보고싶어








 _pada 27 setahun lalu

Jarak kita hanya selaras jejak. Tapi tak saya tak juga kamu bisa saling mendekat. Pagi ini, pilu mendekap. Merenda isak membuat perasaan sesak.

 

_pada 28 setahun lalu

Pada masa mata terpejam lalu membuka, jarak kita kembali merapal dua pulau. Dan lalu saya sadar, ini bukan tentang jarak. Ini tentang ikatan hati, yang hingga hari ini belum terpatri.


_idul adha kemarin

Tapi, keteguhan itu tak pernah betah bersandar padaku. Sesering aku berjanji, sesering itu pula kukhianati. Pada diammu, aku terusik sepi.


  ~merapal dua pulau~


Life Learning




Selama di Lampung ini, saya lebih sering berinteraksi dengan sekumpulan Ibu-Ibu yang usianya sudah 40an keatas bahkan sudah punya cucu. Awalnya, saya kebingungan karena saya merasa style saya anak muda banget, jadi saya sering mati gaya kalau dihadapkan dengan Ibu-Ibu. Tapi, sebulan, dua bulan, dan sekarang hampir setahun saya bermulazamah, akhirnya saya terbiasa juga. Saya berpikir, 'mungkin ini sarana belajar bagi saya yang akan menjalani proses menjadi seperti mereka kelak.' Dan ya, saya jadi lebih santai bercengkrama dgn mereka.

Sepanjang interaksi saya dengan mereka, ada beberapa hal yang saya bisa petik sebagai pelajaran untuk saya pribadi. Betapa semangat mereka untuk menuntut ilmu di usia mereka yang sudah tidak lagi muda menjadi pelajaran berharga. Belum lagi ketika berkaitan dengan dana, mereka semangat banget membagi harta jika itu untuk kepentingan agama. Dan, ada satu hal lagi yang kmrn baru saya dapat.

Kemarin, saya sempat berbincang dengan salah seorang Ibu teman pengajian saya. Saya penasaran, karena ketika saya datang kerumahnya, saya melihat bagaimana keIslaman dirumah beliau terkesan begitu kondusif. Rumahnya terasa sejuk, anak-anaknya (keduanya perempuan) sopan dan kelihatan hanif (semoga besar mereka jadi perempuan-perempuan sholihah), dan saya ingat si Ibu itu punya pengetahuan yang banyak terkait hadits-hadits Rasulullah. Jadi, saya keluarkan pertanyaan yang sempat saya simpan, 'Kalau boleh tau Bu, suami Ibu ikut ta'lim (pengajian) gitu nggak?'
Si Ibu menjawab, 'Semenjak rumah saya di renovasi mbak, nggak ta'lim lagi krna nggak ada tempat buat ta'lim. Tapi suami saya emang udah kenal sama ustadz F.'

Saya bingung, apa hubungannya renovasi rumah sama ta'lim. Nggak mungkin suaminya yg turun tangan untuk merenovasi sendiri kan? Haha. Jadi saya bertanya, 'Maksudnya Bu?'

'Sebelum di renovasi kan ta'limnya di rumah saya mbak. Yang isi materi, ustadz F, pesertanya bapak-bapak kompleks sini. Soalnya di masjid depan kompleks ustadznya masih pake yasinan, maulidan, dsb. Tapi karena rumah saya direnovasi, jadi sementara libur dulu karena nggak ada tempat, sampai renovasinya selesai.'

Saya paham, 'Oo, iya Bu. Maksud saya, berarti suami Ibu udah nggak asing sama ta'lim ya. Artinya Ibu dan suami sejalan terkait keIslaman ya.'

Dia menjawab, 'Ah, iya mbak. Justru suami saya duluan yang kenal ta'lim dibanding saya. Karena suami saya kenal dengan ustadz F, trus ikut ta'lim dan ngajak saya, makanya saya jadi kenal ta'lim, mbak.'

Saya senyum.

Saya kebayang, betapa timpangnya kehidupan rumah tangga yang Ibu-Ibunya udah kenal ta’lim, menginginkan anak-anaknya dididik dengan baik dan benar, tapi justru terhambat karena suami ternyata nggak sejalan. Suaminya belum kenal dengan ta’lim ternyata. Dan betapa nyamannya diperhatikan, jika seorang suami memang sudah mengerti tentang bagaimana Islam yang sebenarnya, untuk mendidik anak-anak agar bisa berIslam dengan benar, jadi lebih mudah.

Sepulang dari rumah Ibu tersebut, saya jadi berazzam dan bermunajat pada Allah. Agar jika saya menikah, saya ingin agar calon suami saya orang yang paham tentang Islam yang benar.

I'm Not Money Chaser


Dalam hati kecil saya, ada yang berontak. Saya benci orang-orang kaya itu. Setidaknya, saya benci orang-orang yang merasa mereka bisa melakukan segalanya karena mereka merasa memiliki uang. Saya ingin mengatakan kepada mereka bahwa mereka salah kalau berpikir bisa membeli saya dengan uang mereka. Sayangnya, saya bukan orang yang segitu gilanya dengan uang. Meski saya butuh uang, tapi saya nggak begitu gila dengan uang.

Tapi, kenapa tadi lidah saya nggak mengatakaan apa-apa saat mereka mulai banyak permintaan atas diri saya? Kenapa? Apa saya sudah mulai tunduk pada uang mereka?

Dengan lemah saya berkata TIDAK. Saya masih yakin bahwa saya melakukan semua ini bukan demi uang. Saya memang butuh uang, tapi sejak awal saya mengenal mereka, sasaran saya bukan uang mereka. Saya benar-benar ingin kebaikan ada pada diri mereka. Itu saja. Benar-benar itu saja. Tapi, tentang pembicaraan tadi, apa masih tentang menginginkan kebaikan ada pada diri mereka?

Apa semua tindakan mereka harus saya pahami sebagai sebuah proses? Haps, dimana kamu letakkan prinsip yang kau junjung jauh di atas kepalamu? Hanya karena mereka bermobil dan kamu selalu jalan kaki, apa kamu harus sebegituya merendahkan dirimu?

Sebuah pemahaman atas 'ketidaktahuan' mereka dengan sikap mereka yang meremehkan itu, tapi, bagaimanapun saya tak bisa selamanya memaklumkan itu, bukan?

Sungguh, saya ingin membuktikan bahwa saya melakukan semua itu bukan demi uang. Bukan.

Sekali ini, saya akan maklumi. Jika sikap mereka masih tak berubah setelah beberapa pehamaman yang akan saya berikan, saya memilih untuk tak berurusan dengan mereka yang bermobil itu.

Saya, bukan orang yang takut jika mereka lari. Karena, sekali lagi, saya tak sedang mencari uang. Saya sedang mencari pahala. Dan, pahala itu bukan datang dari diri mereka.

Go Higher Up!

 

Next time, when something unpleasant happens, just don't think to go far away, Haps. 

It's better to go higher up, right?!

Because when you go up to a high place, it gets rid of your sadness.




What The Difference?!

Oh yaaaaaa..... sekali lagi ada saja yang bertanya pada saya tentang perbedaan-perbedaan tempat ngaji. Dan, to be honest, saya sudah sangat amat bosan dengan pembahasan tersebut. Tapi, berhubung yang bertanya pada saya tadi adalah orang yang sedang semangat-semangatnya belajar, dan memang masih sangat nol pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan tersebut, maka... saya berusaha menjawab se-wise yang saya bisa.

Dan, saya sangat menyayangkan dengan oknum-oknum yang masih saja membesar-besarkan perbedaan yang sebenarnya bukan hal esensi untuk dijadikan fokus yang akhirnya mengarah pada saling tuduh dan menjelek-jelekkan satu sisi.

Well, khusus di Bandar Lampung, ibu-ibu yang saya kenal sering kebingungan kalo datang ke pengajian. ketika datang ke pengajian A, beberapa orang jelas-jelas melarang ibu-ibu yang saya kenal itu agar nggak datang ke pengajian B. Dan begitu juga sebaliknya, ketika si Ibu datang ke pengajian B, ada saja beberapa orang yang melarang si Ibu tersebut untuk nggak datang ke pengajian A. Padahal, pakaian (jilbab) pengajian A dan B sama. Buku-buku (kitab) yang dipakai ketika pengajian sama. Ilmu yang disampaikan ustad/ustadzah di pengajian A dan B sama. Aqidah, dan fiqih di pengajian A dan B sama. Jadi, apa yang salah sama mereka ya? Hanya karena di pengajian A animo untuk taat kepada pemerintah begitu kuat, sementara animo di pengajian B adalah tidak mengakui pemerintah sebagai ulil amri. Ya Tuhan.....

