Tampilkan postingan dengan label low and weak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label low and weak. Tampilkan semua postingan

My Life (I'm Thirty Something)

 

Udah lama banget aku nggak nulis. Kenapa? Karena mungkin aku ngerasa udah sedikit bisa merasa bahagia. Sehingga aku nggak perlu menulis sebagai salah satu jalan untuk menghibur dan menyemangati diri. Dan menurutku itu hal yang baik sih. Makanya aku santai aja. Toh, aku nggak mengharap apa-apa dengan menulis blog ini kecuali menjaga agar diri ini tetap waras.

Dan hari ini aku berfikir untuk menulis lagi. Karena ada satu hal yang menjadi ganjalan dan aku nggak ingin hal ini malah menjadi penyakit yang mengganggu kebahagiaan hatiku. Toh, siapa sih yang baca blog ini? Kecuali mereka yang tersesat dan nggak sengaja terdampar menemukan tulisan yang aku yakin ini bukanlah hal yang menarik. 

Sekali lagi, aku menulis hanya untuk menenangkan hatiku. Ya, sebegitu self-sentris-nya aku. But why not? Aku hanya mencoba untuk menyayangi dan melindungi diriku sendiri. Haha 

Di usiaku yang hampir 33th, aku nggak banyak lagi mengalami kontemplasi2 yang berarti. Life dilemma atau krisis dalam hidup udah aku lewati sebelum menginjak usia 30. Alhamdulillah aku mampu berdamai dengan diri sendiri, dengan orang tua, dengan keadaan yang menjadi takdirku. Dan itu membahagiakan menurutku. Membuat hidupku jauh lebih mudah. Dan aku banyak2 bersyukur dengan hal tersebut.

Aku yang masih menyandang status bersendirian juga nggak merasa terlalu terbebani. Satu hal yang aku juga syukuri, aku nggak diuji Allah dengan fitnah lawan jenis. Maksudku, aku bukan tipe cewek yang haus akan perhatian dan kasih sayang dari lawan jenis. Aku punya temen2 yang peduli, kasih sayang yang cukup dari keluarga, dan komunitas yang baik untuk bisa menjalani hidup dengan nyaman. Jadi, aku nggak begitu merasa kesepian dengan statusku yang sekarang.

Apa aku nggak tertarik dengan lawan jenis? Haha. Alhamdulillah aku merasa masih normal. Aku suka dengan cowok ganteng. Aku pernah merasa tertarik dengan senior, atau teman saat bersekolah. Tapi, aku memilih untuk menjadi diriku yang bebas dengan tidak mengikatkan diri pada sebuah hubungan bernama pacaran. Aku nggak suka terikat atau mengikat. Aku nggak suka diatur dan nggak mau juga terlalu banyak mengatur. Aku, lebih suka bertanggung jawab terhadap diriku. Aku nggak suka terbebani dengan orang lain. Karena aku sendiri merasa diriku sudah cukup menyita waktu dan pikiranku. Ya, aku se-self-sentris itu.

Tapi sekali lagi, so what? Toh, aku nggak menyakiti siapapun. Aku berusaha untuk menjaga diriku agar nggak tersakiti. Dan aku merasa tidak menyakiti siapapun. Saat SMP, ada teman yang mengaku naksir aku. Tapi nggak aku tanggepin karena dia nggak bicara langsung padaku. Dia justru mengakui itu di hadapan teman-temanku yang lain yang kebetulan saat itu aku juga berada di ruang yang sama. Tapi, apa yang bisa aku lakukan selain pura2 nggak mendengarnya? Toh, dia nggak bicara langsung padaku 

Saat lulus SMA, seorang teman mengungkapkan perasaannya padaku. Sekedar mengungkapkan perasaannya. Karena dia tau aku akan pergi jauh. Melanjutkan kuliah ke kota lain. Dia pun sudah merencanakan untuk bekerja di kota yang jauh berbeda dengan kota tujuanku. Lalu, aku harus membalas apa? Akay hanya jujur tentang perasaanku saat itu. Bahwa aku nggak melihat dia lebih dari sekedar teman. Dan aku juga nggak menutup jalan untuk dia. Kalo dia mau berjuang, aku persilakan. Tapi, aku nggak bisa menjanjikan apapun. Karena aku memang se-gamang itu saat itu.

