke Palembang untuk bisa bertemu Nuari. Saya juga pengen  ke Batam, meski saya belum tahu siapa yang bisa saya temui disana. Kenapa Batam? Entahlah, hanya saja saya ingin bisa merasakan angin laut batam dan makan seafood disana. Semoga...

Ceracau (Yang Lain)


Akhir-akhir ini saya mengabaikan blog saya. Iya. Bukan, bukan karena saya nggak punya waktu. Waktu saya sangat amat luang. Saya masih jadi anak bungsu yang sukanya manja. Iya. Bukan, bukan karena paket internet saya habis. Paket saya unlimited 24 jam whole time. Speedy. Yang bayar kakak ipar saya. Saya tinggal puas make tanpa merasa bersalah aja. Iya. Bukan, bukan karena laptop atau gadget nggak bisa dipake. Seluruh gadget dan laptop selalu bisa saya sabotase kapanpun. Dengan alasan apapun. Iya. Bukan, bukan karena nggak ada hal-hal yang saya lewati yang bisa saya ceritakan. Saya hanya malas merangkai kata-kata saja. Rasanya, membosankan. Kenapa mesti berkata kalau nggak ada artinya? Saya pernah dinasehati oleh teman karena hal ini. Katanya, blog saya hanya berisi sampah. Kenapa nggak digunain untuk menyampaikan hal-hal yang bermanfaat? Saat itu, saya berdialog dengannya panjang kali lebar. Yang sebenarnya intinya saya hanya membuat pembelaan diri saja sih. Karena toh, sebenarnya saya sepakat dengan pernyataannya. Dengan apa yang dilakukannya. Haha, tapi kenapa orang nggak bisa mengerti dengan pernyataan, "that's not my thing" ya? Haha

Jadi, selama saya masih belum bisa win the self-battle, saya berencana untuk nggak nulis apa-apa dulu di blog ini. Mungkin, saya akan menulis lagi, kalau saya punya berita yang sangat baik untuk saya beritahukan kepada dunia. Memajang undangan pernikahan saya misalnya. Haha.

Well then, biarkan saya beristirahat dari dunia blog kalau begitu.


Me at the Door


Hey yah, saya sedang flu. Setelah kemaren lihat pengumuman dan dapat email dari LIPI kalo saya dipanggil untuk ikut ujian tulis tanggal 13 Oktober nanti. Dan, saya excited. Tapi nggak menggebu-gebu amat. Kalo baik ya semoga saya terus lanjut. Nggak pun, nggak masalah. Mungkin saya akan fokus ke nikah dan atau lanjut s2. *drunken-lendir-sebab-flu* Haha

Tadi pagi saya masih sempet ke Kedaton buat rutinitas sabtu pagi saya. Dengan suara bindeng dan hidung meler, saya masih ngebacain ayat kursi buat nge-tahsin bacaan alQur'an karyawati Rabbani. Pas pulang saya teler berat. Nyengajain jalan biar kena matahari pagi, eh sampe rumah malah tepar saking nggak kuatnya. Dan nafsu makan hilang.

Ngecek SMS ada pemberitahuan dari senior sekaligus temen baik yang selalu nolongin dalam pencarian data buat skripsi, Kak Ita, yang udah ngelahirin bayi laki-laki. Ikutan seneng. Trus, nerusin berita ke rahma, rysmah, huda, nurul dan kak farah.

Setelah shalat dzuhur, sempet denger suara tv yang isinya ceramah. Sempet heran sekaligus marah. Karena penceramah memberi informasi yang menurutku nggak sesuai. Dia menyebutkan, ketika Rasulullah ditanya istrinya 'Aisyah, kenapa capek2 shalat sampe kakinya bengkak padahal Allah udah ngejamin syurga bagi Rasulullah? Si penceramah bilang, Rasulullah ngejawab kalo Apa yang dilakukannya bukan karena syurga ataupun takut masuk neraka, tapi karena Rasulullah mencari keridhoan Allah Subhanahu wata'ala. Lah, saya langsung keluar kamar dan ngelihat tv mana yang nyiarin ceramah itu. Ternyata tv merah. Ada kakak ipar disitu yang duduk pegang remot.

