His Wedding


Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a baina kuma fii khoir

Ini harinya. Dimas nikah. Setelah akad, yang pertama ngecup pipinya dan ngucapin doa diatas adalah saya. Keluargaku yang lain baru ngikut2 setelah saya melakukannya.

Haru, seneng. Hari ini, sedikitnya (sekali lagi) saya merasa perasaan menjadi 'dewasa' itu seperti ini. Setelah kemarin nyari kado yang 'nggak biasa' buat saya untuk mereka. Saya, baru kali ini menghadiri pernikahan keluarga saya. Baru tahu bagaimana rasanya. Haha

Kedepannya, mungkin dimas udah bakal susah diseret2 dalam kehidupanku yang egois. Dia udah nggak single lagi. Udah susah buat saya bilang, "Dim, anterin ke Malahayati sih", atau "Dim, jemput di depan Chandra yaa". Ya, memang sudah waktunya. Jadi, saya mencoba ikhlas saja.

Selamat berbahagia buat Dimas dan Fini. Semoga jadi keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.

P.S: Saya minat banget sama hiasan melati di kepala pengantin perempuannya. Udah saya booking untuk saya bawa pulang. Bunga asli loh... mau saya tebar di kasur saya. Ahahahaha

Nothing Special on 25 Desember


Saya tergelitik ketika membaca sebuah twitpic yang diretweet oleh teman saya. Tentang event hari ini, tanggal ini. Sebenarnya, sejak pagi timeline saya penuh dengan bahasan tentang kontroversi terlarangnya ucapan untuk hari ini. Banyak sekali yang ngetwit pro dan kontra. Saya, nggak ambil pusing dengan itu semua. Buat saya, nggak ada yang spesial dengan hari ini. It's just tanggal merah yang berarti libur seperti liburnya hari buruh. Sedemikian saya nggak bergeming dengan euforia hari buruh, saya pun nggak bergeming dengan euforia tanggal 25.

Kembali ke twitpic tadi, saya merasa lucu saja. Twitpic itu milik orang yang nggak saya kenal, yang saya nggak tahu dia muslim atau bukan_ yang isinya dia tujukan kepada muslim yang masih bingung dengan boleh tidaknya mengucapkan. Dia mengajak orang muslim untuk melihat event 25 ini sebagai sebuah hal yang menggembirakan dengan ornamen pohon yang dihias-hias, makan bareng2, senyum dimana-mana. Kurang lebih seperti itulah. Jadi, dia mengharap para muslim bisa mengucapkan kalau para muslim bahagia sebagaimana bahagianya orang kristiani di tanggal 25.

Saya merasa lucu saja dengan pernyataan itu. Kalau dia seorang kristiani, kenapa mesti pusing dengan tidak adanya muslim yang mengucapkan selamat padanya? I mean, that's yours, not us. Kita semua melek kan kalau muslim, kristiani, budha, hindu, meski sama2 manusia, sama2 orang Indonesia, tapi kita punya perbedaan. Muslim menyembah Allah. Kristiani punya Jesus, Budha dan Hindu dengan  banyaknya dewa dewi. Itu jelas2 sebuah perbedaan yang nggak bisa disangkal. Jadi, kenapa kita nggak bisa menghargai perbedaan dengan nggak meminta agar kita jadi sama? Selama nggak ada muslim yang memasang bom di gereja, atau tetangga muslim yang meneror rumahmu ketika kamu nyanyi malam kudus, kamu bebas berbahagia dengan keluarga dan teman2 kristianimu di event 25. That's nothing to do with moslem, right? Karena 25 desember adalah event spesial agamamu.

Kalau si empunya twitpic itu adalah seorang muslim, saya ingin bertanya haruskah kita berpura-pura bahagia untuk hal yang nggak ada kaitannya sama kita? I mean, kenapa kita selalu memaksakan diri untuk menganggap spesial hal yang sebenarnya nggak spesial buat kita. Apa spesialnya tanggal 25 buat seorang muslim? Apakah kita ikut ngehias2 pohon? Apakah kita ikut costplay baju merah menyala? Apakah kita nyanyi2 semalam suntuk dan ngegelar pesta makan besar? Jadi, apa maknanya 25 desember buat seorang muslim? Nggak ada kan? Dia cuma hari yang kebetulan libur. Jadi kita bisa bersantai di rumah, atau liburan bareng keluarga, tanpa perlu sirik atau resek sama tetangga kita yang rumahnya penuh lampu dan lonceng2. Tanpa perlu ngenganggu atau terlibat di event mereka.