Saat kuliah, aku nggak lagi melihat perasaan tertarik pada lawan jenis sebagai sebuah prioritas. Ada hal yang lebih urgen yang menjadi fokus perhatianku saat itu. Perbaikan diri. Rehab jiwa. Iya, sudah sejak lama aku merasa "there's something wrong with me". Dan Alhamdulillah saat aku kuliah Allah memberi jalan untuk aku menganalisa, memperbaiki, dan mulai membenahi hal-hal yang menyangkut diriku. Fokus pada diriku sendiri. Karena aku pikir, nggak mungkin aku membangun sebuah hubungan jika aku nggak menyembuhkan diriku saat itu. 

Lulus kuliah, aku kembali ke keluargaku. Salah satu faktor terbesar adanya "something wrong" pada diriku. Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa berdamai dan rekonsiliasi. Tapi, Alhamdulillah. Sampai aku tiba di titik hari ini. Meski kata orang usia thirty something adalah usia rawan, harusnya sudah menikah dan punya anak, but once again, so what? Hidupku, aku yang menjalaninya. Dan aku sudah berusaha menyelaraskan dengan orang2 yang relate dengan kehidupanku. Dan aku Alhamdulillah tipe orang yang nggak terlalu terpengaruh dengan apa yang berada di luar duniaku.

Well, tulisan ini mungkin cuma sebagai pengingat dan penguat aku dalam menjalani usiaku saat ini. Age is just a number. Menikah cuma satu dari sekian stase dalam hidup. Ada yang memilikinya, ada juga yang enggak. Dan itu pun hanya perkara di dunia. Sementara di akhirat nanti (kalo Allah takdirin masuk syurga), setiap orang akan bersama dengan pasangannya masing2. Itu janji Allah. 

So, haps... Cheer up lah. Hidup kamu toh nggak menyedihkan amat. Your heart's more at ease, now right? Ada saat sedih atau terluka adalah hal yang biasa dalam hidup. Tapi kamu toh sekarang sudah tahu bagaimana rasanya bahagia itu. Jadi berbahagialah, haps! Kamu berhak kok mendapatkannya. 






I Refuse



Saya menolak untuk kembali pada rasa sakit yang sama. Alangkah bodohnya saya, kalau berkali-kali saya mendapati hal itu, dan saya masih saja terluka. Saya menolak rasa sakit itu. Kalau memang saya nggak bisa membuat diri saya menghindar dari perlakuan itu, maka saya akan buat diri saya kebal dengan perlakuan yang mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan kali saya dapatkan. Saya menolak untuk terluka. Bodohnya saya kalau saya masih saja menangisi hal yang sama. Sungguh bodoh. Saya nggak akan menangis lagi. I'm not in my teens anymore. So now I confident to say that I refuse to fall into your way on hurting me. You say it's your way to show your love? Bodohnya saya kalau masih saja tertipu dengan "tradisi" yang aneh itu.

Mungkin saya masih saja nggak punya kemampuan untuk keluar dari tradisi yang salah ini. Tapi, saya tahu dan yakin bahwa saya akan memutus tradisi ini. I refuse to become the one you create me to be. Saya nggak mau lagi-lagi terluka dengan hal yang sama. Sudah habis airmata saya untuk menangisi hal yang begitu-begitu saja. Saya  bertekad untuk bahagia. Maka, saya hanya menyiapkan senyum dan tawa. Saya sudah tak butuh air mata apalagi luka.

Saya sudah hampir 30, bodohnya saya kalau masih saja menangis seperti balita.

Saya kuat seperti beruang, tauk. Dan saya telah memilih menjalani hidup dengan bahagia. B-A-H-A-G-I-A. Kamu dengar itu??? Maka saya nggak akan mau terluka dengan sikapmu itu.
Sudah cukup. Lukai saja orang lain. Tapi, kamu nggak akan bisa lagi melukai saya. Karena saya menolak untuk (kembali) terluka.