Trus, saya protes kenapa riwayat yang disampaikan seperti itu? Sementara yang pernah saya dapat bukan begitu. Ternyata kakak ipar pun membatin, informasi yang dia dapat pun selaras dengan saya. Denger suara saya dan kakak ipar yang rame, nyokap keluar kamar gabung di ruang tengah. Kan, jawaban Rasulullah terkait dengan orang yang pandai bersyukur kan ya? Jadi, shalatnya Rasulullah itu adalah bentuk kesyukuran Rasulullah. Please, CMIIW. Dan, saya menyayangkan penyampaian informasi yang keliru begitu. Bukankah ada hadits yang menyebutkan agar kita berhati-hati dalam membawa nama Rasulullah atas sebuah ilmu? Kalo kita bilang itu datangnya dari Rasulullah padahal bukan, kita disiapkan tempat duduk di neraka loh. Wa iyya 'udzubillah. Jangan sampe kita terjerumus.

Kemaren saya menyadari sebuah hal, saat saya harus ikut lomba menggambar demi memeriahkan acara guru-guru PAUD se-kota Bandar Lampung. When i thought i tried my really best, i realized that so was everyone around me. Jadi saya nggak mau ambisius untuk ngejer hal-hal nggak abadi lagi. Cukup saja.

Well, besok saya masih harus kumpul sama cewek2 kece nan sholihah buat ngeganti hari Jum'at yang canceled. Dan setelahnya, saya mesti ke Malahayati. Dengan kondisi flu berat kayak gini, mungkin saya mesti memberitahu temen2 di Malahayati buat off meeting dulu deh. Tapi, semoga ntar malam flu saya lenyap dan besok saya bisa kembali bugar seperti biasa deh. Aamiin..

(LAGI) Bazar Buku Gramedia


Tadi pas naek angkot pulang, saya baca spanduk yang dipajang depan Gramedia Bandar Lampung. Bakal ada bazar buku murah tanggal 23-29 September. Ditulisin sih item-itemnya tadi apa aja. Tapi abang angkotnya malah terabas aja, nggak nyadar kalo ada penumpangnya yang mupeng-mupeng baca spanduk dari dalam angkot. Huft

Wew, jelas saya excited banget lah. Udah 2 bulan semenjak ramadhan kemaren saya nggak nginjekin kaki ke gramed. Saya tuh suka aja maen ke gramed. Apa ya, gramedia Bandar Lampung lah yang pertama kali mengajarkan saya asyiknya sensasi baca buku. Yang nyenengin hati saya buat seneng ama sekolah. Jadi, pas saya masih SD tuh, saya diajak nyokap ke gramed. Dulu masih sepiiii banget. Minat orang buat masuk ke gramed nggak seheboh sekarang. Mungkin karena dulu gramedia tuh kesannya eksklusif, cuma buat kalangan elit, dan semacamnya lah. Yang jelas, dulu jaman saya masih SD, orang lebih pilih ke Artomoro (Mall-nya Lampung saat itu) dibanding ke gramed.

Tapi, nggak buat saya. Saya suka banget suasananya gramedia. Gramedia bandar lampung tuh dua lantai. Kalo kita masuk, langsung ketemu pernak pernik sekolahan (ATK) yang cute banget. Karena letaknya pas sebelah tempat penitipan barang. Makanya, saya SD jadi seneng banget sama yang namanya sekolah. Soalnya, di gramedia, pajangannya tuh hal-hal berbau sekolah yang lucu-lucu, manis-manis, pokoknya nyenengin mata dan hati. Jalan deh nyusurin pernak-pernik sekolahan yang lucu-lucu itu sampe dapet tangga naek lantai dua. Naek tangga, langsung nyebur ke hamparan rak-rak buku. Saya SD suka banget suasana gramedia. Rasanya, semua buku ada disana. Apa aja. Buku Barbie, Majalah Bobo, Buku pelajaran Erlangga, buku orang tua, sampe komik, semua ada. Dan jaman saya SD, selalu ada satu buku di setiap item yang nggak diplastikin. Jadi, kita bebas buat baca.