Jadi, apa pentingnya ucapan ataupun mengucapkan? Jangan mengaburkan batasan toleransi. Unite itu untuk urusan kemanusiaan, untuk urusan duniawi. Kalau berbicara tentang agama, kita punya privasi yang harus dihargai. Kalau kita semua hendak sama dalam ibadah dan perayaan, jangan punya Tuhan yang berbeda. Kita cuma boleh punya 1 Tuhan yang sama. Tapi, kita nggak bisa kan? Maka, hargailah agama sendiri, lalu hargai kepercayaan orang lain.

Muka Dua


Selama ini, kita selalu nggak pernah (akan) suka dengan mereka yang bermuka dua. Di depan kita pasang muka manis, di belakang kita masamnya sampai seluruh dunia (kecuali kita sendiri) tahu kalau kita telah berlaku salah.

Saya, selalu bercita-cita untuk bisa marah ketika saya memang (sedang) marah. Tanpa memaksakan diri untuk tersenyum manis padahal di hati mendidih. Tapi, ternyata keadaan nggak memungkinkan saya bisa konsisten dengan hal itu. Ada saatnya, di dalam hati saya sedih dan marah, tapi saya justru nggak bisa berbuat apapun kecuali pasang wajah senyum. Pathetic banget ya saya. Haha

Lalu kalau dipikir2 lagi, sebenarnya nggak ada yang salah dengan tetap memasang wajah manis meski dalam hati menangis. Yang salah (adalah) ketika setelah itu kita mengeluarkan kemarahan kita sehingga seluruh dunia tahu kecuali dia (orang yang berbuat salah pada kita). Kalau begitu, kita justru jadi pelaku muka dua yang dibenci oleh seluruh umat manusia. Lah...

Jadi, saya membuat sebuah cita-cita baru: Kalau keadaan memaksa saya (tetap) memasang wajah manis padahal saya (sedang) marah sekali, saya hanya harus tetap menjadikannya rahasia. Hanya saya yang boleh tahu. Lalu, lakukan forgive dan forget setelah beberapa lama. Kelihatannya mudah, tapi.. semoga benar2 mudah dilaksanakan yah. Ahahahahahaha

Don't Make Me Down


Saya sudah lama berhenti merasa kalau dunia ini nggak adil. Tapi hari ini, saya merasakan kembali perasaan belasan tahun yang lalu. Kenapa saya diperlakukan nggak adil? Tapi satu hal yang pasti, this time i won't let you make me down. Saya bukan cewek cengeng kayak dulu lagi. Just watch me.
SAYA KUAT SEPERTI BERUANG TAUK!

Desember = Libur (?)


Desember itu... bulan libur. 6 bulan yang lalu, saya telah merencanakan untuk bisa berlibur ke Palembang di bulan Desember. Mengunjungi Nuari. Main ke Unsri. Maen ke jembatan ampera. Makan pempek asli palembang. Naik kereta dari Lampung ke Palembang bareng bokap. Tapi, ternyata rencana hanya tinggal rencana. Desember ini, saya justru harus bersiap ke Bekasi. Liburan di Desember ini dipenuhi dengan acara nikahannya Dimas (sepupuku). Seperti layaknya rencana yang terlewatkan di bulan November lalu: Ke Kiluan Dolphin batal. Bahkan, ke Klara pun nggak jadi. November saya diisi penuh dengan bedrest. Dan, alhamdulillah. Semua itu semakin membuat saya yakin kalau Allah lah yang maha berkehendak.

Qadarullah...

Tapi, meskipun begitu... saya nggak pernah berhenti menguntai harapan-harapan. Saya nggak pernah capek menyusun rencana-rencana. Dan berharap Allah menjadikannya nyata. Kalaupun tidak, Allah mengganti dengan yang lebih baik dari semua milik saya, yang membuat saya justru lebih bahagia. Jadi, semoga di tahun depan saya bisa benar2 pergi ke Palembang untuk bisa bertemu Nuari. Saya juga pengen  ke Batam, meski saya belum tahu siapa yang bisa saya temui disana. Kenapa Batam? Entahlah, hanya saja saya ingin bisa merasakan angin laut batam dan makan seafood disana. Semoga...

