Talk to whom? Your Mother?


Entah sy yg nggak gaul atau konservatif, tapi telinga saya gatal minta ampun saat siang ini sy duduk diatas angkot, harus mendengarkan percakapan seorang ibu dan anak gadisnya. Karena mereka berbicara dengan volume cukup kencang, maka mau tidak mau percakapan mereka mampir ke telinga saya. Sayangnya, saya tidak bawa headset hari ini.

Anak gadis : "Mama ini makanya besok disiapin berkas-berkasnya. Gua juga kan yang repot, Ma. Untung nggak ada yang ketinggalan."

Si Mama : "Iya, untung KTPnya nggak ketinggalan. *sambil melihat ke arah berkas ditangannya* Ini elo kok nggak tanda tangan? Kan kemaren dibilangin di surat ini lo tanda tangan."

Anak gadis : "Iya tah ma? Gua nggak tau. Lagian, itu fotokopian bego. Ngapain dia press segala. Lah yang perlu di press cuma ijazah, surat itu di press juga."

Uuhh... telinga saya gatal banget. Saya nggak terbiasa mendengar percakapan seperti itu antara ibu dan anak. Kalo sesama teman sih menurut saya masih wajar. Apalagi anak-anak muda yang mau terlihat gaul.

Sepanjang perjalanan, saya mengernyit pahit saat si anak gadis mengucapkan kata-kata yang menurut saya agak kasar. Yang Setan lah. Gila lah. Dan gua-elo untuk ibu dan anak menurut saya tuh agak gimana gitu.

Tapi, mungkin itu persepsi saya sendiri. Karena memang saya orang jawa yang diajari tata krama terhadap orang tua. Dan mungkin standar tata krama di keluarga saya berbeda dengan standar ibu dan anak gadisnya tadi. Kalo di keluarga saya, cara saya berbicara kepada orang tua saya tidak sama dengan ketika saya berbicara dengan teman saya. Dan, mungkin standar itu yang masih saya bawa.

Haha, this is life. You should know that everything doesnt revolve only around you, haps.

Tapi saya bersyukur karena diajari yang baik oleh orang tua saya. Orang tua saya mengajari tata krama saja, saya masih sering khilaf dan nggak sopan ke orang tua saya. Apalagi kalo saya nggak diajari tata krama. Haha.

Dan alhamdulillah angkot yang saya naiki sudah sampai di tempat tujuan. Segera saya bayar ongkos angkot dan melenggang pergi.


Reminiscing


Setiap orang sedang melangkah menuju takdirnya masing-masing. Setidaknya, itulah yang sedang kurasa. Tapi aku, kenapa aku sendiri terjebak disini? Aku merasa seperti berada di ruang hampa. Aku kembali pada kegelapan. Planet-planet berhenti dari peredarannya. Aku tak tahu harus melangkah kemana.

Apa aku punya pilihan?
Kenapa aku tak melihat satu pun jalan keluar?
Lalu kemana aku harus melangkah untuk menuju takdirku?

"Kita tidak pernah tahu takdir kita ke depannya seperti apa. Selama takdir itu belum sampai padamu, jalani apa yang menjadi takdirmu sekarang dengan sebaik-baiknya. Jika nanti takdir yang lain mendatangimu, maka jalani takdirmu selanjutnya. Dengan baik pula. Selama kamu punya niat dan tekad yang kuat, yakinlah bahwa Allah pasti memberi jalan."

Apa kamu ingat siapa yang mengatakan itu, haps?







Don't Gaze Your Future Sadly




Pernah dengar tentang klasifikasi manusia seperti ini?

1. Jenis Manusia yang Tahu bahwa dirinya Tahu.
2. Jenis Manusia yang Tahu kalo dirinya Tidak Tahu.
3. Jenis Manusia yang Tidak Tahu kalo dirinya Tahu.
4. Jenis Manusia yang Tidak Tahu kalo dirinya Tidak Tahu.

Saya sendiri sudah beberapa lama ini menganalisa bahwa saya masuk pada jenis manusia yang pertama dan kedua. Setelah bertahun-tahun saya berkutat dengan hipotesa-hipotesa. Berapa lama waktu yang saya habiskan dalam sebuah kesimpulan, “there’s something wrong with me.” But I don’t really know what’s really wrong tho.

Yang jelas, saya tahu pasti bahwa saya memiliki segala pengetahuan yang sedikit itu. Saya masuk pada kategori Tahu. Hanya saja, I’m still wondering, knowing a little much is another burden. Kalo kamu tahu sesuatu itu salah dan kamu masih saja melakukannya, maka kamu akan mengalami perang batin. Dan itu tidaklah mudah. Kalo kamu tahu hal yang seharusnya kamu lakukan tapi justru nggak kamu lakukan, maka akan ada justifikasi dan segala self blaming. Dan itu adalah hal yang menyakitkan.