Saya SMP, paling bisa ke gramed 3 kali sepekannya: Jum'at sepulang sekolah bareng temen-temen, Ahad bareng nyokap dan sista', serta satu hari yang saya pilih secara acak buat pergi sendirian. Saya, paling bisa berdiri dari jam 1 siang sampe jam 4 sore buat baca buku di gramedia. Trus, shalat ashar dimushala gramed, lanjutin baca lagi sampe jam 5. Trus pulang deh. Nggak beli apa-apa? Iya! Hihii

Baca buku apa? Dulu, saya paling suka baca buku dongeng tentang princess (cinderella, dkk), cerita anak-anak lainnya, majalah donal bebek, majalah bobo, dan nyari jawaban PR di buku-buku terbitan Erlangga. Haahaa.
Kenapa nggak beli? Saya dari kecil emang udah punya sifat irit (baca: pelit). Prinsip saya: Buat apa duit dibuang-buang kalo esensinya kita dapet? Mending duitnya saya pake beli makanan. Ahahahaha.. saya kecil emang suka banget makan (sampe sekarang malah) :D
Iya, saya punya prinsip kayak gitu. Ngapain saya beli bukunya, kalo saya udah bisa ngedapetin isinya dengan membaca gratis? Esensi buku apa, isinya kan? Dan, saya udah kenyang baca di gramedia, tanpa keluar modal, cukup modal kaki kuat berdiri berjam-jam. Trus, pernak-pernik sekolahan yang lucu dan manis itu, saya bahagia dengan ngelihatnya aja. Soalnya saya mikir, kalo pulpen, pensil, buku, yang cute kayak gitu, saya malah sayang buat make. Emang cantikan dipajang aja, dipandangin. Kalo dicoret-coret trus abis, jadi nelangsa rasanya. Trus, kenapa nggak dibeli buat dikoleksi? Hm, saya bukan tipikal orang yang suka koleksi sesuatu. Nggak telitian, nggak telaten ngerawat. Biarin mbak-mbak di gramed aja yang ngerawatin barang-barang itu, saya bahagia ngeliat barang-barang lucu itu bertengger ditempatnya. Yang saya perlu lakukan hanya meninjau koleksi (ngakunya doang) punyaku tersebut tiga kali seminggu. Tapi asli, kalo saya mulai males sekolah, saya hanya perlu menyambangi gramedia, membaur ditengah pernak-pernik sekolah yang lucu itu, pegang-pegang sambil histeris sendiri karen saking lucunya, dan tararaaa besok saya udah semangat lagi buat sekolah :)

Dengan semua kenangan baik gramed itulah yang membuat saya excited dengan ajakan gramed buat dateng kesana. Yakin bakalan beli padahal dompetmu aja isinya lembaran pattimura semua? Haahaa, nggak tau lah. Saya mau dateng-dateng aja dulu. Kangen gramed sih :)

Defense Mechanism


Dulu sekali saya pernah menemukan kata ini di sebuah majalah. Kalo di-Indonesia-in jadi mekanisme defensif. Lalu, semacam diserang penasaran yang berkepanjangan, langsung saya cari artinya di kamus Bahasa Inggris (Kamus Oxford). Defense means perlindungan dalam melawan serangan/kritik. Mechanism means sebuah metode atau sistem krn memperoleh sesuatu. Jadi kalo digabungin, defense mechanism atau mekanisme defensif (mungkin) didefinisikan sebagai sebuah metode/cara yang dilakukan oleh seseorang untuk melindungi diri dalam menghadapi serangan/kritik dari orang lain. Nah, metode yang bagaimana itu? Mari kita menganalisa bersama...