Dan, posisi saya yang nggak ikut ke keduanya dengan memilih berdiri sendiri di jalan tengah pun ternyata ikut-ikutan dapat sorotan. Ketika tadi saya datang untuk memperbaiki bacaan Al-Qur'an (Tahsinul Qiro'ah) beberapa ibu-ibu yang saya kenal, langsung saja saya dapat laporan bahwa ibu-ibu tersebut dilarang untuk tahsin dengan saya. Ya Tuhan.....

Menurut saya, sangat disayangkan banget loh sikap beberapa orang yang seperti itu. Ketika ibu-ibu itu adalah orang yang sedang semangat-semangatnya belajar dan mencari hidayah kemana-mana, kenapa mesti kita redam semangatnya dengan melarang-larang mereka? Lebih di sayangkan lagi jika larangan tersebut disertai dengan memaparkan keburukan-keburukan pihak lain yang, bisa jadi itu hanya prasangka semata.

Jika memang secara aqidah kita nggak berbeda, kenapa mesti panik? Manusia kan nggak sempurna. Para ulama saja sering berbeda dalam sebuah hukum, padahal mereka adalah orang yang paling mengerti tentang agama. Apatah lagi kita yang ilmunya, seujung kukupun belum sampai. Ketika Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas berbeda dalam bacaan tasyahud, hal itu tidak menjadikan pertentangan yang besar yang menyebabkan satu pihak menyalahkan pihak yang lainnya kan?

Jadi, apakah perkara berbeda dalam menerima atau menolak aturan pemerintah kedudukannya setara dengan akidah? Dengan catatan, pemerintah yang dimaksud bukan daulah Islamiyah. Adalah pemerintahan sekuler. Pemerintahan yang pemimpinnya adalah seorang muslim, tapi mengambil hukum buatan manusia, dan tidak menegakkan syariat Islam. Jadi, apakah ketika ketauhidan kita sama, fiqih kita sama, penampilan kita sama, tahsin kita sama, lalu, apa yang salah jika hanya satu sisi itu kita berbeda?

Kalo saya boleh berpendapat, rasa "klik" pada satu tempat ngaji itu nggak bisa dipaksakan loh. Jadi, biarkan saja Ibu-Ibu itu kalo mau ngaji kesana-kesini. Selama kita tahu tempat ngaji itu sumbernya adalah Al-qur'an dan Hadits dengan metode yang diajarkan Rasulullah. Karena, tanpa perlu kita paksa memilih, hati itu akan memilih dengan sendirinya ke tempat mana yang klik dengan hatinya. Dan, kalo pun mereka nggak memilih bersama kita, so what? Selama tujuan kita sama, kendaraan yang dipake berbeda, bukan masalah besar bukan? Kalo kita senang naik pesawat, sementara dia takut ketinggian dan memilih naik kapal, ya biarkan saja. Janjian saja untuk bertemu di hadapan Ka'bah misalnya. Nggak ada masalah bukan? Kecuali kita tahu bahwa kapal yang dia naiki tujuannya nggak sama dengan kita.

Well yah, tapi kita kan emang nggak bisa ngatur semua orang untuk bisa berpikir yang sama dengan kita kan, ya? :))

Won't Stop Falling


Here, when I start writing these, my tears still won't stop falling...

Memang, ujian keikhlasan itu begitu sulit. Bahkan setelah berjalan kaki 3 km, mencoba menikmati pemandangan di kanan dan kiri jalan, menemukan beberapa potongan kenangan masa kecil, lalu membiarkan sifat childish keluar ketika tak ada satu mata manusia pun yang menyaksikan, tapi keikhlasan itu masih juga tak mau mendekat.

My tears still won't stop falling...

Kecewa pada manusia itu, ujian cukup berat yang merusak keikhlasan.



~ B. Lampung, sore setelah hujan...

Experience is The Best Teacher (Muhasabah Diri)


Pada kenyataanya, saya paham ketika orang mengatakan, "experience is the best teacher". Bahwa terkadang sebuah teori saja itu masih belum cukup. Tapi, bagaimana ya? Apa mungkin memang saya yang terlalu takut? Apa memang saya ini begitu pengecut? Saya hanya nggak ingin terluka, maka saya menahan apapun yang saya pikir bisa melukai saya. Bahkan jika itu dengan tetap mempertahankan diri agar tetap pada zona nyaman saya. 

Aih, rasanya pikiran saya  mulai kacau lagi. Entah berapa lama waktu yang saya habiskan hanya untuk bergulat dengan pemikiran saya yang terkesan picik ini. Saya selalu berusaha untuk berkompromi pada hati saya. Saya selalu berharap, bahwa rasionalisme saya yang katanya setinggi langit itu bisa berjalan beriringan dengan hati saya yang labilnya luar biasa. Meski pada kenyataannya, sampai hari ini usia saya menginjak 26, saya masih belum mendapatkan kesimpulan dari kompromi antara hati dan pikiran saya. Keduanya begitu egois. Tak ada di antara mereka yang mau mengalah. Kalau sudah lelah, yang bisa saya katakan cuma, "ya sudahah, terserah lah...".

To be honest, ada beberapa hal yang saya konsisten meminta kepada Allah agar lebih baik saya tidak mengalami hal itu. Peduli apa sama "experience is the best teacher", saya benar-benar meminta Allah untuk tak mengalaminya saja. Bagaimana ya? Hm, ketakutan saya jauh lebih besar dibanding rasa percaya diri saya untuk berhasil melewati pengalaman itu. Kalau sudah begitu, senjata andalan saya adalah dengan bilang, "Kamu pengen selamat kan, Haps? It's okay, it's okay." Dan ada kesyukuran di balik masa kecil saya yang lebih banyak saya habiskan dengan menjadi orang yang individualis dan nggak memiliki tendensi untuk gabung dengan geng cewek-cewek di sekolah.  Saya terbentuk menjadi orang yang nggak mudah terpengaruh. I have my own thought. Tapi, hal itu juga berimbas pada betapa ngeyel-nya saya yang masih sulit menerima nasehat dari orang lain.

Oh well, beberapa hari yang lalu saya habis sakit. Tepat setelah sembuh dari chikungunya. Saya mencoba introspeksi dan mendapati bahwa mungkin sakit itu adalah hukuman dari Allah atas kemaksiatan yang saya lakukan. Sebuah kemaksiatan karena sudah tahu kalau itu salah, dan masih saja dilakukan. Ketika sakit itu menyerang, saya benar-benar insyaf. Saya berpikir, betapa beruntung jika kita langsung di tegur di dunia. Kita masih memiliki waktu untuk mohon ampun dan berjanji untuk nggak mengulanginya. Maka saya bayangkan ayat-ayat di Al-Qur'an yang sering saya baca, yang menggambarkan penyesalan mereka yang dahulu gemar bermaksiat pada Allah di dunia, dan mereka bilang, "Oh, celakanya. Seandainya kita bisa kembali ke dunia dan mengulang waktu." (maksudnya mereka akan menghabiskan waktu mereka dalam ketaatan, nggak akan bermaksiat di dunia). Tapi digambarkan oleh Allah bahwa pikiran mereka itu sia-sia. mereka hanya memiliki penyesalan pada masa itu.

Ya Allah, saya bener-bener serasa hampir gila saat saya sakit waktu itu. Saya bener-bener bilang pada saat itu, "Ya Allah, mohon jangan hukum saya karena kesalahan saya itu. Mohon..." atau di lain waktu saya bilang begini, " Ya Allah, saya bener-bener menyesal karena selama ini nggak berhenti melakukan kemaksiatan itu. Ya Allah sembuhkan saya, Ya Allah..." Dan saya nggak bisa ke dokter (karena saya memang anti rumah sakit). Dan saya hanya meminta tukang jamu langganan saya untuk membantu mencarikan jamu yang bisa menghilangkan atau mengurangi sakit saya itu. Saya juga meminta nyokap saya untuk memasakkan sayuran yang (katanya) berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit itu. Saking hebatnya efek sakit yang saya rasakan saat itu, saya bahkan googling obat kimia apa yang bisa dibeli di apotik untuk menyembuhkan penyakit itu. 

