lebih untuk diri sendiri


Malam ini saya begadang. Semenjak berhari-hari setelah kepulangan saya ke rumah ini saya isi dengan tidur dan tidur sepanjang malam. Rasanya sudah agak lama saya tidak merasakan ini. Begadang dengan laptop menyala di depan mata saya. Tangan yang sibuk menari dia atas keyboard. Dan, internet yang sering error in network, serta secangkir kopi. Haha, saya kangen dengan wifi di kos-kosan saya. Saya kangen men-download sembarang semasa kuliah dulu!

Hidup sebagai mahasiswa kos-kosan yang tinggal jauh dari keluarga ternyata ada enaknya juga. Saya kangen dengan ke-bebasan memperturutkan egoisme diri. Saya kangen dengan hidup semau saya. Saya kangen dengan begadang-begadang saya dulu. Lalu, tidur di pagi menjelang siang saya.  Benar-benar seenak udel saya. Haha!

Tapi ya seperti itu lah hidup. Saya pun menyadari bahwa semua itu tak kan abadi. Saat ini misalnya, saya harus kembali ke rumah. Berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Harus siap mengalah baik kepada yang lebih tua maupun yang muda (tergantung case). Dan mau gak mau saya harus menerima semua itu. Karena saya tak terlahir seorang diri. Karena saya tak melahirkan diri saya sendiri. Jadi, ya ketika ada kesempatan begadang seperti malam ini, laptop bisa disentuh hingga jemari keriting seperti ini, dan (meski) internet (gak) bisa dipake tengah malam gini, maka saya ber-azzam untuk tidak tidur hingga subuh nanti.

Dan, inilah hidup kawan. Akan ada saja hal-hal dari masa lalu yang akan kita rindukan, selalu.

Curhat seorang sarjana...

woho..... lama banget ya gak sentuh blog lagi. Hem,,, gak tau brapa lama. Gak mau ngitung. Sekarang mencoba menulis meski cuap-cuap semata.

Saya sudah lulus kuliah. Belum kerja memang, tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan. Konsekuensi saya lulus kuliah adalah kembali ke rumah. Separuh hati senang (jingkrak-jingkrak) setengahnya lagi bimbang. Saya adalah anak bungsu, dari tiga bersaudara. Mas saya yg pertama sudah menikah, punya anak, bekerja dan tinggal di kalimantan. Mbak saya yg kedua sudah menikah, punya anak, jadi seorang guru, dan tinggal di rumah bersama ibu saya (karena diminta oleh ibu saya).

Nah, saya memang bukan seorang feminis yang mati-matian mengatakan saya harus jadi wanita karier. Tapi, saya gak mungkin serta merta "nodong" uang dari orang tua saya yg sudah tua dan pensiun ataupun dari kakak saya yg sudah punya anak dua! Dan saya sudah memikirkan ini, karenanya saya berpikir untuk bekerja (untuk sementara). Demi menghidupi kebutuhan pribadi saya.

Parahnya, orangtua (ibu) saya memiliki pikiran yg unik dan keluar dari frame orangtua kebanyakan. Saya tidak diijinkan bekerja di luar rumah! Alasannya sederhana. Saya seorang perempuan! Seorang perempuan tak perlu bekerja. Itu tugas lelaki. Untuk kasus mbak saya, beliau mengatakan guru bukanlah "pekerjaan" (karier). Dan parahnya, saya hanya diijinkan jika menjadi guru. Padahal, saya sendiri bukan tipe seorang pengajar yg baik. Jiwa saya bukan jiwa seorang GURU!

Saya frustasi sedikit. Ijazah hanya menumpuk di map yg tergeletak sembarang di kamar. Dan saya masih bimbang.... Dan berdoa di beri jalan keluar.

Akhirnya, Hari Itu Datang Juga...

It's The day....

Pada akhirnya, saya betul-betul bisa merasakannya. My Graduation... setelah sekian lama saya menanti datangnya hari ini. Penuh perjuangan (meski perjuangan itu baru saya rasakan di detik-detik akhir menjelang kelulusan).  Namun, akhirnya ada juga yang bisa saya berikan untuk orang tua saya...
 
Dan, inilah dokumentasi wisuda saya....

beginilah
ribuan wisudawan
narsisnya teman2ku

here i am.. :)

wisudawan memenuhi ruangan



Revisi Oh Revisi...



Saya paling gak suka kalo saya sudah moody gini. Padahal, ada revisian skripsi yang harusnya saya garap dan bisa selesai sebelum tanggal 18 kemarin. Tapi, ya gitu deh.. pake alasan ramadhan lah, mau ibadah lah, tapi nyatanya ibadah saya juga gak maksimal. Pake alasan banyak kegiatan lah. Padahal, kegiatannya cuma 2 hari doang, selebihnya saya lebih banyak free. Gini nih saya ini. 
Kemarin saya diminta menemani seorang teman mengurus berkas-berkas perihal keterlambatannya membayar SPP. Yah, saya maklum sewaktu dia bilang di sms-nya: temani ya haps, saya malu pergi ke rektorat sendirian. Mau gak mau, saya temani juga. Dioper kesana-sini, saya masih setia mendampingi dengan sesekali ikut campur dalam memainkan jurus loby dan negosiasi dengan beberapa pegawai. 
Nah, saat saya sedang duduk-duduk di jurusan teman saya itu (saya anak HI, sementara teman saya itu anak Kehutanan) saya memperhatikan orang lalu lalang sibuk mengurus sesuatu. Mata saya tertumbuk pada kumpulan skripsi yang dibawa salah seorang mahasiswa. Glodak,,, rasanya ada bunyi sesuatu yang jatuh berdebam kuat sekali. Saya seperti baru tersadar kalo saya masih belum bisa melenggang santai. Masih ada revisian-ku....
Tuhan.....
Selepas saya yudisium setelah saya ujian meja, rasanya saya sudah end dengan segala urusan kemahasiswaan. Padahal, skripsi masih ada sedikit yang perlu di revisi. Benar-benar... saya merutuk diri sendiri dalam hati.
Dan, hari ini saya berencana merevisi, tapi.... (selalu ada tapi!) kok mood saya belum stabil ya. Eaaaaaaaaa haree genee mase ngekuten mood?!!! Beuh, saya harus melawan diri sendiri lagi sepertinya.
Susah..... tapi akan dicoba!!!
Yep, ini tulisan untuk menyemangati diri. Ayo, semangat!!!!! Revisi menanti....
Well, saya jadi teringat dengan sms dari pembimbing saya. Cara beliau mengingatkan saya akan revisi adalah dengan meng-sms saya begini,
Saudara kami undang pada acara sahur bersama pukul 03.00 hari ini.
Phew.....  