Well, ketika kita melakukan kesalahan/memiliki kekurangan dan itu dilihat orang lain, lalu orang lain diluar kita menyerang kita dengan mengungkap kesalahan/kekurangan itu yang ada di diri kita, selalu ada metode yang kita lakukan dalam mempertahankan dan membela diri sendiri.

Ketika sebuah serangan dari orang lain datang kepada kita untuk sebuah hal yang tidak kita lakukan, ada pembelaan diri (self defense) yang kita lakukan untuk membersihkan nama kita. Entah itu sebuah klarifikasi atas kebenaran yang kita yakini, atau sekedar sikap acuh tak acuh, atau justru mengungkap fakta dan menunjuk orang lain sebagai pelaku kesalahan yang sebenarnya. Nah, manakala serangan tersebut mengangkat sebuah fakta yang sebenarnya memang kita lakukan, adalah sebuah naluri manusia untuk tetap saja dan sangat mungkin bagi kita membuat sebuah cara untuk membela diri sendiri, bahkan mungkin kita akan berupaya untuk menutup-nutupi kesalahan kita itu. Nah, adapun defense mechanism itu secara proyektif adalah sebuah cara melindungi diri dengan menyalahkan orang lain untuk menutupi rasa bersalah.

Dan saya rasa, setiap orang memiliki tendensi untuk melakukan mekanisme defensif ini. Contoh mudah, ketika kita nggak sengaja menyenggol gelas di pinggir meja hingga jatuh dan pecah, mungkin yang kita lakukan adalah menyalahkan orang yang menaruh gelas tersebut dengan berkata, "Kamu yang salah, kenapa naruh gelas di pinggir bukan di tengah?" Padahal bisa jadi karena kita yang nggak teliti dan hati-hati. Pun, ketika kita berada pada posisi orang yang menaruh gelas di pinggir meja tadi, kita juga akan menyalahkan orang yang menyenggol gelas tersebut. Karena dia membuat gelas tersebut jatuh dan pecah. Padahal kalau kita menaruh gelas tersebut di tengah meja, mungkin saja gelas tersebut nggak akan jatuh dan pecah.

Jelas saja, defense mechanism selayaknya tidak kita pertahankan. Namun, apalah daya, manusia memang begitu adanya. Jadi mungkin, kedepannya kita perlu untuk bercermin ke diri sendiri lebih banyak. Lebih lama. Untuk melihat kesalahan dan kekurangan kita lebih sering lagi, sebelum menyalahkan orang lain. Sebuah jalan nasehat menasehati itu emang lebih menentramkan dibanding metode menyerang atau kritik pedas yang melahirkan debat tak tentu arah.

Well, correct me if I'm wrong (CMIIW) :)

Demi Apa?


Saat pulang dari SMA 9 tadi, saya duduk diam di pinggir pintu angkot. Memperhatikan pemandangan luar. Sambil sesekali tersenyum ke arah penumpang yang nggak sengaja bertabrakan mata denganku. Nggak ada yang saya lakukan seperti saat-saat saya naik angkot biasanya. Saya nggak membaca, saya nggak twitter-an, saya nggak sms-an, pun nggak juga ngobrol dengan penumpang lain. Saya hanya duduk diam menghirup udara yang kotornya luar biasa.

Beberapa penumpang, naik. Tanpa perlu dikomando, saya menggeser dudukku berusaha memakan tempat seefisien mungkin. Lalu, celotehan perempuan di hadapanku terlalu mendadak membuyarkan aktivitas otakku yang kosong. Mataku menatap ke arah suara. Dua pelajar SMP yang dandanannya sering menghias layar kaca. Lengkap dengan BB kece dalam genggaman mereka.