Knowing a little much sometimes isn’t better, I guess. Because it will torture you more than anything else. 

Terlepas dari semua itu saya masih akan tetap bersyukur. Saya rasa, ini semua adalah salah satu bentuk penjagaan Allah terhadap diri saya. Saya tahu benar bagaimana aura negative itu memenuhi ruang nafas saya. Dan segala pengetahuan yang sedikit itu menjadi filter sekaligus prosesor agar aura positif bisa menggantikannya. Meski terkadang filter itu masih sering bocor. Dan prosesornya terkadang macet. Haha.

Maka, sangat benar yang sebuah perkataan yang dikirimkan oleh teman saya: 



Ketika tadi saya scrolling down lini masa, dan mendapati sebuah kutipan dari seorang yang memutuskan pindah dari negeri sendiri untuk berjuang di negeri asing (yang ia pilih) sana, maka saya melihat ada desah ketakutan yang wajar dimiliki manusia. Namun hebatnya, ia mampu untuk bertekad dan berpasrah pada Allah sebagai Tuhannya. Dari sisi ragawi, yang tampak di hadapan manusia, mungkin ia bukan seorang yang shaleh (atau setidaknya belum sampai pada taraf keshalehan umumnya). Tapi dari sisi kepasrahan dan keyakinan pada Allah, saya harus meneladaninya. Kalau kamu memang memiliki pengetahuan yang sedikit itu, haps, maka kamu harus bisa melawan ketakutan-ketakutanmu dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya sumber kekuatanmu.  

Ohya, dia juga mengatakan: Manusia punya rasa takut, tapi manusia punya Tuhan, yang menghilangkan rasa sedih dan takut. Sebaik-baik pelindung adalah Dia, Sang Maha (Allah). Percaya saja.

Dia juga mengingatkan tentang bagaimana hebatnya persiapan berupa : Perencanaan. Dan ketetapan akan takdir Allah akan kemudahan yang membuat kita maju, atau kesulitan yang menahan kita dan seharusnya menjadikan kita ikhlas, pasrah.

Terimakasih penulis kesayangan. Tulisanmu benar-benar menginspirasi. Semoga Allah beri mbak taufiq, hidayah serta kebaikan yang berlimpah.

Dan untukku, semoga Allah memperbaiki semua urusan dan keadaan. Don’t be afraid, haps. You have Allah, right?  No need to worry. Ask Him to turn what you wish you'll be.