Dan dengan sakit itu, saya jadi tak bisa melakukan kemaksiatan itu. Saya 100% sadar banget kesalahan saya yang mana sehingga saya mendapat hukuman itu. Seperti misalnya, seseorang yang punya hobi klepto, padahal dia tau kalo mencuri itu salah, lalu tiba-tiba Allah menjadikan kedua tangannya lumpuh karena stroke. Atau seperti seseorang yang sangat suka mengadu domba dengan memberitakan hal yang bukan sebenarnya agar kedua pihak berseteru, kemudian tiba-tiba Allah membuat dia tersedak dan dia kehilangan kemampuan berbicaranya. Atau seperti seseorang, yang sudah tahu tentang halal dan haram, tapi masih nekat makan atau minum yang haram, maka Allah tiba-tiba menjadikan lambung dan ususnya penuh dengan kanker sehingga ia tak bisa makan dan minum kecuali makanan dan minuman tertentu saja. Ya, semacam itulah.

Ketika itu, saya bertanya pada diri sendiri, "berapa banyak janji yang kamu buat untuk berhenti melakukan kemaksiatan itu tapi kemudian kamu ingkari lagi?" Maka sakitnya saya saat itu menyadarkan saya bahwa hukuman Allah di akhirat pasti jauh lebih dahsyat.

Berapa lama saya sakit? Entahlah. Mungkin satu pekan? Atau bahkan kurang dari itu? Tapi... Ya Tuhan... rasa yang ditimbulkan ketika sakit itu seperti tahunan. Saya bahkan sempat berpikir, "Ya Tuhan... jika besok sakit ini belum hilang juga, saya benar-benar akan gila."

Dan alhamdulillah, Allah memberi kesembuhan pada saya. Dan saya bersyukur dengan itu. Saya juga berharap bahwa Allah mau mengampuni dosa saya. Dengan sakit itu, saya berpikir, "apakah kamu butuh merasakan hukuman bagi setiap kemaksiatan yang secara sadar kamu lakukan agar kamu benar-benar berhenti melakukan kemaksiatan itu, Haps?"

Ya Allah, saya benar-benar ingin kesadaran ini melekat kuat sehingga saya menuliskannya disini. Jika kelak setan menggoda saya untuk kembali kepada kemaksiatan itu, ada reminder betapa beberapa hari sakit yang saya alami, terasa  seperti tahunan bagi saya. Lalu, apa saya rela jika termasuk ke dalam orang-orang yang menggigit jari-jari mereka karena penyesalan yang terlambat di akhirat?

Haps, ingat peristiwa ini!

Tak Utuh


Pada akhir masa pembagian, aku mencoba mengambil darimu sebagian.

Untuk merasaimu utuh, ternyata aku terlalu penuh.

Sebagian darimu yang masih tersisa, tak ayal harus terbuang sia-sia.

Sepertinya kita memang hanya bisa berpadu, tak untuk bersatu.

Bukan inginku, tapi takdir berkata begitu.

 

 

PU Kedaton, the end of oktober 2014

(Belajar) Ikhlas Melepas



Wahai diri,
Sadarlah bahwa kamu hanya partikel kecil dalam dunia yang luas.
Menganggap dirimu sebagai pusat semesta raya, itu sungguh tak pantas.
Sesekali belajarlah untuk tak tersakiti meski hakmu terampas.
Cobalah belajar bagaimana ikhlas untuk melepas.

Wahai diri,
Biasakan untuk tak posesif pada apa yang kau kira adalah milikmu.
Padahal, bisa jadi hak orang lain ada di atas hakmu.
Jika hal sesepele itu tak sanggup kau pahami,
Bagaimana jika kelak suamimu hendak menikah lagi?

Wahai diri,
Sesungguhnya kau harus mengerti.
Ada hal yang harus kau pertahankan.
Dan ada juga yang sebaiknya ikhlas kau lepaskan.
Maka belajarlah..
Berusaha ikhlaslah..

A Sense of Nature

Pandangku terfokus pada semburat langit sore ini.
Cahaya mentari membias, menembus pekatnya awan mendung.
Ah, sungguh keindahan yang mampu memaksa mataku untuk tak mengalihkan pandangan.
Aku bahkan tak punya kamera dengan lensa canggih untuk mengabadikannya.
Hanya mataku: Aku mengabadikannya melalui kedua lensa mataku.
Sementara ingatanku telah lancang tertuju pada sosokmu.

Kamu : yang tetiba menjelma menjadi cahaya mentari sore yang indah.
Kamu : yang tetiba berwujud bulan penuh di malam yang tengah.
Kamu : yang tetiba berbisik melalui angin pagi yang dingin.
Dan selalu kamu : yang dalam setiap keindahan alam selalu menjelajahi pikiran.

Ah, berapa banyak sore seperti ini yang telah kuhabiskan?
Dan masih saja pikiran ini lancang menjelmakan dirimu dalam sebuah bayangan.
Tapi, tenanglah.
Kesadaran merajaiku sepenuhnya : bahwa keindahanmu hanya akan kuabadikan dalam diam.
Kupastikan tak kan ada selaras rindu dalam bait kata yang mengantarai kita berdua.

Seperti mentari sore kali ini yang cahayanya bebas menembus awan sepekat mendung,
aku tak akan membebanimu dengan segala rindu yang melulu.
Tapi jangan larang aku membebaskan perasaanku : biar ia hanya untukku tanpa pernah sampai padamu.

Kamu, tetaplah dengan keindahanmu.
Kan kuabadikan dalam diamku.


Bdl, Ba'da Ashar, 25/10/2014

Barakallahu Laka Wa Baraka Alaikuma

gambar random dari google


Hari ini nikahannya kak Nenz. Kapan itu sewaktu saya masih di kampus, saya suka banget manggil kak Nenz dengan sebutan "kakak ipar". Kenapa? Karena saya terobsesi pengen punya kakak ipar kak Nenz. Meskipun pada kenyataannya, Kak Nenz nggak bisa jadi kakak ipar saya beneran karena satu-satunya Mas saya udah punya istri, pun satu-satunya adik kak Neznz adalah Arfi (cewek). Tapi, saya waktu itu keukeuh aja manggil Kak Nenz dengan sebutan kakak ipar. Dan pada akhirnya saya berhenti manggil Kak Nenz dengan kakak ipar saat Kak Nenz meminta saya untuk nggak manggil dengan sebutan itu karena khawatir orang salah paham. Well yah, emang iya sih. Cuz Kak Nenz pada saat itu masih single. Jadi emang panggilan itu bisa bikin salah paham banget. Haha.

Kak Nenz itu, tipikal orang yang easy going banget. Saya suka sama Kak Nenz karena sifatnya yang nyanteee banget. Jadi, kalo kita ngelihat kak Nenz itu hidupnya kayak nggak ada masalah yang berat. Habis, Kak Nenz kelihatannya "take it easy" banget. Makanya, saya pengen banget kayak Kak Nenz, apa nggak saya pikir dengan dekat2 sama Kak Nenz bikin beban hidup rada ringan.

Dan lagi, Kak Nenz itu pinter banget. Udah gitu low profile pulak. Sama siapa aja bisa. Udah berapa olimpiade diikutin sama Kak Nenz deh. Kak Nenz tuh terkenal banget di kalangan dosen-dosennya. Dan, mana ada temen, senior, junior, yang nggak pernah ngobrol sama Kak Nenz. She's adorable banget deh. Makanya, saya suka banget sama Kak Nenz.

Dan, sebenernya saya temenannya sama Arfi, adeknya. Tapi, Kak Nenz tuh asyik aja diajak ngobrol. Asyik juga diajakin seru-seruan. Haha. Jadi, saya sama Kak Nenz tetep keep in touch gitu deh.

Well, tadi pagi saya dapat notifikasi WA. Ternyata dari Kak Nenz. Selfie pagi-pagi pake baju pengantinnya. Sengaja karena udah dari jauh hari saya emang minta. Ya Tuhan..... Kak Nenz cantik bingits subhananllah.

Aaaaaahhhhh, pengen sih saya bisa ada disana kayak waktu nikahannya Arfi. Tapi yaaaa qadarullah. time's not as it be. Tapi, asli deh saya ikutan seneng. Finally, Kak Nenz nikah juga. Semoga kehidupan pernikahannya benar-benar bahagia dunia akhirat. Terwujud sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dikaruniai anak-anak yang lucu2, sholih dan sholihah.

Kak Nenz...... Selamat yaaaaaa.... Harus bahagia! :)

Barakallahu laka wa baraka alaikuma wa jama'a bainakuma fii khoir....