Wish List


1. Barang-barang yang saya pengen banget punya sebelum tahun berganti:

● giwang (anting model tindik) silver/emas putih
● jaket yang slim tapi tetep hangat
● payung lipat motif
● Tas selempang yang talinya panjang

2. Tempat yang pengen saya kunjungi di tahun 2014:

● Palembang
● Batam

3. Hal yang ingin saya lakukan awal tahun 2014:

● kembali menggambar dan menempelnya di dinding kamar sampai penuh
● ganti nomor kartu ponsel tanpa perlu konfirmasi sana-sini

Envy? Maybe just a lil bit


Tanggal 28 desember 2013, sepupuku ini bakalan nikah. Seisi rumah sibuk. Dia ini, cuma beda beberapa bulan aja usianya dariku. Dia bulan juni, saya november. Makanya, dia ini selalu dibilang saudara kembarku. Dari kecil udah ngikutin nyokapku terus. Sama nyokap juga, dia dimarahin kayak anaknya beneran. Padahal... ada nyokap aslinya yang adalah adik dari nyokapku.

Beda banget dariku, sepupuku ini orangnya introvert. Susah mengungkapkan perasaannya. Dan, dia ini tipikal pendendam. Makanya, sampe saya SMA, meskipun kami bertahun2 bareng, kami ini nggak dekat. Saya nggak suka dengan sifatnya yang pendendam dan introvert. Dia, nggak menyukaiku karena (katanya) saya sering show up dan suka mendominasi. Jadi, meskipun sekolah di tempat yang sama, kami nggak pernah pergi dan pulang bareng. Kami juga nggak pernah bertegur sapa ketika di sekolah.

Dan, saya pergi untuk waktu yang lama demi menimba ilmu di perguruan tinggi. 5 tahun. Kami lost contact. Ketika saya kembali, dia masih di tempatnya. Jadi lebih dewasa dari sebelumnya. Ketika saya tahu kalau dia saudara sesusuan, saya sering minta dibonceng dia kemana tujuan saya. Sepertinya, kami melakukan forgive and forget. Sedikit demi sedikit, jarak diantara kami mulai memuai. Kami jadi sedikit lebih akrab.

Yang saya tahu, dia orang yang baik. Meski sedikt rebel, tapi masih bisa dimaklumi karena dia cowok. Sama orang yg lebih tua dia sopan. Sama anak2, dia pintar ngemong. Sama yang seusianya, dia tipikal down to earth. Kekurangannya, ada lah beberapa poin yang nggak etis kalo saya sebut disini.

Dan, di usianya yg 25, dia berencana nikah di tanggal 28 bulan ini! Dan seperti tekadnya, dia nggak ingin membebani siapapun (terkait dana) ketika dia menikah, dia membuktikannya. Sepupuku ini, sudah jadi laki-laki beneran ternyata. Haha.

Lalu saya, apa kabar saya??? Saya juga 25 lah ya? Ahahahahahahahahahaha

Benci ABI


Setelah hari itu saya jadi benci mendengar nama "abi". Tiga hari yang sungguh terasa bodoh. Lelaki itu, bernama evan. Tapi karena memang dasar sayanya ini bodoh, saya salah kira dan memanggilnya kak abi. Padahal... Dasar bodoh!

# # #

"Tante, di istiqlal ada shelter busway nggak? Kalo dari sini transit berapa kali?"

"Hm, kayaknya sih ada deh halte busway di istiqlal. Tapi, tante juga nggak seberapa tahu. Udah sih, besok tante anterin kesananya. Tenang aja."

"Emang Tina nggak mau pake mobil tante?"

"Tina mana berani bawa? Yang ada juga tante yang nyupirin dia. Lagian, dia ntar sore terbang ke singapura kok."

"Beneran tante? Emang tante berani nyetir ke istiqlal?"

"Bisa sih. Tapi tante nggak tau jalannya. Jadi, besok ada sepupu yang nganterin kok. Udah, kamu tenang aja. Yang penting nyampe di istiqlal jam 8 pagi kan?"

Saya nyengir. Bahagia. Padahal saya udah menyiapkan diri untuk sedikit tersesat, tapi, syukurlah kalau saya diperlakukan bak putri. Hii hii.

# # #

"Denger-denger kamu lulusan HI juga ya?"

"Iya."

"Saya juga lulusan HI loh. HI Unpar. Tapi tahunnya udah tua. Hehe."

"Oh, iya ya kak."

"Sekarang, aktivitas kamu apa? Denger-denger katanya kamu ini pinter tapi nggak diijinin kerja sama orangtuamu ya?"

Saya cuma nyengir.

"Lulusan HI itu gampang-gampang susah. Jurusan yang terlalu luas cakupannya jadi kalo ngomongin lapangan kerja, ujung-ujungnya idealisme ngilang nggak tau kemana. Perhatiin deh, lulusan HI banyakan kerjanya dimana: Di Bank. Sementara idealismenya kemana?"

Saya cuma senyum. Dalam hati membenarkan.

"Padahal, sejujurnya kalo dipikir-pikir, worthless banget deh anak HI kerja di Bank. Tapi kalo mau ngejer kedubes apa deplu, malahan didominasi sama lulusan hukum. Jarang yang HI malah. Kamu dulu masuk HI karena apa?"