Really. Don't gaze your future sadly, haps. Cheer up!




~~~~~~~~~~~~~~~~

Ohya, saya masih terus bergumul dengan segala ketakutan-ketakutan saya akan masa depan. Di luar mungkin saya terlihat tenang, but i can't deny it's boiling deep inside. Haha. Ini salah satu cara saya untuk menenangkan diri. Kamu tahu teorinya, pasti akan diuji dengan praakteknya, right? Semoga saya lulus ujian ya.




Ultimate Key : Husnudzan



Pagi ini, di atas angkot.

Duduk di depanku seorang ibu dan anak lelaki yang menggunakan seragam olahraga sekolahnya. Wajah mereka berdua begitu mirip. Anak laki-lakinya itu, yang kuperkirakan masih kelas 1 atau 2 SD, begitu lucu. Saat ia mengunyah cireng pedas dan sesaat kemudian sibuk membuka tutup botol minumnya, raut wajahnya yang kepedasan tak ayal membuatku senyum senyum sendiri. Dan sang ibu, yang bertanya tentang PR serta kegiatan yang dilakukan anak lelakinya di sekolah tadi. Ah, adegan serta dialog yang entahlah, bagiku terasa indah.

Padahal baru kemarin aku berkutat pada ketakutan-ketakutanku yang payah itu. Tapi hari ini aku mulai bersemangat lagi. Mau tak mau, aku toh harus menyambut takdir yang belum sampai padaku itu. Lalu, kenapa harus menghabiskan energi pada hal yang belum terjadi?

Berprasangka baiklah pada Allah. That's the ultimate key, haps.


Bahagia Itu Sederhana



Edisi : Pandai Bersyukur

Awalnya, aku begitu kagum dengan kejadian yang terjadi pada temanku ini. Sebut saja Dya. Aku baru tahu setahun kemarin kejadian yang Dya alami. Dan menurutku, itu sebuah hal yang begitu menakjubkan. 

Dya sangat jarang bahkan enggan jika diajak pergi ta’lim (mendengarkan ceramah) di masjid. Berbeda dengan sang adik, Ars yang memang senang menghadiri ta’lim. Beberapa kali Ars mengajak Dya untuk menghadiri ta’lim. Tapi entahlah, ada saja alasan Dya untuk tidak ikut. Meskipun begitu, Ars tak bosan-bosannya mengajak Dya untuk ikut menghadiri majelis ta’lim. Sampai suatu ketika, Dya memutuskan untuk ikut Ars menghadiri ta’lim di suatu masjid yang terkenal bagus, dingin, dan nyaman di samping area public space di Bandar Lampung. 

Ars tidak bercerita banyak padaku kecuali: “Setelah ta’lim selesai, Dya pergi ke toilet. Tiba-tiba ada seorang Ibu yang mendekatiku bertanya tentang Dya. Maka kukatakan bahwa Dya adalah kakakku. Lalu Ibu tadi menyebutkan bahwa ia hendak mencarikan istri untuk anak laki-lakinya. Dan Ibu tadi berkenan dengan Dya.”

Maka perkenalan pun terjadi. Ibu tadi adalah istri salah satu pejabat di Bandar lampung. Background keluarga si laki-laki dari kalangan terpandang dan berada. Anak laki-laki yang sedang ia carikan istri pun ternyata sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai PNS. Meski tidak setampan artis-artis di Televisi, tapi si laki-laki memiliki wajah yang rupawan, enak dipandang. Bawaannya adalah mobil Pajero Sport mentereng. Tempat makannya bukan kelas kaki lima melainkan hotel bintang lima. Dan ia termasuk anak yang patuh pada perintah orang tua. Padahal, banyak yang menolak perjodohan dengan alasan “Ini kan bukan lagi zaman Siti Nurbaya!”

Maka, tak ada alasan bagi Dya untuk menolak pinangan tersebut. Pernikahan pun diselenggarakan dengan cukup mewah dan meriah. Maklum, undangan dari pihak keluarga laki-laki kebanyakan dari kalangan pejabat maupun PNS. 

Ohya, bagaimana dengan kondisi keluarga Dya? Maka, saya beri judul di atas dengan “BAHAGIA ITU SEDERHANA”. Karena Dya berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Dya yatim sejak SD. Dya dan Ars terpaksa ikut dengan tantenya (adik ayahnya) dan hidup dari sokongan keluarga sang ayah (oom dan tante-tante yang lain) karena Ibunya tak sanggup membiayai sekolah keduanya. Berbeda dengan Ars yang berprestasi, Dya termasuk siswa biasa-biasa saja. Nilai-nilai ujian Dya sangat sederhana. Ketika kuliah pun IPKnya masih juga sederhana. Dya bekerja di perusahaan yang sederhana juga. Bukan perusahaan besar dengan gaji yang lumayan. 

Tapi, subhanallah. Jika Allah berkehendak, maka segala sesuatu akan terjadi. Baru setengah tahunan Dya bekerja, dan dengan sekali ia datang bermajelis (itupun karena diajak Ars, adiknya), Ia dilirik oleh Ibu Ratu dari Pangeran Hatinya. Ia mendapatkan jodoh di masjid yang nyaman dan dingin itu. Masya Allah.

Bahagia itu Sederhana. Jika kamu bisa menyederhanakan hatimu untuk lapang menerima apapun yang Allah berikan padamu. Banyak atau sedikitnya. Besar atau kecilnya. Itulah yang saya lihat pada diri Dya. Menurut penuturan Ars, Dya tak menyimpan dendam pada ibunya yang menikah lagi dan tetap hormat dan patuh pada ibunya meski ia tahu ibunya tak pernah membiayai hidupnya sejak kematian ayahnya. Dya juga menjalani hidup dengan santai dan apa adanya. Ia tak pernah menutupi kondisi “adopsi” yang ia jalani. Dya juga, adalah sosok periang dibalik semua cobaan hidup yang dia alami.

Maka, jika Allah berkehendak untuk menjadikan Dya bak Cinderella dalam kehidupan nyata, mungkin itu sesuatu yang wajar saja. Lalu saya menasehati diri sendiri :

Kebahagiaan itu akan datang kepada mereka yang berhati baik. Sesederhana itu.



Bandar Lampung, 06 September 2017
Setelah berbincang dengan Dya dan tahu tentang kabar kehamilannya. Selamat ya, Dya. Semoga Sehat Ibu dan Baby.