Saya shock menganga mendengar perkataan yang keluar dari pelajar di hadapanku itu. Hanya seorang sebenarnya yang sejak awal berceloteh ini itu. Teman disebelahnya hanya sibuk mencat-mencet BB-nya. Demi apa bocah tengik di hadapanku itu mengatakan ibunya tol*l (means= stup*d, bahasa yg lebih sering dipakai org2 Lampung dibanding kata bod*h). Demi apa? Padahal, bocah tengik di hadapanku itu dibekali ibunya BB kece. Giginya dirapikan dengan kawat gigi motif bunga berwarna pink. Jam tangan trendi melingkar di pergelangan tanganya. Plus kuku-kuku cantik yang sepertinya masih basah keluaran salon. Itu semua uang dari mana kalo bukan dari ibunya? Demi apa dia berkata seperti itu tentang ibunya kepada temannya?

Benar-benar. Rasaya geram sekali saya mendengarnya. Dia baru SMP, masih nodong uang dari orangtuanya, sudah berani bicara begitu terkait ibunya. Bagaimana kalo dia sudah bisa kerja dan punya uang sendiri? Mau dimaki-maki ibunya? Gila. Bener-bener gila.

Saya membuang muka. Memperhatikan pemandangan luar untuk kesekian kalinya. Dalam hati saya miris sekali. Mudah-mudahan kelak ketika dewasa, bocah tengik itu bisa berbakti pada orang tuanya, dengan sebaik-baik bakti.

Arus Balik


Harus merasakan kembali perjalanan selama 28 jam itu, sangat melelahkan untuk dipikirkan. Makanya, saya membuat beberapa daftar hal-hal menyenangkan untuk dipikirkan. Saya senang bisa kumpul2 keluarga. Menjabat tangan2 mereka, mencium pipi2 mereka, mendengar kembali bahasa Jawa yang mungkin sudah sedikit asing bagi lidahku. Saya sudah nggak terlatih lagi untuk lancar mengurai bahasa Jawa.

Saya menyiapkan daftar doa untuk dilantunkan sepanjang perjalanan. Sebenarnya doa yang sama yang saya siapkan saat bulan ramadhan sih. Ada 17 poin. Campuran antara harapan2 akhirat dan dunia. Simple sih buat saya yang terlalu banyak maunya ini. Ehehehehe

InsyaAllah hari ini kami bakal balik ke Lampung naik bus malam. Yang ngurusin tiket buat kami, aunty yang emang domisili disini. Keren loh, bis AC patas Purwodadi-Pulogadung bisa dapat 150rb doang. Sumber Laris. Tapi belum tauk juga sih gimana kondisi bisnya. Tapi krn murah meriah gitu harga tiketnya, maka kita beli kursi sampe berlebih-lebih. Biar bisa enak tidur-tidurannya sih. Bisa dimurahin gitu krn anak pemilik Sumber Laris itu temennya aunty. Ehehehehe :-)

Saya juga udah nyiapin brownis buat cemilan di bis. Pop mie seabrek buat jagaan kl nggak sempet makan di rumah makan. Plus, prepare air minum sebanyak-banyaknya. Saya paling ngerasa nggak aman kl belum nyiapin air minum lebih dari 5 botol besar.

Sebenernya kemaren itu saya mau niatin puasa hari ini. Karena toh bisnya berangkat malam. Tapi grandma udah ngekhawatirin saya mulu. Dr semalam nanya2in saya mulu puasa kagak, puasa kagak. Jadi ya udahlah saya hari ini nggak puasa dulu. InsyaAllah sampe Lampung baru puasa lagi.

Semalem sista' udah packing. We trust her all the the things about packing, because she's miss packing :-D

Yah, semoga perjalanan saya menyenangkan. Lancar, mudah, aman, dan selamat sampe rumah. Saya emang udah ngerencanain buat tidur sepanjang perjalanan malam. Oke, saya mau puas2in cium2 nenek saya dulu sebelum balik. She's gettin' old and old.