***

Inget Haps, kamu pernah ngomong apa ke dirimu sendiri di lantai dua tepat di depan kelasmu? "You're a great girl. Cewek hebat nggak akan menangisi hal bodoh kayak gini. Dan kamu cewek hebat kan, haps?" Dan setelah itu kamu berjanji pada dirimu untuk nggak menangisi hal yang sepele. Kamu menyimpan air matamu dan menjadikan dirimu kuat.

Haps, kamu yang sekarang kalah dengan kamu yang masih pakai seragam sekolah????????



Sentimentil


Sore ini saya sedikit sentimen. Saat pulang, entah karena saya capek, atau memang karena cuaca begitu panas, saya merasa begitu peluh. Angkot yang saya tumpangi panasnya minta ampun. Penuh sesak. Ditambah lagi ban kiri belakang mobil kempes. Mobil berhenti dulu untuk isi angin. Betapa kayak di'oven' kondisi dalam angkot tadi. Karena suasana yang penuh, saya agak sedikit kepayahan. Gamis saya panjang dan lebar. Saya bawa tas sekaligus tentengan (saya beli roti tawar untuk bekal keponakan saya di salah satu toko roti). Dan angkot benar-benar dalam kondisi penuh sesak. Saya udah khawatir banget-banget. Saya berdo'a terus-terusan agar ada penumpang yang turun sebelum saya. Jadi saya nggak "rempong-rempong amat" saat turun. Ternyata, Allah nggak kabulkan doa saya. Sayalah penumpang yang pertama turun.

Saya biasanya nggak memilih melalui jalan yang dalam (ditempat saya dikenal dengan sebutan "bambu"). Saya biasanya memilih berjalan kaki melalui jalan besar (disebut "perintis"). Tapi karena pertimbangan "rempong" tadi, saya nggak mau menyusahkan banyak orang sehingga memilih berhenti di "bambu" (berhenti di perintis agak menyulitkan orang lain karena kondisinya adalah tempat memutar kendaraan dari arah berlawanan). Akhirnya saya berjalan kaki melalui jalan dalam.

Nggak berapa lama saya jalan, saya bertemu dengan Yudi. Seorang yang maaf, agak berbeda dari orang pada umumnya. Dia memiliki keterbelakangan mental. Sulit berbicara, saraf pada mulutnya agak bermasalah, dan kakinya pun agak kecil dan bengkok. Sebagaimana yang diajarkan ibu saya, kalau bertemu dengan Yudi saya selalu merogoh uang yang bisa saya temukan untuk diberikan padanya. Uniknya, Yudi ini sangat suka jalan-jalan. Ia akan terus berjalan dan kemudian pulang. Ia bukan peminta-minta. Keluarganya pun nggak tergolong miskin meski bukan pula orang kaya.

Begitu melihat Yudi, saya langsung merogoh uang yang ada ditas saya. Dan saya cuma menemukan Rp 2000,- karena saya nggak sempat buka-buka dompet saya. Ketika Yudi berlalu, sebelum berbelok saya memperhatikan Yudi dari belakang. Dan lalu saya menyesal. Kenapa cuma Rp 2000,- yang saya keluarkan? kenapa bukan Rp 5.000,-? Padahal di dompet saya ada uang Rp 10.000,- bahkan Rp 50.000,- pun ada?!! Lalu saya menyesal. Saya menyesal. Saya berdiri agak lama memperhatikan punggung Yudi yang semakin menjauh. Jalannya sudah agak kesulitan karena kondisi kakinya yang kecil dan bengkok. Tangan kirinya pun tak seperti tangan kannya yang normal. Tapi, saat saya beri uang tadi, saya lihat wajahnya yang bahagia. Dengan ketidaknormalannya, Yudi pun bisa merasa bahagia.