 



Ngemen dikit soal Nazaruddin

Orang-orang sibuk ngurusin Nazaruddin yang ketangkep. Wait and see deh allz, ntar juga kasusnya ngambang lagi... Banyak pendahulunya soalnya. Ketangkepnya Nazaruddin gak menjadi jaminan kasusnya akan selesai. BUkankah selalu seperti itu jika berkaitan dengan korupsi? menurut saya sih, jalan ceritanya udah kebaca kok. Pemerintah bikin puas rakyat dengan menyebar berita bahwa seorang koruptor berhasil ditangkap.. Trus, si koruptor di masukin penjara yang kualitasnya kayak hotel bintang lima. Klo mau nonton konser, ijinnya pake ijin cek kesehatan. Kalo udah lama-lama, masyarakat disibukkan dengan kasus baru lainnya. Dan, akhirnya kasus satu tak akan pernah selesai.... Ngambang... Dan Koruptor, tetap saja melenggang bebas... Hidup dengan foya-foya. Hanya, sempat merasakan sedikit sensasi layaknya selebriti...

Hukum di Indonesia emang gak pernah adil, gan... Kalo berkaitan dengan korupsi, Hukum kayak krupuk yang dimasukin kaleng, tapi lupa ditutup. Jadinya, mlempem. Gak kriuk lagi, gan.. Tapi, coba deh kalo berkaitan sama kasus-kasus gak penting kayak maling ayam, pemilik kambing yang kambingnya gak sengaja makan tiga daun jagung miliknya orang, dan kasus-kasus kecil lainnya gan.. Hukum di Indonesia seolah yang paling adil aja.

Trus ada satu lagi  nih, gan yang harusnya bikin kita pada mikir, untuk kasus-kasus terrorisme yang padahal gan.. bukti-buktinya itu kelihatan di depan mata cuma hasil rekayasa. Atau gak ya, buktinya itu dibikin maksa. Tapi agan-agan liat kan semua, Indonesia kayaknya yang paling cepet deh dalam menghukum mati seseorang.

Kalo sepenglihatan saya yang cuma seorang mantan mahasiswa yang ilmunya baru secuil, nih... Kasus korupsi di Indonesia akan sangat sulit banget buat diberantas. Karena orang-orang yang berada dalam lingkup hukum di Indonesia hampir semuanya terlibat dalam kasus korupsi. Bahkan, gan... beberapa waktu lalu, sopir taksi pernah ngomong sama saya gini:" Korupsi di Indonesia emang sudah mendarah daging, mbak. Mulai dari pejabat-pejabatnya sampe orang-orang kecil di pelabuhan. (Saat itu saya emang naik taksi menuju pelabuhan). Kalo para pejabat korupsinya sampe milyar dan jutaan, orang kecil juga gak mau kalah ikutan korupsi meski cuma puluhan atau ratusan ribu."

Eh, niatannya tadi cuma ngemen dikit gan.. Kalo kebanyakan ya mohon dimaafkan. CMIIW ya gan...

Ini Ceritaku, Kamu?


Kita tidak pernah tahu takdir akan membawa kita kemana…

Masih lekang dalam ingatan saya perkataan salah seorang teman yang bunyinya kurang lebih seperti ini, “iman kepada takdir merupakan perkara yang sangat berat meski kelihatannya ringan. Seorang muslim mungkin akan dengan mudah beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Rasul serta kitab-Nya, serta akhir dari dunia ini. Tapi ketika masuk pada ranah takdir, seseorang seperti lupa bahwa mereka juga memiliki kewajiban untuk beriman padanya.”

Dan, sering saya dapati saya termasuk orang yang juga lalai untuk beriman pada takdir. Ketika ada hal menggembirakan, saya selalu lalai dengan berkata,” ini mimpi ya? Saya masih belum percaya!” Terlebih ketika ujian yang datang (hal yang tentu saja tidak kita harapkan), saya sering sekali lalai. Dengan marah lah, memaki lah, mencak-mencak lah, bilang gak terima lah, dan segala lah-lah yang lain.

Iman kepada takdir saya memang harus diperbaharui…


NB. Gambar diambil dari sini


Is it Future?! No, Just Big Plan...

Life must go on. 

Kemarin saya bercerita pada room-mate saya bahwa saya akan melanjutkan hidup saya. Dan, dengan lucunya dia bertanya,’memangnya selama ini kamu mati?’ heuheuehue garing banget ya…

Saya memang tidak mati. Tapi, esensi hidup hampir saja tidak lagi saya rasakan. Esensi hidup tidak lagi saya nikmati dalam beberapa waktu belakangan. Manusia memang banyak yang hidup, tapi mereka tidak benar-benar “hidup”. Hidup harus bergerak. Jadi hidup = bergerak atau melakukan pergerakan.

Selama penyusunan skripsi beberapa bulan belakangan, saya seperti mati. Tidak ada pergerakan yang saya lakukan. Saya hanya berkutat pada skripsi, buku-buku angkuh yang merasa benar sendiri, dan internet yang lebih sering bikin jengkel karena koneksi lambatnya. Saya seperti mati. Karena saya tidak bergerak. Hanya diam di tempat. Gamang…


Karenanya, selepas yudisium, saya ber-azzam untuk kembali melanjutkan hidup saya. Saya akan bergerak, dan mungkin akan terus bergerak. Sangat familiar pernyataan bahwa life is never flat. Dan bagi saya, hidup memang seperti itu.


Karenanya, saya merencanakan banyak hal dalam hidup saya. Mungkin saya akan melanjutkan S2 saya. Mungkin di UI, UGM, atau bahkan di luar negeri. Saya mungkin akan menikah tahun depan atau tahun-tahun ke depannya. Mungkin saya akan bisa menjadi dosen, atau seorang istri yang baik. Mungkin saya akan menjadi direktur utama pemilik sebuah yayasan. Saya mungkin akan memiliki banyak uang dan jadi seorang yang dermawan. Atau mungkin saya hidup pas-pasan tapi tetap membantu banyak orang. Saya bisa menjadi konsultan, atau pengusaha merangkap sebagai ibu rumah tangga. Banyak hal yang kemudian bisa saya lakukan. Jika saya terus hidup. Dan tidak lain, ini mengindikasikan pergerakan.


