Oh yaaaaaa..... sekali lagi ada saja yang bertanya pada saya tentang perbedaan-perbedaan tempat ngaji. Dan, to be honest, saya sudah sangat amat bosan dengan pembahasan tersebut. Tapi, berhubung yang bertanya pada saya tadi adalah orang yang sedang semangat-semangatnya belajar, dan memang masih sangat nol pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan tersebut, maka... saya berusaha menjawab se-wise yang saya bisa.
Dan, saya sangat menyayangkan dengan oknum-oknum yang masih saja membesar-besarkan perbedaan yang sebenarnya bukan hal esensi untuk dijadikan fokus yang akhirnya mengarah pada saling tuduh dan menjelek-jelekkan satu sisi.
Well, khusus di Bandar Lampung, ibu-ibu yang saya kenal sering kebingungan kalo datang ke pengajian. ketika datang ke pengajian A, beberapa orang jelas-jelas melarang ibu-ibu yang saya kenal itu agar nggak datang ke pengajian B. Dan begitu juga sebaliknya, ketika si Ibu datang ke pengajian B, ada saja beberapa orang yang melarang si Ibu tersebut untuk nggak datang ke pengajian A. Padahal, pakaian (jilbab) pengajian A dan B sama. Buku-buku (kitab) yang dipakai ketika pengajian sama. Ilmu yang disampaikan ustad/ustadzah di pengajian A dan B sama. Aqidah, dan fiqih di pengajian A dan B sama. Jadi, apa yang salah sama mereka ya? Hanya karena di pengajian A animo untuk taat kepada pemerintah begitu kuat, sementara animo di pengajian B adalah tidak mengakui pemerintah sebagai ulil amri. Ya Tuhan.....
Dan, posisi saya yang nggak ikut ke keduanya dengan memilih berdiri sendiri di jalan tengah pun ternyata ikut-ikutan dapat sorotan. Ketika tadi saya datang untuk memperbaiki bacaan Al-Qur'an (Tahsinul Qiro'ah) beberapa ibu-ibu yang saya kenal, langsung saja saya dapat laporan bahwa ibu-ibu tersebut dilarang untuk tahsin dengan saya. Ya Tuhan.....
Menurut saya, sangat disayangkan banget loh sikap beberapa orang yang seperti itu. Ketika ibu-ibu itu adalah orang yang sedang semangat-semangatnya belajar dan mencari hidayah kemana-mana, kenapa mesti kita redam semangatnya dengan melarang-larang mereka? Lebih di sayangkan lagi jika larangan tersebut disertai dengan memaparkan keburukan-keburukan pihak lain yang, bisa jadi itu hanya prasangka semata.
Jika memang secara aqidah kita nggak berbeda, kenapa mesti panik? Manusia kan nggak sempurna. Para ulama saja sering berbeda dalam sebuah hukum, padahal mereka adalah orang yang paling mengerti tentang agama. Apatah lagi kita yang ilmunya, seujung kukupun belum sampai. Ketika Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas berbeda dalam bacaan tasyahud, hal itu tidak menjadikan pertentangan yang besar yang menyebabkan satu pihak menyalahkan pihak yang lainnya kan?
Jadi, apakah perkara berbeda dalam menerima atau menolak aturan pemerintah kedudukannya setara dengan akidah? Dengan catatan, pemerintah yang dimaksud bukan daulah Islamiyah. Adalah pemerintahan sekuler. Pemerintahan yang pemimpinnya adalah seorang muslim, tapi mengambil hukum buatan manusia, dan tidak menegakkan syariat Islam. Jadi, apakah ketika ketauhidan kita sama, fiqih kita sama, penampilan kita sama, tahsin kita sama, lalu, apa yang salah jika hanya satu sisi itu kita berbeda?
Kalo saya boleh berpendapat, rasa "klik" pada satu tempat ngaji itu nggak bisa dipaksakan loh. Jadi, biarkan saja Ibu-Ibu itu kalo mau ngaji kesana-kesini. Selama kita tahu tempat ngaji itu sumbernya adalah Al-qur'an dan Hadits dengan metode yang diajarkan Rasulullah. Karena, tanpa perlu kita paksa memilih, hati itu akan memilih dengan sendirinya ke tempat mana yang klik dengan hatinya. Dan, kalo pun mereka nggak memilih bersama kita, so what? Selama tujuan kita sama, kendaraan yang dipake berbeda, bukan masalah besar bukan? Kalo kita senang naik pesawat, sementara dia takut ketinggian dan memilih naik kapal, ya biarkan saja. Janjian saja untuk bertemu di hadapan Ka'bah misalnya. Nggak ada masalah bukan? Kecuali kita tahu bahwa kapal yang dia naiki tujuannya nggak sama dengan kita.
