보고싶어








 _pada 27 setahun lalu

Jarak kita hanya selaras jejak. Tapi tak saya tak juga kamu bisa saling mendekat. Pagi ini, pilu mendekap. Merenda isak membuat perasaan sesak.

 

_pada 28 setahun lalu

Pada masa mata terpejam lalu membuka, jarak kita kembali merapal dua pulau. Dan lalu saya sadar, ini bukan tentang jarak. Ini tentang ikatan hati, yang hingga hari ini belum terpatri.


_idul adha kemarin

Tapi, keteguhan itu tak pernah betah bersandar padaku. Sesering aku berjanji, sesering itu pula kukhianati. Pada diammu, aku terusik sepi.


  ~merapal dua pulau~


Life Learning




Selama di Lampung ini, saya lebih sering berinteraksi dengan sekumpulan Ibu-Ibu yang usianya sudah 40an keatas bahkan sudah punya cucu. Awalnya, saya kebingungan karena saya merasa style saya anak muda banget, jadi saya sering mati gaya kalau dihadapkan dengan Ibu-Ibu. Tapi, sebulan, dua bulan, dan sekarang hampir setahun saya bermulazamah, akhirnya saya terbiasa juga. Saya berpikir, 'mungkin ini sarana belajar bagi saya yang akan menjalani proses menjadi seperti mereka kelak.' Dan ya, saya jadi lebih santai bercengkrama dgn mereka.

Sepanjang interaksi saya dengan mereka, ada beberapa hal yang saya bisa petik sebagai pelajaran untuk saya pribadi. Betapa semangat mereka untuk menuntut ilmu di usia mereka yang sudah tidak lagi muda menjadi pelajaran berharga. Belum lagi ketika berkaitan dengan dana, mereka semangat banget membagi harta jika itu untuk kepentingan agama. Dan, ada satu hal lagi yang kmrn baru saya dapat.

Kemarin, saya sempat berbincang dengan salah seorang Ibu teman pengajian saya. Saya penasaran, karena ketika saya datang kerumahnya, saya melihat bagaimana keIslaman dirumah beliau terkesan begitu kondusif. Rumahnya terasa sejuk, anak-anaknya (keduanya perempuan) sopan dan kelihatan hanif (semoga besar mereka jadi perempuan-perempuan sholihah), dan saya ingat si Ibu itu punya pengetahuan yang banyak terkait hadits-hadits Rasulullah. Jadi, saya keluarkan pertanyaan yang sempat saya simpan, 'Kalau boleh tau Bu, suami Ibu ikut ta'lim (pengajian) gitu nggak?'
Si Ibu menjawab, 'Semenjak rumah saya di renovasi mbak, nggak ta'lim lagi krna nggak ada tempat buat ta'lim. Tapi suami saya emang udah kenal sama ustadz F.'

Saya bingung, apa hubungannya renovasi rumah sama ta'lim. Nggak mungkin suaminya yg turun tangan untuk merenovasi sendiri kan? Haha. Jadi saya bertanya, 'Maksudnya Bu?'

'Sebelum di renovasi kan ta'limnya di rumah saya mbak. Yang isi materi, ustadz F, pesertanya bapak-bapak kompleks sini. Soalnya di masjid depan kompleks ustadznya masih pake yasinan, maulidan, dsb. Tapi karena rumah saya direnovasi, jadi sementara libur dulu karena nggak ada tempat, sampai renovasinya selesai.'

Saya paham, 'Oo, iya Bu. Maksud saya, berarti suami Ibu udah nggak asing sama ta'lim ya. Artinya Ibu dan suami sejalan terkait keIslaman ya.'

Dia menjawab, 'Ah, iya mbak. Justru suami saya duluan yang kenal ta'lim dibanding saya. Karena suami saya kenal dengan ustadz F, trus ikut ta'lim dan ngajak saya, makanya saya jadi kenal ta'lim, mbak.'

Saya senyum.

Saya kebayang, betapa timpangnya kehidupan rumah tangga yang Ibu-Ibunya udah kenal ta’lim, menginginkan anak-anaknya dididik dengan baik dan benar, tapi justru terhambat karena suami ternyata nggak sejalan. Suaminya belum kenal dengan ta’lim ternyata. Dan betapa nyamannya diperhatikan, jika seorang suami memang sudah mengerti tentang bagaimana Islam yang sebenarnya, untuk mendidik anak-anak agar bisa berIslam dengan benar, jadi lebih mudah.

Sepulang dari rumah Ibu tersebut, saya jadi berazzam dan bermunajat pada Allah. Agar jika saya menikah, saya ingin agar calon suami saya orang yang paham tentang Islam yang benar.

I'm Not Money Chaser


Dalam hati kecil saya, ada yang berontak. Saya benci orang-orang kaya itu. Setidaknya, saya benci orang-orang yang merasa mereka bisa melakukan segalanya karena mereka merasa memiliki uang. Saya ingin mengatakan kepada mereka bahwa mereka salah kalau berpikir bisa membeli saya dengan uang mereka. Sayangnya, saya bukan orang yang segitu gilanya dengan uang. Meski saya butuh uang, tapi saya nggak begitu gila dengan uang.

Tapi, kenapa tadi lidah saya nggak mengatakaan apa-apa saat mereka mulai banyak permintaan atas diri saya? Kenapa? Apa saya sudah mulai tunduk pada uang mereka?

Dengan lemah saya berkata TIDAK. Saya masih yakin bahwa saya melakukan semua ini bukan demi uang. Saya memang butuh uang, tapi sejak awal saya mengenal mereka, sasaran saya bukan uang mereka. Saya benar-benar ingin kebaikan ada pada diri mereka. Itu saja. Benar-benar itu saja. Tapi, tentang pembicaraan tadi, apa masih tentang menginginkan kebaikan ada pada diri mereka?

Apa semua tindakan mereka harus saya pahami sebagai sebuah proses? Haps, dimana kamu letakkan prinsip yang kau junjung jauh di atas kepalamu? Hanya karena mereka bermobil dan kamu selalu jalan kaki, apa kamu harus sebegituya merendahkan dirimu?

Sebuah pemahaman atas 'ketidaktahuan' mereka dengan sikap mereka yang meremehkan itu, tapi, bagaimanapun saya tak bisa selamanya memaklumkan itu, bukan?

Sungguh, saya ingin membuktikan bahwa saya melakukan semua itu bukan demi uang. Bukan.

Sekali ini, saya akan maklumi. Jika sikap mereka masih tak berubah setelah beberapa pehamaman yang akan saya berikan, saya memilih untuk tak berurusan dengan mereka yang bermobil itu.

Saya, bukan orang yang takut jika mereka lari. Karena, sekali lagi, saya tak sedang mencari uang. Saya sedang mencari pahala. Dan, pahala itu bukan datang dari diri mereka.