Saya bukan seorang feminist, maka saya akan berkata menjadi ibu rumah tangga pun indikasi sebuah pergerakan. Ibu rumah tangga sekarang banyak yang kreatif. Orang mungkin bisa saja berpikir bahwa seorang perempuan yang menuliskan ‘ibu rumah tangga’ dalam kolom pekerjaan pada identitasnya adalah seorang yang hanya berkutat pada pekerjaan berbau rumah dan tangga (apa sih haps…gak jelas banget!). Namun, sepertinya banyak yang tidak tahu hal-hal menakjubkan apa yang bisa dilakukan ibu rumah tangga yang bahkan tidak mampu dilakukan oleh para wanita karier. 

Tapi saya juga bukan seorang konserfatif yang melarang seorang perempuan untuk terus berkarya. Perempuan di bekali Tuhan kemampuan yang sama dalam hal kreatifitas. Meski mungkin dalam kehidupan nyata perempuan tidak se’berani’ dan se’pede’ para lelaki sehingga kreatifitas perempuan tidak muncul. Akibatnya, perempuan seakan hanya dijadikan objek dari kreatifitas para lelaki yang kadang malah justru merendahkan harkat seorang perempuan.

Berbicara tentang perempuan sepertinya tidak akan ada habisnya. Saya adalah perempuan, yang memiliki banyak pilihan. Saya bisa memilih untuk menjadi ibu rumah tangga yang kreatif atau pekerja yang bertanggung jawab terhadap kodrat seorang perempuan. Berbeda dengan lelaki yang pilihannya hanya ada dua: BEKERJA atau MASUK PENJARA. Hahaha, pernyataan itu saya ambil dari dinding fb milik teman saya.  


Jadi, saya akan berusaha melanjutkan hidup saya dengan sebaik-baiknya. Dengan percaya, bahwa Allah telah menggariskan takdir-Nya untuk saya. Yang saya perlu lakukan hanyalah berusaha sekuat tenaga, agar Allah merubah takdir-Nya pada saya dan memberikan yang terbaik, atau tetap menggariskan takdir terbaik-Nya pada saya. Huheuheuheue intinya saya tetap ingin mendapatkan yang terbaik. Iyey….

Dari Tumblr-nya Dosen..

I might not be someone’s first choice, but I am a great choice. I don’t pretend to be someone I’m not, because I’m good at being me. I might not be proud of some of the things I’ve done in the past, but I’m proud of who I am today. I may not be perfect… but I don’t need to be. Take me as I am, or watch me as I walk away.
sumber: http://justishaq.tumblr.com
 

Happy Ending (kah?!)

Tanggal 4 kemarin, tepatnya hari kamis, saya telah melewati ujian meja. Yudisium, or whatsoever the name.. Intinya, last step lah sebelum saya wisuda-an.. Saya yang khawatir, cemas, dan segala rasa (baca postingan saya sebelumnya disini) terang aja super duper grogi... Meski pada malam hari sebelum hari H, room-mate saya sudah memantra-mantrai saya dengan thousand words of great motivation about me, tetap saja saya panas dingin. 

Tepat di depan pintu ruang ujian, saya loncat-loncat. (that's one of the best ways to relieve my nervous) sambil membaca satu do'a yang sangat membantu saya: "Robbish-rohli shodri wa yassirli amri wahlul uqdatan millisani yafqahu qauli"... dan berdo'a juga agar Allah membantu saya di dalam. 


Alhamdulillah, saya bisa menguasai diri ketika presentasi (pendadaran, or whatsoever the name lah..) memaparkan isi skripsi saya. Penuh percaya diri (sebenarnya, di-percayapercaya-in sih), dan gak ada rasa grogi pun. Hanya saja, ada hal yang membuat segalanya gak berjalan lancar. Adalah saya, mahasiswa yang sudah lama gak berkarya. Sehingga, ketika salah seorang penguji bertanya (dan ini masih sesi petama!) saya agak gelagapan menjawabnya! Bukan karena saya tak menguasai isi skripsi saya (meski iya sedikit sih..), tapi lebih kepada ke-arah mana beliau membawa petanyaan tersebut?!


Namun, dengan mengingat pernyataan senior saya sehari sebelumnya, :'Kalau masih bisa, usahakan untuk bersikap kooperatif saja. Mereka adalah penguji yang merasa diri mereka Lebih berpengalaman dan lebih taw tentang bahasan yang kita gagas.' Maka, saya memilih untuk tidak menggebu-gebu dalam memberi bantahan. Ketika saya disodorkan pertanyaan, saya menjawab sesuai dengan apa yang saya pahami. Jika yang disodorkan adalah saran, maka saya tak perlu membantahnya (hey, itu hanya sebuah saran, hanya butuh di pertimbangkan untuk di terima atau tidak kan? easy as that really).

Ya, meski agak terbata-bata di awal, namun kemudian saya memilih utuk melanjutkan tuturan saya. Anggap saja saya sedang berkicau. Karena toh, saya sudah di dalam ruangan dan tidak bisa keluar sebelum saya menyelesaikannya. Just want to get it all over... Maka penguji satu, penguji dua, penguji tiga, penguji berikutnya, hingga terakhir adalah ketua penguji... Saya membiarkan mereka menghujani saya dengan pertanyaan, celaan, dan bantahan.

In that case, I made a big mistake... Ada satu kalimat yang bodohnya terucap dari mulut saya yang malah justru terkesan saya menjatuhkan sripsi saya sendiri. Dan ini menyebabkan ketua penguji (who ex-officio pembimbing 1 saya) suaranya menggelegar hingga luar ruangan. Saya menggigit lidah sambil merutuk dalam hati ' why am I that so stupid?!' Argh....

Selesai, saya disila keluar ruangan. Giliran teman satu ujian saya yang masuk ruangan untuk istilah kasarnya, "dibantai". Keluar dari ruangan, saya tidak berhenti menyalahkan diri. Dengan gerakan cepat, saya mengambil handphone dan menghubungi mommy tercinta. Meminta backing-an do'a agar dituturkan pada Yang Paling Berkuasa se-jagat raya...Pikir saya, ini ibu saya nih, yang di telapak kakinya ada surga. Kalau beliau mendoakan saya pada Allah yang Kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi, Hasilnya khan.. mungkin saja saja bisa dapat 'A'. huehueheuhe. Tapi, beneran deh...that's my hope definitely. (Ada yang masih berpikir saya gak normal? So the situation may have been :D)

Cemas, saya menghubungi room-mate saya untuk curhat. Saya bahkan kepikiran jangan-jangan harus ngulang ujian. Junior yang nungguin di luar ruang ujian aja sampe nanya, 'kenapa kak tadi? Suaranya pace (ketua penguji: red) keras banget sampe kedengeran dari luar!)' Dan saya hanya menjawab dengan cengiran (atw mungkin tepatnya seringai?) Saya betul-betul takut... 'masa' saya harus ngulang sih?!' 'Emang pernah ada kasusnya mahasiswa yang disuruh ngulang ujian?' 'aduh, gimana nilai saya nanti.. masa' dapet B?!'