Lampung, wait for me yah :-)

Blank Form


Hapsari. This November I'll get my 25th. For this two years, I always need like-some-wasted-time just to fill the blank form as my occupation. I swear I couldn't decide what I must write that would properly describe what i've done 'till now. Of course, I did not just hang my feet and do nothing. Hey, I'm twenty something. I graduated from the university and got a bachelor title into the last of my name. And I'm not an idiot yet I am not a brilliant as well. So it doesn't make any sense if I just make myself being one of the society-garbage. It's not like I'm the one who can't grateful how blessed I am. Ehehehe

Because of my mom, I didn't apply to a company as my friends or anothers did. She asked me not to join in a company or be a civil servant. She asked me to help her in handling her small-charity institution. Well, heard what she offered me to do for the first time, I was really shock. I had my own dream. I had my life-mapping and, I thought I'll take my steps to reach my dream. But, when my mom asked me to help her, I was out of the blue. It was dillematic for me that time. I cried. I ever thought to run or escape. But, somehow, by a half hearted, I decided to gave in my hope and just took my mom's hope.

Why did I give in to my mom's then? One thing I knew, I used to be a very being-free person. I used to be very rude to her. I used to often made her cried. And with all my many many faults, she loves me still! Yet I knew, I never can repay her kindnesses. Therefore, I tried to cooperate, compromise myself to be a good one after these time. And yeah, inspite of still half hearted, I said yes for what she offered me to do.

So, I entered the small-charity institution of my mom and started involving the management and the teaching-learning. The institution is very small. And it's for charity. The point is, The institution was established (by my mom herself), without any goal as a common institution but just to help poor children. Oh my God, it's really noble and hope it's very useful. But, somehow, I had a contrary thought with her. How could she established an institution, noted: IT IS FOR CHARITY, without a stable fund? I mean, our family isn't wealhty. My father's not a millionaire. If she tried to fund privately, my mom, guess she was out of her mind, was raising the institution with lack of fund time to time. But, it is her, who ever said to me, "It's not about money, dear. It's about the willing to help the children. Although the institution is very small, and it has fund as the problem time to time, but you can see, there's nothing meaningless in Allah's eyes." Well yeah, when she said that, I just could keep my mouth closing.

Well then, i didn't want to quarrel with her all the time. So I placed myself and tried to give her my assistance whenever she needs me. Oh, the assistance I mean isn't about the fund _how could I am, a jobless one! It's just about managing, arranging, and facing (include the stakeholder). Beside that, I help her in teaching to the under six years old children (PAUD). I also teach in Qur'an learning for children (TPQ), and I still have some times in assisting the teenager and young adult to understand Islamic learning (mentoring).

Therefore, what should an accupation status I could pick as mine to fill the blank form?

Berbagi (Suka ♥)


Berbagi. Saya sangat suka momen berbagi. Apapun yang bisa dibagi. Uang, pakaian, sembako, saya sangat suka dengan kegiatan baksos kampus. Selalu ada cinta yang menyertai aktivitas berbagi. Dan, saya juga suka berbagi tawa. Saya suka dengan cerita jenaka. Tawa mengundang bahagia. Saya selalu suka.

Saya juga suka berbagi cerita. Cerita mampu menghidupkan orang yang hampir mati. Cerita mampu menggugah semangat untuk menyala kembali. Dan, cerita mampu memberi kekuatan bagi seseorang untuk melewati masa-masa sulit. Dalam cerita, seseorang bisa mengambil pengalaman hidup orang lain sebagai pembelajaran bagi hidupnya. Saya suka berbagi cerita.