Don't Judge a book By Its Cover


Oh, Please... ini sudah tahun ke berapa? Kenapa masih menghakimi orang dari tampang atau penampilan fisik dia? Fisik itu kan bukan hal yang bisa kita pilih-pilih. Saya mau terlahir dengan hidung mancung, bermata (seperti) kucing, atau pipi yang tirus, dsb, dsb. Tapi, kalo kenyataannya Tuhan ngasih kita takdir hidung pesek, mata yang lebar, pipi yang chubby, dsb, trus apa kita harus meratapi diri atau justru pergi ke Korea untuk operasi plastik? Ya Tuhan...

Barusan saya di sms temen lama saya. Saya pikir ada apa, ternyata dia hanya mau ngomentarin tentang calon suami si A temen saya. Oh well, dulu kami bertiga emang berteman akrab ketika sekolah. Temen saya (sebut saja si O) yang duluan nikah. Sementara saya dan si A masih single. Nah, temen saya si A rencana menikah awal tahun depan dengan calon suami yang notabene temen kami dulu. Jadi, kami emang udah kenal.

Entah bagaimana ceritanya, ternyata temen saya A nggak ngasitau si O siapa calon suaminya. Sementara si A ngasih tau dengan pasti ke saya siapa orang yang bakal jadi calon suaminya. Dari awal malah si A cerita ke saya. Nah, ntah ada apa diantara mereka, tiba-tiba tadi si O sms saya, bertanya tentang calon suami si A. I have no idea kalo dia terlambat tahu, saya cerita kalo saya udah tahu. Lagian, mereka kan ngerencanain nikah awal tahun depan, jadi kenapa masih dirahasiain?

Oh, well... ternyata oh ternyata... Kenapa mesti dikomentarin? Temen saya si A emang cantik luar biasa. Maklum aja, dia masih keturunan Arab-Sunda, jadi bisa bayangin dong gimana cantiknya dia. Calon suaminya? Emang kenapa kalo dia nggak ganteng? Dia baik dan bertanggung jawab orangnya. Apa itu nggak cukup dijadikan alasan kuat untuk nerima lamarannya? Apa harus di tolak hanya karena secara fisik dia nggak pantas bersanding dengan si A? picik banget deh ah komentarnya..

Ini udah tahun berapa? Please don't judge a book by its cover. Jangan menilai orang dari fisiknya. Nyatanya, hari ini banyak banget cowok2 ganteng nan keren tapi brengseknya luar biasa. Apa standar kecocokan mesti dilihat dari, "kalo ceweknya cantik, cowoknya juga mesti ganteng." enggak kan?

Komentar-komentar begitu itu nyakitin loh. Saya inget gimana si A cerita waktu ada yang ngomentarin fisik calon suaminya. Saya lihat dari bagaimana ia bercerita. Bagaimanapun, hargai keputusannya. Yakin deh kalo kamu ada di posisinya, hal itu nggak mudah.

Secara manusiawi, kamu pasti bertanya dalam hati tentang hal yang menurut kamu timpang. Tapi, nggak mesti diucapin kan komentar-komentar itu? Simpan aja untuk kamu sendiri. Kalo kamu keluarin, itu cuma memperlihatkan betapa piciknya kamu.

We'll Wait

"Mana, De? Laki-laki yang katanya mau datang ke rumah?" Nyokap saya tiba-tiba melontarkan pertanyaan mengejutkan pada saya. Saya pikir, nyokap sudah melupakan pembicaraan itu. Ternyata tidak. Duh...

Saya menarik napas, lalu berkata, "Orangnya nggak serius ternyata, Mom. Yang serius orang tuanya aja." jawab saya tanpa berani menatap mata nyokap saya.

"Lah, kok bisa gitu?" Alih-alih berhenti, nyokap saya justru bertanya lebih lanjut.

"Ya gitu, Mom. Orang tuanya serius nyariin calon istri buat anaknya. Ternyata anaknya nggak." Saya nyengir.

"Idih, malesin amat deh..." Tiba-tiba Mbak Citra ikut nimbrung. "Emang kamu mau nikah sama orang tuanya?" lanjut Mbak Citra.

"Ya udah, deh. Kalo cuma orangtuanya yang serius tapi anaknya enggak ya nggak usah di lanjutin aja, De." Kata Nyokap. "Ibu emang pengen kamu dapat mertua yang sayang sama kamu. Tapi suami kamu juga harus sayang bangeet sama kamu." Kata Nyokap saya lagi.

Ya Allah, percakapan apa itu Ya Allah? Saya merinding sendiri......

Haha, begitulaah. Saya malas kalo ngomongin masalah pernikahan yang belum fix. Pernikahan itu suatu hal yang melibatkan banyak orang. Jadi kalo belum fix trus udah banyak yang tau itu, semacam memberi banyak harapan yang belum pasti jadi kenyataan. Kadang, kalo ternyata nggak lanjut, kitanya oke, tapi orang-orang di sekitar yang ngerasain kekecewaan. Kan, kasian....

Oh, Well. Sakit ini bikin saya sadar satu hal juga yang harus saya ungkapkan ke calon suami saya kelak. Semoga nggak jadi penghalang. Haha

Rest For Awhile


Aaaaaaahhhhhh.... selama sepekan kemaren saya sakit. Chikungunya. Awalnya, nggak tahu kalo chikungunya. Sebenarnya, saya udah nyadar kalo nakal pake banget. kegiatan saya lumayan padat dari Jum'at. Pergi pagi-pagi banget. Nggak sarapan, di luar aktivitas penuh, nggak sempat jajan pula. Seingat saya, hari Sabtu saya cuma sempat makan sekali, itupun sudah jam 3 sore. Trus hari Ahad lebih parah lagi. Jam setengah 5 sore saya baaru makan. Bukan nasi atau mie, tapi pempek kapal selem. Lengkap sudah.

Akhirnya, kejadian deh. Malam senin saya kecapekan, dipanggil makan saya nggak kuat bangun. Jadi saya pilih tidur. Paginya, Ya Tuhan.... dada saya nyeri banget-banget. Tiap ngegerakkin badan sedikit, dada kayak ditusuk dan dihimpit. Sakitnya luar biasa. Saya pilih tidur terus saja. (Pada saat itu saya sedang cuti shalat). Sampai jam 9 pagi, saya maksa buat bangun. Tapi ya Tuhan..... saya sakit luar biasa. Bergerak dikit, dada saya nyeri banget-banget. Tante saya bikin lelucon saya tertawa, saya kembali merasakan sakit di dada yang begitu hebatnya.

Pas siangnya, ternyata sakitnya meningkat ke level saya nggak bisa jalan. Kaki, tangan, leher, semuanya terasa nyeri. Kepala saya pusing banget. perut saya  mual. Dan, saya lihat timbul bintik-bintik merah di kedua lengan saya. Kepala saya dipegang, ternyata demam.

Chikungunya! Ya Allah, 3 hari saya nggak bisa jalan. Senin sampai Rabu. Hari Kamis udah mulai bisa jalan, tapi masih kerasa nyerinya sedikit-sedikit.

Obatnya? Saya minum parasetamol buat nurunin demamnya. Buat chikungunya-nya apa? Nggak usah minum obat buat nyembuhin chikungunya. Minum air kelapa muda aja. Chikungunya nggak ada obatnya. masa inkubasinya katanya 2-4 hari. Dan yang terjadi sama saya kemarin selama 3 hari. Dan, setelah itu kelumpuhan yang saya rasa bener-bener hilang dengan sendirinya.

Cuma emang mesti nyabarin diri banget pas masa inkubasinya itu. Tersiksanya banget-banget. Terutama di malam hari. Ya Tuhan.... berapa kali saya terbangun dalam semalam karena sakit kepala saya yang menghebat itu? Dan bagaimana saya harus ngesot buat ke kamar mandi ataupun untuk sekedar ngambil minum ketika habis.

Dan selama sepekan saya benar-benar nggak berteman dengan air. Karena seluruh badan saya akan merah dan gatal banget kalo kena air. Jadi jangan bayangkan bagaimana aroma saya selama sepekan kemarin. Ya Allah....

Alhamdulillahnya, meskipun sakit, saya paham banget pentingnya minum. Jadi, ketika saya masih demam tinggi selama 3 hari kemarin, dalam sehari saya bisa menghabiskan air minum 3,5 liter bahkan lebih. Saya emang doyan banget minum.

Dan, meski saya nggak nafsu makan, saya maksain diri untuk tetep makan. meskipun cuma 3 atau 4 sendok. Dan alhamdulillah, saya udah baikan sekarang. Sisa berkompromi dengan maag yang masih belum pulih benar.