Well, yang bikin tulisan ini bisa diberi judul seperti di atas, karena one thing is hard to believe ketika di umumkan hasilnya, dan disebutkan oleh ketua tim penguji bahwa, 
HAPSARI DIAN WAHYUNINGRUM dengan skripsi berjudul PENGARUH ISLAM TERHADAP PERUMUSAN KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA telah yudisium dengan nilai yudisium A, dan nilai skripsi A. Jadi total IPK saudara 3, 83.


It's really hard to believe. Di depan para penguji saya masih sempat cubit punggung tangan saya sendiri. Jangan-jangan saya bermimpi. Jadi, cerita ini Happy Ending (kah?!)... 

Paused (Everyone needs to take a break sometime)


terkadang, sulit sekali untuk memahami keadaan. Apalagi memahami orang lain. Keegoisan kita untuk selalu dimengerti menjadi batu yang paling besar dalam mengarungi hidup dan bersosialisasi. Hasilnya, perasaan yang menguasai diri hanyalah keinginan untuk menang sendiri. Padahal, kalau kita mau untuk sedikit membuang ego diri dan merenung, mungkin kita bisa mengerti segalanya. Bahwa kita tak hanya hidup sendiri saja. Bahwa kita, bukan pusat dari alam semesta. Bahwa kita, hanya manusia biasa, yang tak pernah lepas dari sifat cela...



Hampir Akhir Part 2

Hidup memang tak begitu berasa tanpa adanya halangan dan cobaan. Itu yang beberapa hari ini saya rasakan. Bisa jadi, halangan-halangan yang saya dapati itu memang sebuah punishment yang layak saya dapatkan (mengingat begitu banyaknya kesalahan yang saya lakukan)…

Beberapa waktu lalu sempat saya khawatir, cemas (bahasa EYD-nya mungkin “galau” kali ya..) kalau-kalau saya tidak bisa ikut ujian meja sampai batas yang di tentukan. Pasalnya, setiap kali saya hendak konsultasi dengan pembimbing 1 saya (untuk kejar isian lembar kontrol which salah satu syarat untuk ujian meja), beliau selalu saja berhalangan. Parahnya, halangannya karena beliau berada di luar kota! Well, saya hampir saja putus asa. Berkas ujian belum masuk, lembar pengesahan skripsi belum di tandatangani pembimbing, lembar kontrol belum terisi satu-pun (especially lembar bimbingan dengan pembimbing 1 saya). Skripsi saya belum acc, while jadwal pengurusan plus ujian meja hanya bersisa satu pekan! Jika tidak bersisa sedikit saja keimanan dalam hati saya, mungkin saya menjadi satu diantara sekian manusia-manusia yang jatuh pada kehinaan bernama “keputusasaan”..

But  amazing, banyak kejadian yang bikin saya banyak-banyak bersyukur dan semakin percaya bahwa pertolongan Allah itu sungguh dekat. Berkas-berkas bisa saya urus meski skripsi belum acc. Meski bermasalah di pembimbing 1, tapi kelancaran proses bimbingan di pembimbing 2 menjadi semangat untuk terus maju. Kerahkan jurus negosiasi (really, ilmu yang saya pelajari ini works loh..) pada jurusan untuk dibuatkan jadwal ujian dengan janji bisa dapat “ridho” pembimbing 1 secepatnya. Tiba-tiba dapat teman senasib sepembimbing-an yang juga mau ujian meja tapi masih “berkendala” (ini benar-benar jadi motivasi untuk lebih berusaha lagi). Akhirnya, janjian untuk bisa ujian bersama, saling menyemangati untuk selesaikan berkas secepatnya, dan bernegosiasi dengan pembimbing dengan ektra maneuver. Yeah, tak lepas bahwa itu semua bagian dari pertolongan Allah.

Akhirnya, saya menjadi satu mahasiswa yang memiliki rekor bisa ujian meja dan dapat acc dari pembimbing 1 saya hanya dengan 1 kali menghadap. Mungkin, orang pikir ‘Ah, biasa aja kali. Banyak kok yang begitu. Kadang, pembimbing kan emang gak terlalu care sama skripsi mahasiswa bimbingannya karena mereka terlalu sibuk.’ Well, mungkin ada benarnya juga ya. Tapi, kasus pembimbing saya ini beda. Dedikasi beliau terhadap mahasiswa bimbingannya tidak perlu diragukan. Beliau adalah orang yang sangat concern terhadap kualitas mahasiswanya. Beliau termasuk diantara dosen yang betul-betul berusaha membimbing (yang ini kadang disalahartikan oleh teman-teman saya sebagai sebuah pendiktean) mahasiswa bimbingannya agar menghasilkan sebuah karya yang “berkualitas”. Karenanya, tak heran jika rekan-rekan saya yang jadi mahasiswa bimbingannya seringnya harus merevisi skripsinya hingga berkali-kali (menurut pengalaman yang sudah-sudah, minimal 4 atau 5 kali lah). That’s why, saya hampir bisa masuk ke dalam Guinness Book of Record dengan kelangkaan ini. Haha…. (agak sedikit lebay sih J)

Dan, segera setelah acc saya dapatkan, jadwal ujian pun keluar. Hari Rabu: yang seharusnya adalah hari ini. Namun, hidup ternyata memang gak semudah yang saya bayangkan. Selasa ketika saya mengurus undangan dan hendak mengantar ke rumah penguji satu persatu, kemudian ada sms masuk di ponsel saya. Dari pembimbing satu saya who ex-officio ketua penguji, bunyinya:
Kalau hari Rabu saya tidak bisa.

Rasanya kaki saya lemas saat itu. Undangan sudah dicetak, sudah juga konfirmasi kesemua penguji yang lain tentang jadwal ujian, dan saya harus menghadapi sms dengan bunyi seperti itu?
Shock
Hock
Ock
Ck
(**(#&$%&@)*_@(#&*#^&@!@#@Q$^@%)@&%$!)!*@

Beruntung saat itu saya tidak sendirian. Saya sedang berada di ruang jurusan. Sehingga bunda, pegawai di jurusan yang tahu keadaan itu segera mengambil alih keadaan, lalu dengan teknik negosiasi pada pembimbing 1 saya by phone, disepakati jadwal ujian diundur satu hari. Dan yeah, kamis (besok!) saya akan betul-betul ujian meja.

Alhamdulillah….