Tapi yang paling saya suka, saya suka berbagi ilmu. Ketika saya mendapatkan sebuah ilmu dan pengetahuan baru, saya selalu ingin membaginya kepada siapapun yang ada di dekat saya. Saya selalu ingin agar orang lain juga tahu. Ilmu ibarat cahaya yang menerangi jalan. Seseorang yang hidup tanpa ilmu, bagaikan berjalan di malam yang sangat gelap, tanpa ada lampu, bintang, dan bulan. Dan, seseorang nggak akan bisa berjalan tanpa ada penerangan. Jika ilmunya sebatas lilin, maka penglihatannya ya hanya mencakup jangkauan lingkaran cahaya lilin. Pun jika ilmunya laksana bulan purnama, maka penglihatannya akan luas dan mata bisa melihat kemana-mana. Saya suka berbagi ilmu. Kalau pencahayaan semakin banyak, semakin kita mampu jauh melihat.

Tapi, saya lebih suka berbagi ilmu secara nyata. Face to face. Karena saya mengharap ada feedback dari orang yang saya bagi. Apakah dia mengerti. Apakah justru perlu diulangi. Saya nggak terlalu pinter berbagi ilmu melalui tulisan. Jejaring sosial saya, isinya sampah serapah aja. Nggak ada ilmu disana. Saya nggak bisa. Nggak pernah bisa menjadikan jejaring sosial tempat berbagi ilmu. Buat saya, ilmu yang disampaikan melalui lisan bisa menjelma sebagai mantra yang masuk ke telinga dan meresap ke dalam hati manusia. Sementara tulisan bisa bersifat ambigu. Dan si pembaca, belum tentu akan bertanya kepada si penulis meluruskan kalau-kalau pemahamannya salah.

Dulu juga, tiap sekolah saya selalu lebih bisa ngedapetin "feel" dari sebuah mata pelajaran dengan mengambil ilmu dari guru, bukan buku. Saya selalu merasa cukup dengan bekal ilmu yang disampaikan guru saya, ketimbang sibuk menghapalkan seluruh isi buku. Lebih nyantol di kepala, lebih bermanfaat dan tahan lama, rasanya. Entahlah, mungkin ini tendensi pribadi saya aja :)

Yuk, yang mau berbagi hubungi saya. Saya suka banget bekerjasama menggelar baksos dan semacamnya, saya juga suka bercerita, bercanda tawa, dan berbagi ilmu yang insyaAllah berguna :)

Kontak Hilang

Pagi tadi, kakak ipar udah ngegerundel gegara semua kontak di BB-nya hilang. Seisi rumah diinterogasi, kalau-kalau ada diantara kami pelaku kejahatan tak termaafkan. Tapi, kami semua punya alibi. Jadi, satu kata yang dia kumandangkan berkali-kali hanya, "kacau".

Ngeliat kejadian itu, saya turut prihatin sekaligus membatin, yah, begitulah problema pemilik BB se-Indonesia. Sudah berulang kali saya temukan di TL twitter beberapa orang menulis, "tolong invite ulang pin BB saya" atau "Si BB maintenance, tolong buat temen2 menghubungi ulang." atau semacam "what???? BB bermasalah. Kemana semua kontak???? oh, No!!!" yah, semacam itulah.

That's why, i'm not really interesting having BB as mine. Disamping emang sayang sama budgetnya. Hehe :-)
Tapi, emang penting nge-antisipasi hal-hal semacam kehilangan kontak karena kelalaian kita atau emang tetiba hilang gitu aja. Kita emang perlu deh, nge-back up data-data kontak. Soalnya, pasti kebingungan deh kalo semua kontak hilang dan kita nggak punya back up nya. Sebut saja saya old-fashion-minded, tapi nyatetin semua kontak di buku, itu cara terbaik sebagai antisipasi dari kehilangan kontak. Dan, itu berguna banget buat saya yang susah ngapalin nomor-nomor kontak orang banyak. :-)

Angin pun Berbisik Padaku


Pernahkah kau mendengar angin berbisik di telingamu? Seolah ia hendak memberitahumu sesuatu....

Saya pernah merasakannya. Selama dua puluh tahun lebih saya menjelajah bumi, melangkahkan kaki kemana saya bisa, saya merasa angin berbisik padaku dua kali.