Well, saya ini kuat seperti beruang sih :)

So Difficult

Ini Idul Adha... Dan saya masih saja suka dengan Idul Adha. Begitu suka. Sangat-sangat suka. Teramat suka.

Tapi, beberapa waktu ini, saya teralihkan dengan hal lain. Bukan, saya nggak ikut daftar tes CPNS. bukan, saya juga udah nggak lagi terfokus pada proposal yang stuck itu. Ada hal lain, dan itu begitu menakuti saya.

Usia saya sudah mendekati 26. November nanti. Kata beberapa orang, usia itu sudah mesti diperhitungkan. But, what? Mungkin saya masih begitu childish sehingga saya selalu berpikir, I'm not in a hurry. So what? Tapi itu yang dijadikan konklusi bagi sebagian orang yang mengatakan bahwa saya hanya sedang menunda-nunda.

Beberapa waktu lalu saya sempat membaca, jika seseorang dekat dengan Rabb-nya, ia tak akan merasakan kegelisahan dan semacam galau. Tapi, saya sering mengalami disorientasi. I just dont know what to do. Jadi, memang saya yang belum mendekat pada Rabb saya. Dan saya sadari hal itu.

Yang begitu menakutkan adalah ketika saya dihadapkan pada pilihan, dan orang di sekitar saya mendesak saya untuk segera memberi keputusan. Lalu, saya sadar. Bahwa harapan saya begitu tinggi melambung sampai ke angkasa. Sementara saya masih saja belum beranjak dari tempat saya berdiri saat ini.

Saya tau bahwa saya tipikal perempuan yang masih jauh dari kata shalihah. Saya masih sering membangkang. Saya masih sering bandel dan nekat berjalan di batas syari'at. Tapi, meski begitu saya nggak ingin orang yang datang adalah setipikal dengan saya. Apalagi yang jauh di bawah saya secara keimanan. Bagaimanapun, saya begitu ingin menyelamatkan diri. Dan, pasangan yang tak menjerumuskan adalah salah satu bentuk menyelamatkan diri yang efektif menurut saya.

Kenapa saya begitu ketakutan? Karena saya paham, jika saya menikah, maka kewajiban saya untuk ta'at pada pasangan saya. Dan, ketaatan itu ingin saya berikan pada orang yang benar-benar pantas untuk dita'ati. Dan saya nggak ingin, jika ternyata pasangan saya kurang shalih, saya justru jadi perempuan tak tahu diri yang durhaka pada suami.

Oh, Tuhan. Saya jadi ingat kata tante saya, "begitulah dilematisnya orang yang terlalu banyak tahu." Dan, I just dont know what to do.

Ya Tuhan..... apa tak bisa dimengerti bahwa saya bukannya sembarang menolak. Tapi, saya hanya nggak ingin sembarang menerima. Menikah, bukan perkara gambling. Menikah urusan seumur hidup. Bukan pikiran ya udah jalani aja, perkara ntar dilihat ntar. Setahun, dua tahun, tiga tahun, lalu apa?

Saya tahu, bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik. Dan Kalam Allah pasti benar.

Tuhan, doa saya masih sama. Saya ingin menikah dengan laki-laki yang paling shalih. Paling shalih.

Iri, Cemburu, Dengki, Or Whatsoever The Name


Ingat, haps!

Kamu cuma boleh Iri / Dengki / Cemburu /Hasad (or whatsover you called for the feeling inside yang berasa pengen banget berada pada posisi orang itu) CUMA HANYA pada dua golongan ini :

1. Orang kaya yang semangat banget sedekah. Mereka yang hartanya banyak, tapi tiap saat ngeluarin isi dompetnya buat disedekahin. Kamu boleh iri sama orang2 kayak gini, haps. Selainnya nggak boleh!

2. Orang yang banyak ilmunya dan semangat buat ngajarin ilmu tersebut ke orang lain. Mereka yang udah belajar ilmu kesana-kesini, banyak tahu dalam banyak hal, dan sangat semangat buat nularin ilmunya ke orang-orang. Kamu mesti Iri sama orang kayak gini, haps!

Jadi, kalo ada orang-orang yang nggak termasuk salah satu dari dua golongan orang di atas, tutup aja deh mata kamu, haps. Biar kamu nggak iri atau cemburu sama keadaan mereka. Nggak bawa kebaikan apa2 juga sama kamu.




Disorientasi (lagi)


Masih inget, kata teman saya semasa SMA dulu, saya ini pejuang tangguh. Nyatanya enggak. Saya ini nggak pernah benar-benar berusaha. Jadi, saya ini bukan pejuang tangguh.

Pas lebaran kemaren, saya komunikasi lagi sama temen SMA saya yang, udah lama banget lost contact. Dia, udah lulus s2 aja. Padahal semasa SMA, dia bukan termasuk "bintang kelas", nggak nampilin juga karakteristik "gila sekolah". Katanya pernah, dia terinspirasi sama saya yang selalu punya pemikiran maju. Saya yang sangat menyukai sekolah. Saya yang selalu haus dengan ilmu. Ceritanya, dia terinspirasi dari saya.

Jadi, lulus SMA kami sama2 ngelanjutin kuliah. Dia di Jogja saya di makassar. Dia ngambil matematika, saya hubungan internasional. Kami ngejalani hidup masing2, sesekali memotivasi untuk terus mengembangkan diri. And, time flies, kami sibuk masing2, saya cabut dari dunia per-FB-an, dia nggak tertarik dengan dunia per-twitter-an, so we're lost contact. Sampe akhirnya lebaran kemaren, saya (di) gabung (in) ke grup WA temen2 SMA saya, dan disitulah sy kembali berkomunikasi dengan teman saya ini.

Tanya kabar, dia bilang udah lulus s2 aja. Matematika. Subhanallah banget. Sementara saya masih stuck aja disini terus. Saya envy? Enggak sih, hanya berpikir, begitulah hidup. Life never goes as we decide how our life will be. Karena ada yang namanya, 'Sunnatullah' dan 'Qadarullah'.

So, yang terjadi kemarin adalah, temen saya ini ngajakin lanjut kuliah lagi (dia mau ambil s3, Phd). Oh God, dia semangat banget. Dia kasih lah saya info beasiswa. Saya untuk program master, dan dia untuk program doktor. Saya, terpacu lagi untuk lanjut kuliah.

Lagi semangat2nya, dia ngabarin kalo ternyata dia harus ngajar dulu di salah satu universitas, jd blm bisa lanjut lagi. Padahal dia pengen lanjut doktornya. Jadilah saya sendiri.

Lalu, saya berkutat dengan proposal penelitian sebagai satu syarat lanjut kuliah. Dan, saya tipikal gampang tertekan (stress) dengan sesuatu yang saya nggak bisa urai permasalahannya. Dengan kondisi otak saya yang mati suri selama 3 tahun dari dunia per-HI-an, saya harus bikin proposal penelitian tanpa ada yang membimbing, saya jauh dari teman2 yang bisa diajak diskusi, saya nggak tau di Lampung ini dimana saya bisa cari buku-buku HI, lalu saya stuck di TOEFL, dan juga keterbatasan fasilitas, saya jadi stress banget. Well, semangat saya turun lagi. Saya turn down lagi.

So, saya (ingin) menyerah saja lagi. Tapi, saya protes kepada diri saya sendiri. Bahwa ketika temen2 punya segudang cerita tentang perjuangan mereka yang begitu sulit, saya nggak punya semua itu. Karena saya bukan pejuang tangguh. Saya nggak pernah benar-benar berusaha. Saya nggak punya cerita melamar kerja kesana-kesini ditolak berkali-kali, kemudian setelah 20 sampai 50 kali berusaha baru akhirnya mendapat tempat dengan gaji tinggi, misalnya, dsb2. Saya enggak. Ketika pulang dan nyokap saya melarang saya kerja, saya diam saja. Saya letakkan ijazah saya di rak paling bawah lemari saya. Sudah.

Saya juga nggak punya cerita berkali-kali nyoba apply beasiswa. Sampai puluhan beasiswa dicoba, lalu akhirnya posting foto2 sedang di luar negeri. Enggak. Meski saya ingin lanjut kuliah dan cari beasiswa, saya nggak pernah benar-benar berusaha. Ketika saya semangat buat ngurus beasiswa, lalu saya stuck di satu atau dua hal, saya berhenti dari ngurus itu.