Hanya itu yang bisa terucap dari mulut saya. Kemudian otak saya berpacu, mungkin memang itu jalan terbaik. Agar saya semakin prepare dengan materi skripsi saya. Lha, manusia kan emang baru bisa ngambil hikmah kalau sudah capek dengan semua pikiran negatifnya. huehhuehueheueheeueh 


Curhat(dot)com Part 2


Saya agak sedih juga. Seantero dunia menyambut datangnya ramadhan. Sementara saya, harus menekur, senyum pahit karena “tamu bulanan”. Gimana enggak, tarawih pertama di ramadhan tahun ini gak bisa saya ikuti. Meringis.. melihat anak tetangga rapi dengan mukena putih barunya. Saya berasa kepingin juga. Tapi, yah.. mau bagaimana lagi, memungut bahasa K’Farah yang biasa ia lontarkan pada saya: Qadarullah…

Rasanya ada yang kurang, ketika teman-teman satu kos bangun dini hari untuk sahur −meski saya ikutan juga, kemudian berpuasa di siang harinya. Sementara saya, masih sibuk bawa bekal minum ke kampus! Waktu di kampus lihat tukang fotokopian menyempatkan diri baca Qur’an (tadarus-an), hati berasa nyelekit banget. Lebih-lebih waktu balik ke kamar kosan, nemu room-mate saya lagi asyik tadarus-an. Hati serasa di peres kayaknya…

Jadinya, saya malah berazam, kalau si “tamu” udah pergi, saya harus mengejar ketertinggalan saya. InsyaAllah, Aamiin…  

Hampir Akhir

A-K-U  B-A-H-A-G-I-A

Rasanya dua kata itu yang saat ini paling ingin kudendangkan.. untuk mengabarkan pada dunia bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Ya, saya bahagia kawan.. benar-benar bahagia. Bagaimana tidak, saya benar-benar sulit percaya kalau pada akhirnya saya akan melewatinya juga. Masa-masa sulit itu, untuk membuktikan pada orang tua, bahwa saya bisa memenuhi janjiku. Dan, lusa saya akan ujian meja…. Inilah hasilnya.
Memang sih, kalau dipikir-pikir, orang yang baru ujian meja ibaratnya masih lampu kuning. Belum lampu hijau. Tapi paling tidak, saya sudah melewati masa berhenti sejenak (kalau 1 tahun dianggap sejenak, boleh-lah…) untuk mendapati saya berada pada lampu merah. Dan, tetap, menunggu adalah aktivitas paling membosankan dalam hidup seluruh manusia…


Saya memang tidak bisa menjamin bahwa saya akan mampu melewati ujian meja semulus kendaraan yang meluncur di jalan tol. Tapi, saya percaya, bahwa Allah Maha Menetapkan segalanya. Jadi, saya akan pasrah saja. Dengan slogan saya: usaha saja dulu! Dengan tetap berharap bahwa pertolongan Allah akan turun pada saya di hari ketika saya harus berdiri memberi pemaparan pada sidang kelak. Harapan kuat, bisa mendapat “A” untuk nilai skripsi saya. Hahaha, #ngarep


Tak ada persiapan khusus sebenarnya. Jelas, penguasaan materi skripsi itu yang utama yang mesti dipersiapkan. Tapi, yang paling penting bagi saya adalah do’a. Karena saya tipe orang yang sangat percaya dengan kekuatan do’a. Do’a adalah kekuatan bagi kaum muslim. Saya sangat percaya itu.


Beberapa bulan lalu, saya terus mengoceh bahwa saya addicted pada salah seorang teman saya bernama Rina (siapa Rina, baca tulisan saya sebelumnya disini). Sehingga, di kepala saya terformat bahwa saya hanya akan mampu maju seminar proposal lalu kerja skripsi saya dengan bantuan dia. Disinilah letak kesalahan saya. Saya menyandarkan harapan saya pada makhluk… dan, saya khilaf…
 
Ketika Rina tak kunjung memberi bantuannya (karena pada saat yang sama dia juga tengah sibuk dengan revisi skripsinya).. saya sibuk dengan main-main saya. Selengekan, cengengesan, berkelit dan silat lidah, Cuma hal itu yang saya bisa lakukan ketika mampir pertanyaan, “kapan wisuda?”, “gimana progress skripsinya?”, “udah sampai BAB berapa?”. Masih aja bebal dan gak mau sadar…


Sampai hari dimana Rina diwisuda. Pikiran awal yang bilang, baguslah, dengan Rina diwisuda, dia akan bisa bantu saya… menguap dan lenyap. Saya lupa kalau Rina juga punya kehidupan-nya dan saya mungkin memang teman baiknya, tapi dia tidak punya kewajiban atas diri saya… disitulah, saya merasa ditinggalkan… saya kehilangan arah…


Namun, akhirnya saya sadar (though it’s too late) kalau ada satu yang tak akan meninggalkan saya. Allah..

Sebulan saya berdo’a… dalam setiap sujud saya. Menyadari ke-khilafan saya dan merasa bahwa saya bukan apa-apa di hadapan-Nya. La haula wala quwwata illa billah… dan saya bermunajat pada-Nya, memohon kekuatan dari-Nya untuk berdiri di kaki sendiri. Dan, disinilah saya sekarang. Hampir jadi sarjana, dengan skripsi murni hasil karya saya. Dengan bantuan Allah tentunya. :)


CURHAT( DOT) COM


Terkadang, gw bisa jadi orang yang bisa dengan semua keadaan. Kalo pas gw lagi ada maunya. Maksud gw gini.. gw bisa dengan keadaan berisik, sunyi, rame, sepi, atau apapun keadaannya kalo pas gw bener-bener ngantuk dan mau tidur.  Trus lagi, gw bisa dengan keadaan dingin, panas, empuk, atau keras, sambil terlentang, tengkurap, bersandar, atau bagaimanapun keadaannya kalo pas itu, gw bener-bener ngantuk dan mau banget tidur.


Hal lainnya, gw bisa dengan keadaan pake sendok garpu, pake tangan, pake yang berkuah atau gak, mau di tenda pinggir jalan ampe restoran hotel berbintang kalo pas gw laper dan mau makan.  Dan lagi, gw bisa dengan keadaan serba manis atau tawar, yang dingin atau yang biasa, atau dengan warana apapun kalo gw kehausan banget dan mau minum.


Intinya, ada kalanya lah, gw bisa nerima semua keadaan. Pasti orang-orang juga gitu. Case-nya sama apa enggak, pastinya orang lain juga punya chance dimana ada kalanya dia bisa dengan semua keadaan. Macem, ada aja orang yang berhasil nyontek dengan keadaan apapun. Duduk di belakang, paling pojok, atau depan guru sekalipun, kalo emang dia bener-bener niatan banget mau nyontek, dia pasti bisa dengan semua keadaan tadi.  