Well yah, tapi kita kan emang nggak bisa ngatur semua orang untuk bisa berpikir yang sama dengan kita kan, ya? :))
Dan, saya sangat menyayangkan dengan oknum-oknum yang masih saja membesar-besarkan perbedaan yang sebenarnya bukan hal esensi untuk dijadikan fokus yang akhirnya mengarah pada saling tuduh dan menjelek-jelekkan satu sisi.
Well, khusus di Bandar Lampung, ibu-ibu yang saya kenal sering kebingungan kalo datang ke pengajian. ketika datang ke pengajian A, beberapa orang jelas-jelas melarang ibu-ibu yang saya kenal itu agar nggak datang ke pengajian B. Dan begitu juga sebaliknya, ketika si Ibu datang ke pengajian B, ada saja beberapa orang yang melarang si Ibu tersebut untuk nggak datang ke pengajian A. Padahal, pakaian (jilbab) pengajian A dan B sama. Buku-buku (kitab) yang dipakai ketika pengajian sama. Ilmu yang disampaikan ustad/ustadzah di pengajian A dan B sama. Aqidah, dan fiqih di pengajian A dan B sama. Jadi, apa yang salah sama mereka ya? Hanya karena di pengajian A animo untuk taat kepada pemerintah begitu kuat, sementara animo di pengajian B adalah tidak mengakui pemerintah sebagai ulil amri. Ya Tuhan.....
Dan, posisi saya yang nggak ikut ke keduanya dengan memilih berdiri sendiri di jalan tengah pun ternyata ikut-ikutan dapat sorotan. Ketika tadi saya datang untuk memperbaiki bacaan Al-Qur'an (Tahsinul Qiro'ah) beberapa ibu-ibu yang saya kenal, langsung saja saya dapat laporan bahwa ibu-ibu tersebut dilarang untuk tahsin dengan saya. Ya Tuhan.....
Menurut saya, sangat disayangkan banget loh sikap beberapa orang yang seperti itu. Ketika ibu-ibu itu adalah orang yang sedang semangat-semangatnya belajar dan mencari hidayah kemana-mana, kenapa mesti kita redam semangatnya dengan melarang-larang mereka? Lebih di sayangkan lagi jika larangan tersebut disertai dengan memaparkan keburukan-keburukan pihak lain yang, bisa jadi itu hanya prasangka semata.
Jika memang secara aqidah kita nggak berbeda, kenapa mesti panik? Manusia kan nggak sempurna. Para ulama saja sering berbeda dalam sebuah hukum, padahal mereka adalah orang yang paling mengerti tentang agama. Apatah lagi kita yang ilmunya, seujung kukupun belum sampai. Ketika Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas berbeda dalam bacaan tasyahud, hal itu tidak menjadikan pertentangan yang besar yang menyebabkan satu pihak menyalahkan pihak yang lainnya kan?
Jadi, apakah perkara berbeda dalam menerima atau menolak aturan pemerintah kedudukannya setara dengan akidah? Dengan catatan, pemerintah yang dimaksud bukan daulah Islamiyah. Adalah pemerintahan sekuler. Pemerintahan yang pemimpinnya adalah seorang muslim, tapi mengambil hukum buatan manusia, dan tidak menegakkan syariat Islam. Jadi, apakah ketika ketauhidan kita sama, fiqih kita sama, penampilan kita sama, tahsin kita sama, lalu, apa yang salah jika hanya satu sisi itu kita berbeda?
Kalo saya boleh berpendapat, rasa "klik" pada satu tempat ngaji itu nggak bisa dipaksakan loh. Jadi, biarkan saja Ibu-Ibu itu kalo mau ngaji kesana-kesini. Selama kita tahu tempat ngaji itu sumbernya adalah Al-qur'an dan Hadits dengan metode yang diajarkan Rasulullah. Karena, tanpa perlu kita paksa memilih, hati itu akan memilih dengan sendirinya ke tempat mana yang klik dengan hatinya. Dan, kalo pun mereka nggak memilih bersama kita, so what? Selama tujuan kita sama, kendaraan yang dipake berbeda, bukan masalah besar bukan? Kalo kita senang naik pesawat, sementara dia takut ketinggian dan memilih naik kapal, ya biarkan saja. Janjian saja untuk bertemu di hadapan Ka'bah misalnya. Nggak ada masalah bukan? Kecuali kita tahu bahwa kapal yang dia naiki tujuannya nggak sama dengan kita.
Well yah, tapi kita kan emang nggak bisa ngatur semua orang untuk bisa berpikir yang sama dengan kita kan, ya? :))