Ketika saya meneruskan langkah untuk pulang, tiba-tiba mata saya terasa panas. Sebelum jatuh, saya menghapus airmata cepat-cepat. Saya nggak ingin ada adegan drama, dimana orang-orang yang saya lewati bertanya kenapa saya menangis. Tapi, air mata saya tampaknya cukup banyak volumenya. Karena ia masih tak mau berhenti meski sudah sekitar 25-an langkah saya lewati. Tapi, saya sedikit bisa meredam sentimen saya ketika 4 orang anak kecil murid TPQ saya yang baru pulang ngaji datang mengampiri saya untuk bersalaman.

Baru sebentar saya keluar dari sentimen saya (sekitar 25-an langkah berikutnya), saya bertemu dengan ibu dari salah satu murid TPQ saya yang sedang mengorek-ngorek tempat sampah tetangganya yang kaya raya. Dia menyapa saya sambil meneruskan aktivitasnya. Saya nggak berpikir apa-apa sebenarnya, ketika melewatinya dan balas membalas sapaannya. Tapi Ibu itu justru berkata pada saya menjelaskan, "Lagi ngambil sisa nasi untuk makan ayam, bu."

Setelah mendengar perkataan itu, sentimen saya muncul lagi. Saya kembali menangis. Sore ini saya sentimentil. Padahal, saya nggak bertanya pada Ibu itu. Ia pun tak perlu menjelaskan apa-apa pada saya. Tapi, ketika mengatakan itu, Ibu itu tak perlu malu. Bisa jadi ia bahagia dengan hidupnya. Dengan aktivitas memelihara ayamnya.

Lalu saya bertanya pada diri saya, 

"apa yang masih membuatmu tidak bahagia, haps???"

"apa yang masih kau keluhkan dari hidupmu, haps???"

"apa  yang masih membuatmu tidak bersyukur, haps???"

Bahkan ketika saya me-recall kejadian sore tadi, saya masih tidak bisa menahan air mata saya untuk tidak jatuh.

Ya Allah, jadikan saya sebagai hamba yang pandai bersyukur.







__________________________________

Alhamdulillah-nya, ketika saya menangis di sepanjang jalan tadi tak ada orang yang melihat. Saya melewati rumah orang-orang yang pagarnya tinggi-tinggi. Mereka tak punya waktu untuk mengetahui apa yang terjadi di luar pintu pagar mereka.

Feels So Heavy


It kinda feels so heavy. I don't know why. That's why, I just told myself  'ah, kali aja PMS'. Tadi sore, just because I want to realive my stress out, saya gosok tuh wajan, teflon, dan segala perlengkapan menggoreng-goreng yang tergeletak di cucian piring. It doesn't mean saya sedang stress atau apa. Tapi, it just... I feel so heavy inside of me. Like something, but I don't know why.

Kemarin, setelah sekian lama saya lost contact sama temen-temen SMA saya, akhirnya kami bisa chit-chat lagi via WA. Nggak hanya satu orang, bahkan 7 orang sekaligus. Harusnya saya senang kan ya. Saya senang, hanya saja, setelah nge-chat itu, ada perasaan berat yang justru bergelayut.

I said to myself: "it's enough, haps! pull yourself together."

Dan setelah saya capek menggosok perlengkapan masak memasak, saya mencari kesibukan lain untuk mengalihkan diri dara rasa berat. Semoga cepat kembali ringan. Hati.

Rest For Awhile


Aaaaaaahhhhhh.... selama sepekan kemaren saya sakit. Chikungunya. Awalnya, nggak tahu kalo chikungunya. Sebenarnya, saya udah nyadar kalo nakal pake banget. kegiatan saya lumayan padat dari Jum'at. Pergi pagi-pagi banget. Nggak sarapan, di luar aktivitas penuh, nggak sempat jajan pula. Seingat saya, hari Sabtu saya cuma sempat makan sekali, itupun sudah jam 3 sore. Trus hari Ahad lebih parah lagi. Jam setengah 5 sore saya baaru makan. Bukan nasi atau mie, tapi pempek kapal selem. Lengkap sudah.