Ada juga orang yang bisa aja gitu dengan yang cakep, setengah cakep, biasa-biasa aja, sedang-sedanglah, ataupun yang jel #eh kurang cakep, yang miskin atau sedrhana, atau kaya raya atau dengan bagaimanapun kondisi pasangannya kalo emang dia udah cinta berat dan kebelet mau nikah…


Emang sih, ada aja sisi hati gw yang ketika dalam keadaan-keadaan tertentu juga punya preferensi. Gw prefer dengan keadaan gini kalo gw mau gini. Atau gak, gw prefer dengen keadaan gini daripada keadaan gini. Menurut gw masih wajar lah. Tapi ya itu tadi, pasti ada aja moment, yang mau gak mau, pada akhirnya semua preferensi jadi gak lebih berarti dibanding memenuhi ke”mau”an yang harus kita penuhi saat itu.


Itu artinya, kehidupan mengajarkan kita (terutama gw nih) untuh lebih qana’ah (menerima). Qana’ah bukan berarti pasrah tanpa gak ada usaha (itu mah namanya idiot,). Tapi, menyerahkan semua urusan (hasil) pada Allah setelah kita berusaha semaksimal mungkin.  Dengan begitu, dijamin deh angka bunuh diri di dunia ini karena frustrate bakalan berkurang bahkan gak ada lagi klo itu yang semua manusia di bumi ini lakukan.

SNMPTN (or whatsoever the name...)


Semalam pengumuman SNMPTN (or whatsoever the name…)secara online. Sebenarnya saya tidak terlalu antusias dengan itu. Secara, saya bukan salah satu peserta, dan saya juga kebetulan tak punya keluarga yang jadi peserta SNMPTN (or whatsoever the name…). Hanya saja, semalam banyak banget ulasan tentang SNMPTN (or whatsoever the name…) di Time Line waktu saya asyik main Twitter. Makanya, saya jadi tahu-tahu dikit lah. Tapi tetep aja saya nggak buka situs tentang SNMPTN (or whatsoever the name…):D

Lagi asyik-asyik main Twitter dan googling trus buka beberapa situs (berbarengan!) eh, network-nya bermasalah gitu. Sempet emosi dikit, eh cek percek pulsanya habis…. Huft… jadinya, saya memutuskan untuk tidur cepat. Saya tengok jam dimeja, waktu menunjukkan pukul setengah sebelas. Saya sudah siap dengan ritual sebelum tidur, tapi ternyata setengah jam berbaring saya masih belum bisa tidur juga. Untuk orang yang sering tidur jam 3 seperti saya, setengah sebelas masih terlalu cepat!
Masih sementara dalam usaha untuk menghilangkan kesadaran, sayup-sayup saya dengar suara perempuan menangis! Saya pasang telinga  baik-baik untuk menghilangkan pikiran jelek. Ternyata suara tangis itu muncul dari kamar kosan tepat dibawah kamar saya. Ada juga suara seseorang yang lain yang mencoba menenangkannya. (huff, saya kira ada kejadian mistik2 gitu…)

Otak saya langsung beraksi. Saya baru ingat kalau ada anak perempuan yang tinggal di bawah kamar saya (keponakannya penghuni kamar tersebut) yang yang kemarin ikut SNMPTN (or whatsoever the name…). Jadi, saya langsung mengambil kesimpulan dari suara tangisannya yang begitu pilu dan menyayat hati (ah, lebay..) kalau mungkin saja anak perempuan dibawah tidak lulus masuk perguruan tinggi idaman. What a pity :(

Waktu pagi ini, di dapur saya bercerita dengan kakak senior yang kamarnya pas disebelah saya tentang suara tangisan tersebut. Dan, yang mengejutkan, dia memberitahu saya kalau semalam dia juga menangis jam 1 dini hari. Karena adiknya tidak lulus SNMPTN (or whatsoever the name…). Jelas saja saya jadi tidak enak hati. 

Lantas, saya jadi berpikir, berapa banyak lagi ya orang-orang yang menangis semalam karena tidak lulus SNMPTN (or whatsoever the name…)??? Kemudian, saya teringat TL-nya teman saya wana yang bilang begini: 
"tidak lulus negeri, masih ada kampus swasta berkualitas. . :)"

Yah…. Buat semua yang tidak lulus SNMPTN (or whatsoever the name…), jangan terlalu bersedih lah. Percaya deh, ini bukan akhir dari segalanya. Bisa jadi, yang kalian anggap pilihan terbaik itu bukan sesuatu yang baik untuk kalian. InsyaAllah aka nada jalan lain….

Oke, tetap semangat ya… cheers…

Suddenly Appeared

Diam-diam dia mengusikku. Entah, sejak kapan semua ini di mulai. Dia begitu menggangu. Tak tahu, bagian apa yang terasa lugu. Tapi, aku merasa semua ini lucu. Ketika perasaan nyaman itu tiba-tiba menyeruak masuk. Merapat pada dinding kecil dalam relung jiwa. Semua terasa sungguh tiba-tiba. Perasaan nyaman itu. Senyum mengembang yang membayang, kulit pucat yang menggurat, bibir yang mengerucut, memagut, sebuah momen yang sebentar lagi akan dirindukan.

Setapak

Setapak. Kaki ini melangkah menjelajahi setiap inci dari tanah sempit yang bahkan tak layak huni. Mengais-ngais kehidupan yang tak mampu dimiliki. Menikmati terik yang menggarang tanpa atap. Meloncat dan menukik. Maju lalu mundur. Lantas berkeliling tanpa derajat dan arah. Letih, tak pada tempatnya. Serakah. Tak pantas. Tak boleh. Terlarang. Terbuang. Terkekang. Aku diam…

lagi kegandrungan nggambar lagi

spesialisasi kaki
ni gambar spesialisasi kaki. gak tau lh, seminggu yang lalu iseng2 ngegambar. lagi pengen aja.Meski gak sebagus para pelukis pro. maklum lah saya emang gak bakat menggambar. tapi, lucu juga menurutku....















kalo yang ini saya penasaran gimana jadinya gambar orang dari belakang kepalany. tapi, ternyata banyk juga temen2kuw yang salah kira ini gambar apa. parah....

spesialisasi kepala

spesialisasi tangan
kalau yang ini lain lagi. yang paling susah nih proses ngegambarnya. berkali2 hapus dan ganti. Awalnya mikirnya gini: ah udah ada kaki sama kepala, lucu juga kali ya kalo ad tangan. Tapi beneran deh, ini yang paling tersulit. Bahkan ada temenku yng berkomentar, "kok kayak tangan alien ya?!" hm.. :(









But, biarin aja deh. Gak terlalu peduli juga bagus atau jeleknya. yang penting karya sendiri. Iyey.....