1) Pertengahan 2008. Saat bersama Risna perjalanan dari Bone menuju Sinjai. Saat itu kami cuma berdua. Naik motor. Saya duduk dibelakang. Terlalu takjub dengan pemandangan di sisi kanan kiri jalan, tiba2 saya dikejutkan dengan suara yg nggak pernah saya dengar sebelumnya. Angin berdesir ditelingaku. Tajam. Saya nggak tahan. Takut. Saya mengabaikannya. Tapi, angin tetap saja berdesir kuat. Saya tanya Risna, dia nggak mendengarnya. Saya nggak mengerti apa yang angin coba sampaikan ke saya. Saya nggak punya kemampuan Nabi Sulaiman...

2) Awal 2013. Saat perjalanan ke Bioa. Saat itu perjalanan ramai2 naik motor. Konvoi. Bahkan sempat merasakan dinginnya hujan. Saya, masih jadi orang yang dibonceng. Pun, masih takjub dengan indah dan hijaunya pemandangan sisi kanan kiri jalan. Ditambah cuaca sejuk embun pegunungan.  Lalu, saya mendengar suara angin lagi. Saat itu, desirnya lebih indah dan nggak seribut saat di sinjai dulu. Tapi, saya masih nggak memahami apa yang hendak angin sampaikan padaku. Saya, hanya mencoba menikmati desir suaranya yg riuh rendah dikedua telingaku.

Sebut saja saya mengada-ada. Tapi, pengalaman kedua membuat saya terkadang ingin mendengar angin berbisik padaku lagi. Mungkin suatu hari nanti. Semoga.

DON'T DO THIS, PLEASE!


Pernah beberapa kali saya mendapati pengendara sepeda motor yang tetap melajukan kendaraannya sambil sms-an. Rasanya, greget pasti. Jengkel! Gimana enggak? Secara, pengendara seperti itu membahayakan orang lain. Siapa peduli kalau dia mati, toh dia sendiri nggak menghawatirkan dirinya sendiri. Tapi, bagaimana dengan nasib orang sekitar yang terluka karena kecerobohan dia? Menjengkelkan banget kan???

don't do this, please!


Saya pribadi, bukan tipikal pengendara yang baik, sih. Tapi seenggaknya kerugian itu berimbas pada diri saya sendiri. Semisal, saya (kadang) masih suka males disuruh pake helm. Apalagi kalau jarak tempuhnya nggak terlalu jauh dan area yang dilewati bebas dari pantauan polisi :-D Tapi, kerugian dari kelalaian saya itu imbasnya ke saya sendiri. Saya pernah jatuh, dan kepala saya terbentur aspal. Yang rugi, saya sendiri.

Nah kalo case-nya berkendara sambil sms-an??? Well, mata kita emang ada dua. Trus kanan lihat ke ponsel, kiri lihat ke jalanan di depan, emang bisa???? Artinya kedua mata harus fokus pada satu hal kan? Whether sms yang begitu penting atau jalanan di depan dengan nyawa ada dimana-mana. Kalo emang sms-nya begitu penting dan nggak bisa di-pending, mbok ya minggir dulu. Kalo udah bisa fokus sama jalan baru deh jalan lagi.

Saya malah masih lebih bisa mentolerir pengendara yang berkendara sambil teleponan. Meski menurut aturan berkendara dari kepolisian, inipun tetap DILARANG. Toleransi saya untuk hal ini lebih didasarkan pada kemampuan mata untuk bisa fokus ke jalan. jika seorang pengendara terdesak untuk menerima telpon sementara dia sedang menyetir, seenggaknya telpon itu meminta fokus lebih pada telinga dan mulut, sementara mata tetap bisa fokus ke jalanan di depan.

Well yah, mari mulai dari sendiri nggak egois di jalan. Karena disana betebaran nyawa-nyawa. Kalau kita careless terhadap keselamatan pribadi, ada baiknya kita pikirkan orang lain yang sayang pada diri sendiri. Yuk, lebih berhati-hati.

*pict randomly from google