Akhirnya, kejadian deh. Malam senin saya kecapekan, dipanggil makan saya nggak kuat bangun. Jadi saya pilih tidur. Paginya, Ya Tuhan.... dada saya nyeri banget-banget. Tiap ngegerakkin badan sedikit, dada kayak ditusuk dan dihimpit. Sakitnya luar biasa. Saya pilih tidur terus saja. (Pada saat itu saya sedang cuti shalat). Sampai jam 9 pagi, saya maksa buat bangun. Tapi ya Tuhan..... saya sakit luar biasa. Bergerak dikit, dada saya nyeri banget-banget. Tante saya bikin lelucon saya tertawa, saya kembali merasakan sakit di dada yang begitu hebatnya.

Pas siangnya, ternyata sakitnya meningkat ke level saya nggak bisa jalan. Kaki, tangan, leher, semuanya terasa nyeri. Kepala saya pusing banget. perut saya  mual. Dan, saya lihat timbul bintik-bintik merah di kedua lengan saya. Kepala saya dipegang, ternyata demam.

Chikungunya! Ya Allah, 3 hari saya nggak bisa jalan. Senin sampai Rabu. Hari Kamis udah mulai bisa jalan, tapi masih kerasa nyerinya sedikit-sedikit.

Obatnya? Saya minum parasetamol buat nurunin demamnya. Buat chikungunya-nya apa? Nggak usah minum obat buat nyembuhin chikungunya. Minum air kelapa muda aja. Chikungunya nggak ada obatnya. masa inkubasinya katanya 2-4 hari. Dan yang terjadi sama saya kemarin selama 3 hari. Dan, setelah itu kelumpuhan yang saya rasa bener-bener hilang dengan sendirinya.

Cuma emang mesti nyabarin diri banget pas masa inkubasinya itu. Tersiksanya banget-banget. Terutama di malam hari. Ya Tuhan.... berapa kali saya terbangun dalam semalam karena sakit kepala saya yang menghebat itu? Dan bagaimana saya harus ngesot buat ke kamar mandi ataupun untuk sekedar ngambil minum ketika habis.

Dan selama sepekan saya benar-benar nggak berteman dengan air. Karena seluruh badan saya akan merah dan gatal banget kalo kena air. Jadi jangan bayangkan bagaimana aroma saya selama sepekan kemarin. Ya Allah....

Alhamdulillahnya, meskipun sakit, saya paham banget pentingnya minum. Jadi, ketika saya masih demam tinggi selama 3 hari kemarin, dalam sehari saya bisa menghabiskan air minum 3,5 liter bahkan lebih. Saya emang doyan banget minum.

Dan, meski saya nggak nafsu makan, saya maksain diri untuk tetep makan. meskipun cuma 3 atau 4 sendok. Dan alhamdulillah, saya udah baikan sekarang. Sisa berkompromi dengan maag yang masih belum pulih benar.

Well, saya ini kuat seperti beruang sih :)

Disorientasi (lagi)


Masih inget, kata teman saya semasa SMA dulu, saya ini pejuang tangguh. Nyatanya enggak. Saya ini nggak pernah benar-benar berusaha. Jadi, saya ini bukan pejuang tangguh.

Pas lebaran kemaren, saya komunikasi lagi sama temen SMA saya yang, udah lama banget lost contact. Dia, udah lulus s2 aja. Padahal semasa SMA, dia bukan termasuk "bintang kelas", nggak nampilin juga karakteristik "gila sekolah". Katanya pernah, dia terinspirasi sama saya yang selalu punya pemikiran maju. Saya yang sangat menyukai sekolah. Saya yang selalu haus dengan ilmu. Ceritanya, dia terinspirasi dari saya.

Jadi, lulus SMA kami sama2 ngelanjutin kuliah. Dia di Jogja saya di makassar. Dia ngambil matematika, saya hubungan internasional. Kami ngejalani hidup masing2, sesekali memotivasi untuk terus mengembangkan diri. And, time flies, kami sibuk masing2, saya cabut dari dunia per-FB-an, dia nggak tertarik dengan dunia per-twitter-an, so we're lost contact. Sampe akhirnya lebaran kemaren, saya (di) gabung (in) ke grup WA temen2 SMA saya, dan disitulah sy kembali berkomunikasi dengan teman saya ini.