It's Juni

Alhamdulillah. Juni masih bisa menyapa. Dan saya masih terjaga menyambut datangnya hari baru. Setiap orang di rumah ini telah terlelap. Tapi saya sepertinya tetap asyik menatap layar dengan sejuta asa yang membayang...

Semoga, Juni ini bisa lebih bermakna. Untuk saya, orang tua saya, agama saya, negara saya, teman-teman saya, tetangga saya, dan semua manusia baik-baik di dunia saya.

Semoga, Juni ini adalah waktu dimana saya mampu menyelesaikan tugas akhir di universitas saya.

Semoga, Juni ini saya bisa menjadi lebih baik lagi.

Semoga, Juni ini berberkah.....

Aamiin Ya Rabb.

My Phobia?

Phobia.
Only a few people in the world, my closest confidants, know this fact I am about to publicly declare. It is not something I am proud of and it is a downfall I must work on daily. I can handle a lot of gross things, disgusting bathrooms, cleaning out the cat box, hearing from my mother about how I was conceived.  But there is one thing I just can't deal with.


Socks. Yup, those nasty things on your feet.
by:  Elizabeth (aka Ellie Teacha!)

Habis baca tulisan di blog One day I'll fly away, saya trus mengingat-ingat, begitu banyak phobia saya. Tidak seperti penulis blog tersebut yang punya phobi sama kaos kaki. Phobia saya lebih kepada hal-hal "wajar". Saya phobia pada malam. Rasanya saya merasa takut, tidak aman, jantung deg-degan, kepala dipenuhi dengan paranoid. Sehingga, saya lebih memilih untuk tidak berada di luar ketika malam datang. Phobia yang lain, saya Phobia dengan kamar mandi yang tidak berlampu; Lift; jalan di sekitar semak belukar; jembatan layang; angsa; dan beberapa hal memalukan lainnya.

Entahlah, kalau dipikir-pikir, kenapa harus phobia coba. Tapi, kalau sudah sampai pada masanya, saya seperti kehilangan keseimbangan dan terjatuh pada phobia yang saya tidak bisa lawan.  

Hanya Sebuah Kritikan

Membaca sebuah tulisan dalam newsletter edisi May 2011 yang diterbitkan oleh Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Unhas (UKPM-UH) membuat saya mengerutkan kening. Entah karena kehabisan bahan berita yang in untuk disuguhkan kepada pembaca atau sekedar mencari sensasi agar tulisan “laku”, redaksi Catatan Kaki malah menampilkan bahasan yang kurang imbang dengan kemampuan menulis mereka. Hasilnya, tulisan mereka malah memperlihatkan ketidakprofesionalan mereka sebagai “calon” jurnalis masa depan.

Pada newsletter tersebut, redaksi Catatan Kaki mengambil bahasan tentang Front Pembela Islam (FPI). Tulisan sebanyak empat halaman penuh ditambah dua halaman pengantar redaksi dan satu halaman terakhir berisi testimoni tentang FPI. Entah sengaja atau tidak, redaksi Catatan Kaki mengambil tema agama yang sebagaimana diketahui, bagi sebagian orang merupakan hal yang sensitif untuk diperbincangkan.

Tak ada yang salah sebenarnya ketika sebuah media menampilkan berita yang menyangkut sebuah agama. Keterbukaan rezim sejak reformasi bergulir memberikan ruang kebebasan yang sebesar-besarnya bagi pers dalam mengemukakan berita. Pun ketika itu menyangkut tentang agama. Permasalahan yang terjadi adalah, ketika bahasan yang bagus tidak diimbangi dengan kemampuan mengolah berita dengan baik. Sehingga tulisan menjadi kurang bermutu.

Mengutip tulisan dari Luwi Ishwara, wartawan senior Kompas dalam bukunya Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar:
“Pers memainkan berbagai peranan dalam masyarakat. Bernard C. Cohen dalam Advanced Newsgathering karangan Bryce T. McIntyre menyebutkan bahwa beberapa peran yang umum dijalankan pers diantaranya sebagai pelapor (informer). Di sini pers bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka.”

Redaksi Catatan Kaki telah mengerti bahwa tugas mereka adalah melaporkan peristiwa kepada masyarakat. Karenanya, mereka berani untuk membuat sebuah tulisan yang akan dibaca oleh orang banyak. Mereka juga tahu betul bahwa mereka memiliki peran lain sebagai interpreter yang memberikan penafsiran atau arti pada suatu peristiwa, sehingga selain melaporkan mereka juga menambahkan bahan dalam menjelaskan arti berupa analisis berita. Namun, nampaknya mereka lupa bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menjaga netralitas dalam mengusung kebenaran. Hasilnya, tulisan mereka dengan nyata memiliki keberpihakan pada satu sudut pandang.

Tak dapat dinafikan jika dogma jurnalistik mengatakan bahwa objektifitas adalah jalan satu-satunya menuju kebenaran dan realitas. Objektifitas adalah melihat dunia seperti apa adanya, bukan bagaimana yang anda harapkan semestinya (objectivity is seeing the world as it is, not how you wish it were). Sudah semestinya bahwa wartawan dalam pekerjaannya kemudian melihat unsure adil (fairness) sebagai prinsip yang penting.  

Sungguh disayangkan, jika “tunas” yang tumbuh dari pekarangan UKPM-UH memiliki cara berfikir yang sempit. Padahal, “tunas-tunas” inilah yang kemudian diharapkan mampu untuk mengusung kebenaran melalui dunia jurnalisme yang akan terjun pada ranah yang lebih luas dari sekedar kampus.     

My Reading

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah buku. Saya lupa apa judul pastinya. Karena saya juga tak terlalu memperhatikannya. Kalau saya tidak salah ingat ada unsur “empire” pada judul tersebut. Isinya tentang sejarah pemerintahan Cina. Pengambarannya cukup menarik. Terbukti saya betah membaca buku setebal 680-an halaman dalam satu kali duduk. Padahal, saya bukan orang yang akan dengan rela menghabiskan buku setebal itu jika tidak benar-benar mampu menyihir saya.