Lalu, saya bertanya, 'kemana Hapsari yang dulu selalu optimis dan nggak gampang menyerah, ya?' Saya yang saat ini, benar-benar bukan pejuang tangguh. Tapi, satu hal yang saya pahami, bahwa saya nggak mau menyesal untuk hal-hal berbau duniawi. I mean, secara manusiawi, saya selalu ingin dipandang sukses dimata orang-orang. Tapi, saya lebih memilih untuk selamat di akhirat. Buat saya, kesuksesan di dunia lebih mendekatkan saya kepada kekufuran, kepada kedurhakaan. Jadi, ketika saya mengupayakan sesuatu (terkait urusan duniawi), lalu saya stuck dan mendapat banyak hambatan, saya lebih memilih untuk nggak maksa. Karena saya khawatir, jangan sampai ternyata hal itu membawa saya pada kehancuran.

Karena, saya sudah pernah mengalami masa, dimana saya 'maksa' sama Allah agar keinginan saya terpenuhi. Bahwa apa yang saya upayakan harus terwujud. Tapi, pada akhirnya saya sadari bahwa hal tersebut nggak memberi manfaat banyak bagi saya, keluarga saya, atau agama saya. Jadi saya ingin agar saya yang sekarang, dengan bertambahnya usia, nggak mengulangi masa dengan penyesalan yang sama.

Saya juga nggak yakin sih pemikiran saya ini benar atau ini bagian dari kepicikan saya. Makanya, saya sering up and down at the same time. Apakah mungkin, saya akan mendapatkan sesuatu meski saya nggak berusaha keras untuk mendapatkannya? Apakah pemikiran itu bukan hanya sekedar upaya saya 'melegalkan' sifat pragmatis saya aja? Dan, up and down -nya saya at the same time itu memberi efek pada orang2 di sekeliling saya.  Jelas saja mereka nggak akan nyaman dengan saya yang up and down gitu.

Saya nggak tauapa yang harus saya lakukan saat ini. Kalau sedang depresi gini, saya sering memikirkan isi dompet saya, saya sering memikirkan status (prestis) saya. Saya sering memikirkan kehidupan saya yang biasa-biasa saja ini. Saya sering memikirkan aktivitas saya yang terkesan nggak "keren" ini. Tapi di sisi lain, saya selalu bersyukur bahwa Allah masih memberi saya ketakutan agar tidak terjerumus pada keputusan yang salah.

Well yah, saya sedang mengalami disorientasi (lagi). Dan saya berharap saya bisa keluar dari permasalahan saya ini (lagi).






















Bipolar - Personality Disorder


Pembahasan ini lagi marak-maraknya. Di televisi atau di sosmed. Ah, tema pembahasan kan emang gitu. Kalo ada satu hal yang heboh, itu semua dibahas. Ntar kalo ada yang lain lagi, bahasan baru ngegantiin bahasan yang booming kemaren.

But, whatever, personality disorder yang muncul ini dari kalangan public figure. Makanya, beritanya bisa sebegini heboh. Kemaren saya sempet nonton salah satu acara di tv yang nayangin klub orang-orang penderita bipolar. Oh, God... sampe dibikinin klub! Haha

Padahal, saya pikir bagaimanapun itu kan sebuah penyakit yang nggak perlu dibangga-banggain kan? I mean, statusmu 'hampir' mendekati gila, kamu masih memamerkannyake hadapan publik, yang nggak tau apa manfaat besarnya? Kalo saya sih memandangnya, tunjukin aja kepada orang yang akan membantu kamu melewati masa-masa sulit saat kamu depresi bahkan kepikiran untuk bunuh diri.

Dan, emang bipolar ini ngebahayain diri sendiri dan orang lain sih. Efek ke diri sendiri, bawaannya pengen bunuh diri itu bisa bikin kita nyakitin diri sendiri kan? Efeknya ke orang lain, penderita bipolar sering bikin orang-orang di sekitarnya nggak nyaman. Siapa sih yang bisa nyaman dengan oranh yang sedetik lalu jejeritan histeris dan sedetik kemudian udah tertawa ceria?

Jadi emang seharusnya penderita bipolar punya kesadaran untuk menyembuhkan dirinya. Dan, support dari orang-orang di sekeliking itu penting banget.

Dan lagi, saya pernah inget bahwa bahkan ada orang yang sampe usia 45 tahun belum bisa juga menemukan jati dirinya. Oh well, begitulah manusia. Harus ekstra usaha untuk hidup di dunia. Karena dalam hidup ini ada hal-hal yang baik dan nggak baik. Ada hal-hal yang boleh dan nggak boleh. Ada hal-hal yang bisa di maafkan dan ada juga yang tidak.

Just for your information, bunuh diri itu nggak dibenarkan agama. Pelakunya, nggak akan mencium bau syurga. It means tempat dia selanjutnya adalah di neraka. Jadi, hilangkan pikiran bunuh diri itu. Nggak ada keren-kerenya. Bakal menyesal mah iya. Dan, sangat penting untuk menjaga keimanan dalam dada. Dengan perkuat ibadah, perbanyak belajar agama, plus pilih temen-temen yang baik, yang sholih dan sholihah.

Kita berharap bisa selamat dunia dan akhirat kan ya :)







Menikah Seems Complicated (When others getting involved)

Sometimes, I just felt this way. 

Nggak, nggak, saya nggak sedang meracau. Saya hanya, sekedar berpikir, melihat hal yang terasa 'salah'.

Semacam ketidaksesuaian dari apa yang ada di sekitar kita, yang kadang bikin saya nggak bisa menahan diri untuk nggak bertanya, 'kenapa ya?'

Oh, well, beberapa waktu yang lalu, orang dekat saya bercerita kepada saya, kalau ada temannya (laki-laki) yang hendak serius dengan saya. Dan temannya itu meminta dimediasi agar bisa 'nyambung' ke saya. But, you know what, orang dekat saya itu nggak ngasi respons ke temannya itu. Dan orang dekat saya itu baru bercerita kepada saya setelah berbulan-bulan berlalu dari peristiwa itu.

Awalnya, saya santai aja menanggapi hal itu. Saya pikir, 'Oh well, she must has her own reasons kenapa kok nggak langsung gomong ke saya saat si temannya itu minta dimediasi. Kali aja si cowok itu brengsek, atau nggak kurang baik dari sisi akhlak atau agamanya. Atau mungkin, sayanya yg nggak pantas buat laki2 itu.' But anyways, saya nggak ngomong banyak ke orang dekat saya itu sewaktu dia ngungkapin cerita itu. Saya cuma senyum aja dan bilang, 'ya kali belum jodoh'.

Berhari berlalu dari pengungkapan itu, si orang dekat saya nyeletuk ke saya yang intinya, 'get married soon sana, haps!' Well, saya cuma bilang aamiin dengan santainya.

Dan kenapa hari ini pada akhirnya santai saya bisa bergeser dari kedudukannya? I was so annoyed with her blabering about 'get lost by married sana, haps!'-nya dia. I mean, sebenarnya dia itu serius nggak sih mengharap saya segera nikah? Atau sebenarnya saking sayangnya dia ke saya, she just wants to keep me close to her with being single? Haha, I don't really know what's in her real intention. Soalnya, udah dua kali saya dapati orang dekat saya itu 'menolak' (baca: nggak ngerespon) dua temannya yang want to have a relationship with me.

Haha, aneh kan ya? Ya emang sih dia bukan orang tua saya yang berkewajiban ngurus hidup saya gitu. Usianya juga nggak terpaut jauh dari saya, jd mungkin pola pikirnya masih belum begitu matang. Tapi, semacam timpang sih ya kalau udah mulai ngedesak-desak saya untuk segera nikah, sementara dia tahu kalo saya lebih milih santai nikmatin hidup kalo emang belum ada yang bener-bener datang ke hadapan saya dan bilang, 'I am houndred, even thousand serious being involved to you.'

Oh well, kata temen-temen saya, emang usia-usia segini udah bakal diributin masalah nikah. Tapi, kenapa nikah bisa jadi urusan yang dibikn complicated gini, sih?