Tanya kabar, dia bilang udah lulus s2 aja. Matematika. Subhanallah banget. Sementara saya masih stuck aja disini terus. Saya envy? Enggak sih, hanya berpikir, begitulah hidup. Life never goes as we decide how our life will be. Karena ada yang namanya, 'Sunnatullah' dan 'Qadarullah'.

So, yang terjadi kemarin adalah, temen saya ini ngajakin lanjut kuliah lagi (dia mau ambil s3, Phd). Oh God, dia semangat banget. Dia kasih lah saya info beasiswa. Saya untuk program master, dan dia untuk program doktor. Saya, terpacu lagi untuk lanjut kuliah.

Lagi semangat2nya, dia ngabarin kalo ternyata dia harus ngajar dulu di salah satu universitas, jd blm bisa lanjut lagi. Padahal dia pengen lanjut doktornya. Jadilah saya sendiri.

Lalu, saya berkutat dengan proposal penelitian sebagai satu syarat lanjut kuliah. Dan, saya tipikal gampang tertekan (stress) dengan sesuatu yang saya nggak bisa urai permasalahannya. Dengan kondisi otak saya yang mati suri selama 3 tahun dari dunia per-HI-an, saya harus bikin proposal penelitian tanpa ada yang membimbing, saya jauh dari teman2 yang bisa diajak diskusi, saya nggak tau di Lampung ini dimana saya bisa cari buku-buku HI, lalu saya stuck di TOEFL, dan juga keterbatasan fasilitas, saya jadi stress banget. Well, semangat saya turun lagi. Saya turn down lagi.

So, saya (ingin) menyerah saja lagi. Tapi, saya protes kepada diri saya sendiri. Bahwa ketika temen2 punya segudang cerita tentang perjuangan mereka yang begitu sulit, saya nggak punya semua itu. Karena saya bukan pejuang tangguh. Saya nggak pernah benar-benar berusaha. Saya nggak punya cerita melamar kerja kesana-kesini ditolak berkali-kali, kemudian setelah 20 sampai 50 kali berusaha baru akhirnya mendapat tempat dengan gaji tinggi, misalnya, dsb2. Saya enggak. Ketika pulang dan nyokap saya melarang saya kerja, saya diam saja. Saya letakkan ijazah saya di rak paling bawah lemari saya. Sudah.

Saya juga nggak punya cerita berkali-kali nyoba apply beasiswa. Sampai puluhan beasiswa dicoba, lalu akhirnya posting foto2 sedang di luar negeri. Enggak. Meski saya ingin lanjut kuliah dan cari beasiswa, saya nggak pernah benar-benar berusaha. Ketika saya semangat buat ngurus beasiswa, lalu saya stuck di satu atau dua hal, saya berhenti dari ngurus itu.

Lalu, saya bertanya, 'kemana Hapsari yang dulu selalu optimis dan nggak gampang menyerah, ya?' Saya yang saat ini, benar-benar bukan pejuang tangguh. Tapi, satu hal yang saya pahami, bahwa saya nggak mau menyesal untuk hal-hal berbau duniawi. I mean, secara manusiawi, saya selalu ingin dipandang sukses dimata orang-orang. Tapi, saya lebih memilih untuk selamat di akhirat. Buat saya, kesuksesan di dunia lebih mendekatkan saya kepada kekufuran, kepada kedurhakaan. Jadi, ketika saya mengupayakan sesuatu (terkait urusan duniawi), lalu saya stuck dan mendapat banyak hambatan, saya lebih memilih untuk nggak maksa. Karena saya khawatir, jangan sampai ternyata hal itu membawa saya pada kehancuran.

Karena, saya sudah pernah mengalami masa, dimana saya 'maksa' sama Allah agar keinginan saya terpenuhi. Bahwa apa yang saya upayakan harus terwujud. Tapi, pada akhirnya saya sadari bahwa hal tersebut nggak memberi manfaat banyak bagi saya, keluarga saya, atau agama saya. Jadi saya ingin agar saya yang sekarang, dengan bertambahnya usia, nggak mengulangi masa dengan penyesalan yang sama.

