Kenangan, dalam Benak Seorang Perempuan


Ada jejak yang kau tinggalkan kuat di sini: dalam ingatanku. 
Hingga apa yang kurasa selalu saja: tentangmu.
 

Aku berada di sebuah tempat yang sangat gelap. Aku menengadah. Tepat di atasku, bintang-bintang bertaburan tanpa penghalang apapun. 

Tanganku... Aku merasa ada yang sedang menggenggam tanganku. Aku menoleh, dan mendapati Kenang sedang tersenyum manis padaku. Ia menggenggam tanganku. Aku tersenyum padanya.

Kami berjalan beriringan masih sambil bergandengan tangan. Angin bertiup memainkan rambut Kenang yang lurus dan panjang. Aku tersenyum menikmati pemandangan indah ini. Langit bertabur bintang dan angin memainkan rambut indah Kenang, adalah sebuah pemandangan yang sempurna. 

Lalu, aku dikejutkan dengan angin yang tiba-tiba bertiup sangat kencang. Aku menengok ke arah Kenang, tapi rambut Kenang yang tertiup angin menghalangi pandanganku. Aku menutup mata, berusaha menghalangi debu dan daun agar tak masuk ke mataku. Terpejam, kudengar suara angin semakin kuat. Aku bergulat melawan angin yang seolah hendak menerbangkanku. Kakiku mulai terseret selangkah demi selangkah. Saat aku berusaha untuk berpegang pada sesuatu agar tak terseret lebih jauh, angin tiba-tiba berhenti. Suara ribut tadi berhenti. Semua sunyi kembali. 

Aku membuka mata dan menengadah ke atas. Sudah tak ada lagi bintang di langit. aku mengedarkan pandangan, melihat sekeliling yang telah berubah menjadi terang. Baru kusadari indahnya pemandangan di sekeliling. Begitu hijau dan menyenangkan. Aku tersenyum dan menoleh ke arah Kenang. Tapi betapa terkejutnya aku... Kenang sudah tak ada lagi di sampingku. Sebelah tanganku hanya menggenggam udara. Kosong.

Kenang... Dimana Kenang? 

Aku berlari sambil memanggil-manggil namanya. Aku terus berlari. Jalan yang kususuri ini panjang sekali. Tapi aku tetap saja terus berlari. Aku tak ingin kehilangan Kenang. Aku harus menemukannya kembali. Ah, kenapa tak kugenggam erat tangannya tadi? Atau kudekap saja ia erat-erat? Ah, sungguh bodohnya diriku.

Dengan napas tersengal, aku sampai di sebuah tempat dengan kerumunan orang. Aku berusaha mencari kenang di lautan manusia. Ah, itu dia. Tak jauh dariku, seseorang berdiri membelakangiku. Rambutnya lurus dan panjang, sama seperti Kenang. Aku tersenyum dan menyentuh pundaknya. Ia menoleh dan aku harus menelan kekecewaan. Dia bukan Kenang.

Aku kembali mengitari orang-orang yang sedang berkerumun, berusaha menemukan Kenang. Namun, berkali-kali aku mendapati seseorang yang dari belakang tampak seperti Kenang, tapi ternyata ia bukan Kenang. Aku mulai panik. Dan aku ketakutan. 

"KENANG..." Aku berteriak memanggil namanya. 

"KENANGA..." Aku terus saja memanggil namanya sampai suaraku habis dan tak bisa lagi memanggil namanya.

* * *

Pada akhirnya, aku berpisah dengan Kenang begitu saja. Tanpa banyak kata. Hanya pengertian masing-masing atas takdir yang telah terjadi. Dari awal, memang aku yang salah. Aku yang pengecut. Aku yang bodoh. Sampai akhirnya, aku harus mengakui bahwa aku yang sedari awal tak berusaha. 

Jadi, ini yang disebut takdir? Aku mungkin egois dengan berpikir bahwa Kenang akan bersama denganku suatu saat. Jadi kubiarkan Kenang terus hidup dalam bayangan. Aku dengan bebas berkali-kali menemuinya dalam mimpiku. Tapi, pada akhirnya aku menyadari. Yang tertinggal hanyalah kerinduan. Tentang sebuah Kenangan.