Kalo saya yang ngejalani aja bisa santai dengan mensugesti diri, kenapa orang2 di sekeliling saya yang justru nggak bisa santai? Kadang saya berpikir, yang sebenernya itu, saya yang nunda-nunda nikah atau orang-orang dekat saya yang emang belum menginginkan agar saya segera menikah ya? Haha

Umur 25 di tanya-tanya terus soal nikah itu, kayak kembali ke semester 9 yang nggak ada hari nggak ditanya tentang skripsi. Pengen banget deh bilang, 'It's okay dear. It's been in processing right now. Lagian, waktu DO masih lama kali.' Dan waktu bikin skripsi, pas ada yang nyeletuk, 'kok stuck di BAB III aja sih?' Pengen banget deh bilang, 'ya udah deh ya, coba deh kerjain skripsi saya.' Nah, sometimes  beberapa waktu ini perasaannya semacam kembali ke masa itu deh. Haha

But, gimanapun, mereka adalah orang-orang deket saya. Yang pasti sayang sama saya. Jadi, pasti mereka tetap mengharap kebahagiaan saya. :)

Iya Sih, Tapi.....


Sudah bebarapa orang yang dengan jelas mengatakan kepada saya, "Ya udah lah, haps. Nikah dulu aja." Saat saya melontarkan keinginan saya untuk melanjutkan studi saya. Oh well, rasanya saya greget gemes gelak sampe cuma bisa mengulum senyum. I mean, saya pengen, dan memang merencanakan untuk mendahulukan nikah ketimbang lanjut kuliah. Saya sudah berkompromi pada hati saya untuk settle down. Intinya, saya juga udah paham tentang pentingnya nikah.

Tapi yang bikin saya ngulum senyum, semestinya kata-kata itu nggak ditujukan ke saya. I mean, saya bukan menyengaja menunda-nunda nikah loh yaa... saya nggak sedang ngegantung orang yang serius menjalin hubungan dengan saya. Enggak. Artinya, saya nggak sedang dalam kondisi, memiliki seseorang yang sudah layak dijadikan suami tapi saya yang menunda-nunda untuk nggak nikah. Saya nggak sedang dalam relationship dengan siapapun. Enggak. Dan, saya juga nggak sedang dalam posisi perempuan yang menolak setiap lamaran yang datang karena ingin melanjutkan kuliah. Enggak. Kenyataannya, nggak pernah ada ikhwan sholih (yang saya tahu) yang memang melamar saya. Kalaupun ada beberapa yang ditolak orang tua saya (itu pun saya tahunya jauh setelah kejadian berlalu), saya yakin orang tua saya punya pertimbangannya sendiri kenapa sampai tak memberitahu saya tentang pinangan laki-laki tersebut.

Jadi, saya rasa pernyataan itu nggak tepat aja dilontarkam ke saya. Toh, saya bukan feminis yang memilih being single. Kalo ditanya, 'Emang kamu nggak pengen nikah ya haps?' Jelas pengen dong. Nikah kan ibadah. Sarana menyempurnakan separuh agama pulak. Jadi nggak mungkin saya nggak pengen. Hanya saja, be wise dong lihat keadaan.

Lah, ada juga temen yang nanya, 'Emang kamu nyarinya yang gimana sih, haps? Kriterianya kayak apa? Kamu pemilih sih ya?' Oh wow, saya sendiri malah nggak pernah kepikiran maunya dapet suami yang kayak gini, kayak gini, kayak gitu. Yang selama ini saya set di kepala cuma, 'jika ada laki-laki yang baik agama dan akhlaknya datang melamarmu, maka terimalah.' Soalnya saya percaya, laki-laki yang baik agama dan akhlaknya itu mengkomplitkan segalanya. Dia pasti orang yang bertanggungjawab karena dia tahu punya kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Dia pasti orang yang mampu membahagiakan karena dia tahu bagaimana akhlak seorang suami terhadap istri dan mertuanya. Jujur, selama ini pikiran saya tentang suami sesederhana itu. Begitu naif ya saya? Haha

Saya pribadi sih percaya, kalau jodoh itu tak bisa dipaksa kapan waktu datangnya. Saya percaya, kalau ada sebagian yang memang mendapat takdir bisa menikah di dunia, dan ada juga yang tidak. Jadi saya bilang aja sama diri saya, 'take it easy haps, kalo toh kamu nggak nikah di dunia, it means jodoh kamu sedang menunggu kamu di syurga.' Asyikkk. Hahaha

Nah, kondisi yang saya hadapi kali ini, di hadapan saya terhampar kesempatan untuk melanjutkan kuliah saya ke jenjang yang lebih tinggi. Sementara kesempatan untuk menikah belum tertakdir pada saya. Lalu, apa yang harus saya lakukan? Semestinya ketika saya melontarkan keinginan saya untuk lanjut kuliah, jangan hanya sekedar bilang, 'Nikah dulu aja haps baru lanjut kuliah.' Tapi... bagus kali ya kalau bilangnya ke saya gini, 'Oh, kamu mau lanjut S2 haps? Eh, kalau gitu saya kenalin saudara saya yang ikhwan mau nggak? Orangnya sholih loh. Akhlaknya baik. Dia serius mau nikah. Gimana?'  Kayaknya kalau jawabannya gitu lebih solutif dan menenangkan hati ya? Hahahaha :)

Oh well, tulisan ini sedikit uneg-uneg buat ngeluarin beberapa ganjalan dan konfirmasi beberapa hal. Kadang saya heran juga, kenapa sih orang-orang di sekitar saya sering berpikir (bahkan jelas-jelas menuduh) kalau saya tipikal perempuan yang nggak mau nikah (nunda-nunda nikah)? Apa karena saya jarang ngomongin tentang pernikahan dalam setiap obrolan? Toh, saya memang belum punya calon yang bisa saya gembar-gemborkan. Dan, emang perlu banget ya ngungkapin ke semua orang keinginan kita untuk menikah? Kalau memang dengan hal itu menjadi satu tolak ukur, oke nih saya udah bilang kepada dunia, saya juga kok. Ahahahaha :))


















So, What Are You Gonna Do, Haps?


Ramadhan kemarin, pas masih puasa, saya melakukan hal yang nggak saya ungkapkan kepada siapapun saat itu, kecuali 2 orang yang saat itu memang terlibat dalam prosesnya. Saya katakan pada diri saya bahwa apa yang saya lakukan saat itu adalah bagian dari usaha saya untuk meraih takdir terbaik yang saya pinta pada Allah. Lalu, saya menunggu.

Kemarin, setelah ramadhan berlalu berganti dengan lebaran, saya mendapat beberapa hal. Yang tetap perlu saya usahakan. Tapi hati saya masih terkesan setengah. Not so interest. Lalu, sampai pada satu hal yang (saya rasa) adalah jalan kelanjutan dari usaha yang saya lakukan di awal ramadhan kemarin.

Tapi, kekhawatiran menyergap saya. Saya hanya nggak ingin menghianati idealisme saya sendiri. Jadi, sepertinya saya memang harus ragu. Kalau tidak, maka saya akan sangat bersalah ketika saya dengan ringan mengambil jalan ini. Karena apa sedang akan saya hadapi bertentangan dengan apa yang pernah saya lontarkan beberapa tahun yang lalu. Untuk kata-kata yang pernah saya muntahkan, lalu saya jilat kembali, itu adalah sebuah penghianatan pada idealisme yang telah saya bangun. Jadi, saya memang harus ragu untuk melangkah. Meskipun, pada akhirnya saya tetap akan mengambil jalan ini, setidaknya, saya sudah memulainya dengan perasaan bersalah. Jadi, dalam setiap langkah yang saya tapaki di jalan ini, saya akan berhati-hati. Agar nggak semakin bersalah.

Jika penghianatan ini memang harus kamu lakukan, seriuslah haps! Serius dalam mengupayakan agar rasa bersalah atas penghianatan yang kamu lakukan terbayarkan dengan manfaat yang jauh lebih banyak. Jadi, upayakan agar kamu benar-benar mengambil jalan ini, dan menetapi jalan ini sampai selesai.

Dan, jangan berpikir untuk mundur kembali. Jejak yang sudah kamu ambil akan terekam dengan jelas. Jadi, kamu harus total, haps!

Sekarang, yang perlu kamu lakukan, haps... tentukan kamu akan mengambil jalan ini dengan menghaianati idealismemu, atau kamu hanya akan diam ditempat?



















HOAMMM


Just woke up from a deep sleep.

and...

want to say,

Ied Mubarak. 

Taqabbalallahu minna wa minkum.

and...

apakah sekarang sudah Agustus?

Well, Be nice to me August!

My Friends said they will marry, soon. 

oh, well....