Saya juga nggak yakin sih pemikiran saya ini benar atau ini bagian dari kepicikan saya. Makanya, saya sering up and down at the same time. Apakah mungkin, saya akan mendapatkan sesuatu meski saya nggak berusaha keras untuk mendapatkannya? Apakah pemikiran itu bukan hanya sekedar upaya saya 'melegalkan' sifat pragmatis saya aja? Dan, up and down -nya saya at the same time itu memberi efek pada orang2 di sekeliling saya.  Jelas saja mereka nggak akan nyaman dengan saya yang up and down gitu.

Saya nggak tauapa yang harus saya lakukan saat ini. Kalau sedang depresi gini, saya sering memikirkan isi dompet saya, saya sering memikirkan status (prestis) saya. Saya sering memikirkan kehidupan saya yang biasa-biasa saja ini. Saya sering memikirkan aktivitas saya yang terkesan nggak "keren" ini. Tapi di sisi lain, saya selalu bersyukur bahwa Allah masih memberi saya ketakutan agar tidak terjerumus pada keputusan yang salah.

Well yah, saya sedang mengalami disorientasi (lagi). Dan saya berharap saya bisa keluar dari permasalahan saya ini (lagi).






















So, What Are You Gonna Do, Haps?


Ramadhan kemarin, pas masih puasa, saya melakukan hal yang nggak saya ungkapkan kepada siapapun saat itu, kecuali 2 orang yang saat itu memang terlibat dalam prosesnya. Saya katakan pada diri saya bahwa apa yang saya lakukan saat itu adalah bagian dari usaha saya untuk meraih takdir terbaik yang saya pinta pada Allah. Lalu, saya menunggu.

Kemarin, setelah ramadhan berlalu berganti dengan lebaran, saya mendapat beberapa hal. Yang tetap perlu saya usahakan. Tapi hati saya masih terkesan setengah. Not so interest. Lalu, sampai pada satu hal yang (saya rasa) adalah jalan kelanjutan dari usaha yang saya lakukan di awal ramadhan kemarin.

Tapi, kekhawatiran menyergap saya. Saya hanya nggak ingin menghianati idealisme saya sendiri. Jadi, sepertinya saya memang harus ragu. Kalau tidak, maka saya akan sangat bersalah ketika saya dengan ringan mengambil jalan ini. Karena apa sedang akan saya hadapi bertentangan dengan apa yang pernah saya lontarkan beberapa tahun yang lalu. Untuk kata-kata yang pernah saya muntahkan, lalu saya jilat kembali, itu adalah sebuah penghianatan pada idealisme yang telah saya bangun. Jadi, saya memang harus ragu untuk melangkah. Meskipun, pada akhirnya saya tetap akan mengambil jalan ini, setidaknya, saya sudah memulainya dengan perasaan bersalah. Jadi, dalam setiap langkah yang saya tapaki di jalan ini, saya akan berhati-hati. Agar nggak semakin bersalah.

Jika penghianatan ini memang harus kamu lakukan, seriuslah haps! Serius dalam mengupayakan agar rasa bersalah atas penghianatan yang kamu lakukan terbayarkan dengan manfaat yang jauh lebih banyak. Jadi, upayakan agar kamu benar-benar mengambil jalan ini, dan menetapi jalan ini sampai selesai.

Dan, jangan berpikir untuk mundur kembali. Jejak yang sudah kamu ambil akan terekam dengan jelas. Jadi, kamu harus total, haps!

Sekarang, yang perlu kamu lakukan, haps... tentukan kamu akan mengambil jalan ini dengan menghaianati idealismemu, atau kamu hanya akan diam ditempat?



















Be Bold, Haps!


Dan sesungguhnya saya selalu ingin menekankan diri, "haps, kalo semisal kamu belum bisa jadi baik, seenggaknya jangan jadi orang brengsek." Karena satu hal yang saya yakini: Meski kita belum mampu melakukan suatu kebaikan, sukai (red: terima) aja dulu kebaikan tersebut.