Saya memang sedikit tergila-gila dengan sejarah. Khususnya jika bercerita tentang sebuah konflik yang dipenuhi dengan intrik. Saya seakan berada dalam kejadian tersebut. Buku tersebut menceritakan sejarah Cina pada sebuah masa yang uniknya dipandang dari sudut pandang seorang wanita yang menjadi salah satu tokoh dalam buku tersebut.

Perjuangan, intrik, strategi, cara-cara licik, kejam, serta pengorbanan. Ada saja harga yang harus kita bayar demi mendapatkan keinginan kita. Itu satu pelajaran yang bisa saya ambil setelah membaca buku tersebut. Pelajaran lain, bagaimana peranan perempuan mampu untuk menopang bahkan sebuah pemerintahan (baca: Negara) yang hampir runtuh. Bukan dengan perempuan tersebut tampil sebagai pemimpin atau presiden yang memimpin, namun bagaimana ia mampu menjadi seorang penasehat yang baik untuk sang “pemimpin” (baca : suaminya) yang notabene adalah seorang pemimpin Negara.

Saya teringat sebuah pernyataan yang mengatakan, dari tangan perempuanlah lahir para laki-laki yang tangguh. Seorang laki-laki yang hebat pasti karena didukung oleh perempuan yang hebat. Entah itu ibu atau istrinya.

Saya sempet terperangah ketika saya menyadari bahwa saya telah duduk selama enam setengah jam asyik membaca buku tersebut. Bahkan, rasa kantuk yang harusnya menyerang saya seakan terlupakan untuk sejenak. Jam 2 dini hari saya masih menyiksa mata saya sendiri.

Pelajaran berikutnya adalah bahwa tak dapat diragukan Cina memang merupakan Negara besar yang memiliki power dan sejarah yang sungguh menarik. Cina adalah sebuah Negara yang kaya dengan sejarah dan kebudayaan. Setelah membca buku tersebut saya bahkan memiliki keinginan untuk bisa berkunjung ke Cina suatu saat nanti. (aamiin…)

Pelajaran lain adalah, politik memang sebuah hal yang sungguh menakutkan. Tak tahu siapa kawan siapa lawan. Kekuasaan memang mampu untuk merubah budak menjadi raja. Begitu juga sebaliknya. Dan harta serta kekayaan menjadi satu hal yang mampu merusak perdamaian.

Unhas by Rara


one day i lost mine

my important book has lost!


gambar tampak depan!

tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku)

Kemarin saya menyempatkan diri untuk makan coto. Sudah lama sekali rasanya saya tidak menyantap makanan kesukaan saya ini. Tapi, kali ini saya tidak sedang ingin membicarakan tentang coto dan bagaimana lezatnya coto. Kemarin, setelah makan coto (seorang diri, hiks) saya menunggu teman saya untuk pick me up. Karena dia memang sudah mengatakan bahwa mungkin saya akan memiliki waku 30 menit untuk menikmati masa menunggu saya, maka saya benar-benar tidak menyia-nyiakan waktu 30 menit untuk menikmatinya. Saya mencoba menikmati waktu jeda tersebut dengan membaca sebuah buku. (tapi saya juga bukan ingin bercerita tentang isi buku tersebut atau perjuangan memperoleh buku tersebut).

Oke, saya hendak bercerita yang sebenarnya. Ketika jam di hape saya memperlihatkan waktu bahwa saya telah menikmati buku tersebut dalam waktu 25 menit, saya terpaksa menarik mata dari buku dan melihat ke arah jalan. Mungkin saja teman saya itu bisa datang lebih cepat lima menit dari yang ia janjikan. Menengok ke kanan, ke kiri, tapi saya belum mendapati sosoknya di atas motor. Dan ketika kepala saya capek dipakai menengok ke kanan dan ke kiri, saya membiarkan kepala saya memandang lurus ke depan. Saat itulah mata saya menangkap sebuah reklame yang isinya sebuah iklan properties. Awalnya nggak tertarik, tapi karena memang saya hobi membaca dan saat itu I’d still have time to waste, iseng-iseng saya baca seluruh tulisan di reklame tersebut.

Biasa saja isinya, sama seperti iklan properties lain yang membanggakan kenyamanan, letak yang strategis, dan harga (cicilan) yang miring. Namun, ada yang menarik perhatian saya kemudian. Yaitu tanda bintang. (kok tanda bintang sih? >0<) Iya, tanda bintang yang diletakkan setelah promosi hebat yang ditawarkan. Sebagai tanda bahwa syarat dan ketentuan berlaku. masih belum ngeh tanda bintang yang mana, yuk ngintip contoh gambar di bawah ini:


Yang saya maksud adalah tanda bintang yang kecil banget setelah angka Rp. 35. Mungkin kebanyakan orang tidak terlalu memperhatikannya, tapi saya tidak. Saya senyum-senyum sendiri di pinggir jalan saat itu (kayak orang gila ++). Saya teringat sebuah tulisan dalam blog yang pernah saya baca. Tentang tanda bintang yang menunjukkan syarat dan ketentuan berlaku. Sebuah blog milik seorang mahasiswa kedokteran (itu info yang saya dapat dari tulisannya) yang mungkin sekarang pemilik blog itu sudah menjadi pak dokter (whatever). Yang jelas, blog yang sudah lama sekali saya baca yang pada akhirnya merubah paradigma saya tentang tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku).

Awalnya, saya benci sekali melihat tanda bintang yang selalu muncul pada setiap promosi yang ditawarkan. “Apaan sih ni, promosi kok pake syarat. Bukan promosi kali. Nggak berani total. Dasar, produsen nggak mau rugi!” tapi, setelah saya membaca tulisan pak dokter pada blog tersebut, pikiran saya sedikit terbuka. Pada akhirnya paradigma saya berubah dalam menilai tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku). Terkadang memang ada hal-hal yang harus menggunakan tanda bintang. Dan pak dokter itu memberikan contoh paling konkret yang bisa bahkan harus menerapkan tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku). Yaitu pada ibadah/amalan seseorang. Dalam hal ibadah, amalan kita akan diterima dengan tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku) : bahwa kita harus IKHLAS, dan MENCONTOHI RASULULLAH. Jadi, tidak begitu saja bisa diterima ibadah/amalan seseorang tanpa mengikuti tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku) tersebut.

Mungkin masih banyak hal yang memerlukan tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku). Jadi, sabarlah dan tidak usah mencemooh dulu ketika melihat itu di selebaran atau pada kehidupan nyata kita. Renungkan saja dulu. Cari hikmahnya.

Dan setelah menunggu selama 30 menit, membaca beberapa lembar buku, mengamati iklan properties, mengingat tulisan pak dokter dan senyum-senyum sendiri di pinggir jalan, akhirnya teman saya datang juga.