Hope they'll be super happy.

and,

me, too :)


Penataran Seputar Ramadhan Kab.Sidrap, Sulawesi Selatan #3

Materi 3
By. Ust. Harman Tajang, LC
"ketika Ramadhan ini ku akhiri"

MUQADDIMAH 
Mempelajari hukum berpuasa adalah fardhu kifayah, namun jika waktunya sudah dekat maka hukumnya fardhu 'ain. Sebagaimana hukum mempelajari haji..

Lailatul qadr 
1. Merupakan malam diturunkannya alqur'an 
"Al-Qadr:1 - Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan."
2. Merupakan malam kemuliaan 
" Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." Al-Qadr 2-3
3. Malam dirubahnya takdir
Di malam lailatul qadr rasulullah mengajarkan untuk banyak2 berdoa, maka mintalah untuk duniamu dan akhiratmu.. mintalah kepada Allah semuanya baik untuk diluaskan reski qt dan di perbaiki akhirat qt..
Fudhail bin iyadh : "perbaiki amal di sisa umurmu, krn sesungguhnya seseorang itu dinilai di akhir hidupnya"
4. Merupakan malam yang sempit,
"Al-Qadr:4 - Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan." Disebut sempit karena malaikat2 dan ruh (penamaan khusus untuk jibril) semua turun ke langit bumi.
5. Malam yang lebih baik dari 1000 bulan

Waktu lailatul qadr :
Hr. Bukahari wa muslim "Carilah malam lailatul qadr itu di sepuluh terakhir bulan ramadhan"
Hadits : 
- "carilah !!malam lailatul qadr itu" kata "carilah.." dimaknai oleh sebgian Besar ulama merupakan perintah dari Rasulullah sallallahu'alaihi wassallam untuk mencari malam tersebut dan bukannya bermalas-malasan menantinya.. 
Hikmah dirahasiakan nya malam lailatul qadr adalah qt disuruh untuk bersungguh2 beribadah di 10 hari terakhir bulan tersebut.
Ubay bin kaab : " malam lailatul qadr adalah malam yang ke 27"

Bagaimana seorang muslim dalam menantikan malam lailatul qadr. 
Aisyah berkata : " bahwasanya rasulullah bersungguh2 beribadah (melebihi kesungguhannya di hari2 yang lain) di 10 hari terakhir di buan ramadhan, "

I'tikaf
1. Dimasjid dimana diadakan sholat jum'at dan jamaah.
Mengambil tempat khusus di dalam masjid, untuk berkhalwah syar'iah
Kapan i'tikaf ?
- masuk ke tempat i'tikafnya pada hari ke 20 setelah terbenamnya matahari, ada juga yang mengatakan pada hari ke 21 setelah shalat subuh. Karena rasulullah pernah melakukan keduanya, namun untuk pernyataan yang takhir, ada yang mengatakan bahwa rasulullah telah masuk kemasjid pada malam ke 20 dan berniat untuk i'tikaf dan kemudian keluar dan masuk ba'da shalat subuh. Sehingga lebih berjaga2nya sebaiknya masuk ke masjid d malam 20 sebelum maghrib
Kapan keluar dari i'fikaf?
- saat diumumkannya 1 syawal, ba'da maghribhya, namun paling afdhalnya : dari masjid langsung ke tempat sholat ied..



Dan dengan postingan ini, saya juga mau bilang kalo saya bakal ngilang selama sebulan. Hiatus, or whatsoever the name lah. Selamat menjalankan ibadah Ramadhan. Semoga kita semua bisa lebih baik lagi kedepannya :-)


Penataran Seputar Ramadhan Kab.Sidrap, Sulawesi Selatan #2

Materi 2
Ust. Yusran Anshar, LC

"Menata Hati untuk Syurga yang Tertinggi"

MUQADDIMAH
Persoalan ramadhan adalah persoalan ketaqwaan, untuk mencapai keridhaan Allah pun juga harus adanya ketaqwaan.. sehingga, kesibukan menjelang ramadhan yang tidak ada sangkut pautnya dengan ketaqwaan haruslah dihindari,, contoh yang menyita banyak perhatian adalah pilpres dan piala dunia..

Di kampung akhirat, yang diandalkan seseorang adalah "qalbin salim", yaitu orang2 yang menjaga kebersihan hatinya, yang dengannya derajat seseorang akan diangkat setinggi2nya sampai menggapai jannatu firdaus.. 

FIQIH PUASA

Definisi : 
Makna : menahan diri
Istilah : Puasa adalah menahan diri dari makan, minum, jima' dan hal2 yang membatalkannya mulai dari sejak terbitnya fajar shadiq, hingga terbenam matahari disertai dengan niat.

Hal2 yang awalnya di halal kan dalam bulan ramadhan, kemudian diharamkan menunjukkan bahwa hal2 yang makruh terlebih2 lagi hal2 yang memang diharamkan maka keharamannya lebih berat lagi

Hukum puasa 
Adalah wajib, dan bukan hanya wajib

Al-Baqarah:183 - Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

Memulai puasa
Mulailah berpuasa dengan rukyatul hilal (setelah dilihatnya hilal)

Siapa yang wajib berpuasa 
1. Muslim
Bahkan orang2 yang melakukan kesyirikan dan juga orang2 yang tidak melakukan shalat maka sebagian ulama mengatakan tidak sahnya mereka untu, berpuasa. Namun jika ada yangingin berpuasa maka jangandihalangi, karena ini adalah tanda 2 kebaikan. Cukup qt ingatkan agar puasa mereka sempurna maka harus shalat

2. Baligh, tanda2nya slah satu dibawah ini
- kumis,
- mimpi basahan
- haidh (bagi wanita)
Rasulullah mengajarkan puasa untuk anak2 mereka (shahabat) meski mereka belum baligh, sama halnya saat mengajarkan mereka sholat (jika berusia 10 thn, maka anak2 boleh dipukul jika tidak shalat )

3. Aqil, Berakal

4. Muqim
Tidak melakukan perjalanan... bagi orang yang melakukan perjalanan maka bagi dia pilihan, apakah mau Berpuasa ataukah berbuka, rasulullah telah memberikan contoh, beliau kadang berpuasa dan kadang tidak bepuasa, dan kadang pula memberikan pujian pada orang yang tetap berpuasa

5. Mumayyis

6. Tidak haid dan nifas

7. Niat
Persoalan dalam hati, tidak dilafadzkan meski di dalam hati... niat nya ikhlas.. .


Hal yang membatalkan puasa :
- jima' 
- makan dan minum secara sengaja
- memasukkan makan dan minum kedalam perut
Memasukkan makanan tidak sampai ke dalam kerongkongan maka tidak membatalkan puasa..
- keluar mani saat terjaga
Bila tidak terjaga, saat tidur mimpi basah, maka tidak membatalkan puasa.
keluar madzi, tidak membatalkan puasa
- muntah yang disengaja
- haid dan nifas
- murtad 

Tidak membatalkan puasa :
- waktu fajar telah masuk dan masih dalam keadaan junub
- bersiwak ketika berpuasa.
" jika saya tidak memberatkan ummat ku, maka akan kuwajibkan bersiwak setiap hendak shalat"
- berkumur2 dan memasukkan air kedalam hidung
- berhubungan dengan istri namun tidak sampai berjima'
- berbekam dan donor darah : 
tidak mengapa, namun dikhawatirkan lemah, dan menjadi makruh jika dia lemah,,, daan bisa menjadi batal jika kelemahan itu membuatnya berbuka, dan orang yang membekam juga batal krn orang yang membekam adalah penyebab
- makanan yang tidak masuk ke kerongkongan..
Sekedar mencicipi, 
- bercelak dan tetes mata.
- mandi dengan menyiram kepala dengan air di siang hari
- menelan dahak
- menelan sesuatu yang sulit dihindari (misalnya darah akibat luka dalam mulut)

Orang2 yang dibolehkan untuk berbuka
- orang sakit yang berbahaya baginya jika berpuasa dan orang yang berpergian.
- wanita haid dan nifas
- wanita hamil dan menyusui, membayar fidhyah, jika sanggup berpuasa maka bisa di qadha'
- orang tua baik perempuan maupun laki2 yang tidak mampu lagi untuk berpuasa. Baginya cukup membayar fidhyah..

Puasa yang sempurna
- menjaga diri dari hal2 yang membatalkan : menggunjing, namimah dll
- memaksimalkan ibadah.
Rasulullah bersabda: "Sholatlah seakan2 sholat mu yang terakhir" 
agar qt mempersembahkan sholat qt yang terbaik.. seperti itu pula dengan puasa, maka persembahkanlah puasa ini puasa terbaik, karena bisa jadi puasa ini adalah puasa yang terakhir buat qt..