Beberapa hari ini pikiran saya kembali dikacaukan dengan segala keserakahan dan hal hal yang berbau tidak qonaah. Saya kembali mempertanyakan orientasi hidup saya. Mau apa saya? Apa yang akan saya lakukan? Apa yang ingin saya raih? Apa kamu sudah puas dengan hidupmu, haps? Begitu terus. 

Dan karena itu, keserakahan saya kembali merebut alam sadar saya. Saya ingin lebih, lebih, lebih dari yang saya miliki sekarang. Dan saya memoles cantik keserakahan saya dengan sebuah kalimat indah, "saya ingin merasakan eskalasi hidup saya selanjutnya."

Lalu saya sadar, jika saya menurutinya, saya nggak akan pernah berhenti. Karena sifat dasar manusia memang nggak akan pernah puas. Dan, saya tahu saya sering tidak pernah puas. Maka, saya berusaha mempertahankan keidealisan saya secara keras. Meski mungkin saya masih sering ringkih dan out of the track sometimes.

Saya ingin menjadi idealis. Meski kenyataannya saya jauh dari kata idealis. Tapi, saya nggak ingin memberi excuse pada diri untuk nggak lagi idealis. Biar saja kalau semua orang di dunia ini punya alasan untuk nggak idealis, tapi kamu nggak boleh haps! Karena sekali saya lunak terhadap diri, saya mungkin akan sangat jauh tersesat.

Dan saya selalu takut untuk tidak bisa kembali.

Haps, kebrengsekan kamu jangan ditambah-tambahin. Untuk hal yang kamu nggak yakin bisa hadapi, jangan coba-coba masuk dan tenggelam disitu. Kan sudah tahu kalau kamu nggak bisa berenang. Haps, jangan berharap ada yang datang menyelamatkanmu. Kamu jaga dirimu sendiri agar tetap selamat, itu sudah cukup.

Haps, biar aja semua orang dengan segala excuse-nya tentang dunia, be bold! Be bold, haps! Biar saja kalau semua orang sudah nggak lagi idealis. Just stay where you are. Be bold, be bold, haps! Kalau berusaha tetap idealis aja kamu masih sebrengsek ini, gimana kalau kamu buang semua idelismu itu? So warned yourself to be bold, haps!

Haps, kamu nggak mau menyesal kan? So,  be bold, haps!

Nothing To Do With Me, Doesn't It?!


Sampai hari ini saya masih belum juga bertanya kembali padamu. Setelah malam itu kau dengan jelas mengatakan padaku, 'It has nothing to do with you.'. Tapi, sampai kapan saya harus terus menunggu? Untuk sesuatu yang jelas-jelas ada kaitannya denganku, dan kau memilih untuk diam membisu.

Kau tahu, dan kau bisa lihat melalui mataku, saya tak sedang memaksamu untuk memberitahu. Kalau kau hendak terus menyimpan rahasia itu, saya akan membiarkanmu. Saya hanya ingin kau berkata, 'Trust me, when the time's come, I'll handle it for you.' karena yang sedang kita bicarakan ini jelas-jelas tentang hidupku. Tentang hidupku yang tersangkut di jaring masa lalumu.

Tak apa bukan? Seperti malam-malam yang pernah kita tertawakan, kita bercerita tentang kepedihan yang masing-masing kita rasakan. Dan siang hari saat kita saling menyalahkan. Dan malam-malam saat kusembunyi sambil menangis sesenggukan. Dengan diam-diam, di sudut lain air matamu pun jatuh tak beraturan.

Tuhan, jika hal ini telah dengan jelas kau gariskan, buat agar saya mampu terus bertahan. Kau pasti Maha Tahu apa yang sebenarnya dia sembunyikan. Dan saya, saya hanya tak ingin agar hubungan kami hancur berantakan. Meski mungkin, jauh di lubuk hati saya ingin terbebas dari rasa penasaran.