"Kenapa ya kak, hm, dulu masih lugu kak. Pilih HI karena keren. Karena HI dulu rasanya langka. Nggak kayak komunikasi apa akuntansi yang dimana-mana ada. Hehe." Nggak tahu kenapa, saya sejujur itu.

"Nah, see. Saya dulu juga gitu. Denger HI itu, kayaknya keren. Dulu masuk Unpar, kalo bilang kuliah jurusan HI, kayaknya beda banget. Keren gimana gitu. Tapi, setelah lulus, baru mikir, sekedar keren itu ternyata nggak cukup."

Dia tersenyum lalu melanjutkan, "Makanya, kalo di dunia kerja, yang dibutuhin adalah skill. Kamu punya skill, hayok lanjut. Kalo nggak punya skill, ya kamu tertinggal. Dan, sekarang coba pikir, kerja apa yang paling enak?"

Saya nggak nyambung sama omongannya. Saya garuk-garuk kepala. Nggak tahu mau ngomong apa, saya nyengir dan bilang, "Hm, apa ya... " masih sambil nyengir.

"Di dunia ini.... blaa blaa blaa." Saya mendengar angka statistik itu disebut-sebut lagi. Yang di dunia ini uang melimpah justru dipegang oleh manusia dengan statistik paling rendah, sementara mayoritas manusia berkutat pada pekerjaan dengan gaji kecil. Lalu, kurva yang pernah saya lihat di salah satu seminar itu pun membayang di depan mataku lagi. Tapi, saya masih saja duduk di kursi dan mendengar orang asing di depanku ini terus berbicara. Kenapa saya nggak pergi saja? Karena dia terus berbicara dan berbicara...

"Dan, kamu tahu nggak, lebih enak berbisnis dengan barang atau berbisnis dengan orang?"

Saya sebenernya capek, tapi entahlah, mungkin saya ngerasa nggak enak, mungkin saya menghormati tante si pemilik rumah, entahlah. Jadi saya tetep menjawab, "Hm, saya sih nggak bisa dagang kak. Jadi, saya lebih suka berurusan dengan orang daripada barang."

"That's right. Lebih enak dan mudah berurusan dengan orang ketimbang barang. Jadi, berbisnislah dengan orang jangan berbisnis dengan barang." Dia tersenyum.

Sebenarnya saya nggak mengerti dengan apa yang dia katakan. Tapi, demi kesopanan, saya mencoba tersenyum.

"Well, saya ada urusan bentar. Jadi saya pergi dulu ya. Makasih buat diskusi kita sore ini. Fiko, Abi pergi dulu ya.."

Fiko, anak tante si pemilik rumah cuma mengangguk. Sedetik kemudian dia berteriak, "Abi, besok kita jadi jalan-jalan kan yah?"

Lelaki itu menengok, sambil tersenyum dia melayangkan jempolnya. Lalu berlalu.

"Tante, dia itu siapa sih? Sepupunya tante?

"Hm, dia itu sepupuan sama iparnya tante."

"Oh, kerjanya apa tante?"

"Hm, kalo misalnya SCTV mau bikin mug atau jam itu dia yang ngurusin. Yah, semacam itu lah."

Tante seperti nggak yakin dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Tapi, sekali lagi, saya memang sedang bodoh saat itu.

# # #

"Vi, udah siap? Kamu dianter sampe istiqlal aja?"

"Iya tante. Janjian sama temen ketemu di halte istiqlal. Katanya pas depan pintu masuk istiqlal. Fiko ikut tante?"

"Iya. Ini kan masih jam 3 in 1. Jadi biar mobil penuh Fiko juga diajak aja."

"Trus, dari istiqlal tante mau kemana?"

"Paling ngajak Fiko jalan keliling-keliling. Udah yuk, mobilnya ada di depan.

"Fik, ayo ke mobil." Saya menuju parkiran. Disana sudah berdiri lelaki itu, sambil memegang lap yang sesekali digosokkan di kaca depan mobil. Ford merah itu kelihatan mentereng sekali.

Saya duduk di kursi belakang di samping Fiko. Anak kelas 3 SD itu kelihatan masih mengantuk. Saya melirik jam di hape. Masih jam 7. Lelaki itu sudah sigap di depan stir. Tante duduk di sebelahnya.

"Kita ke istiqlal kan ini?" Sambil fokus ke jalan, lelaki itu mengkonfirmasi ulang."

"Bi, tau halte istiqlal nggak? Katanya Novi minta turun disitu. Janjian sama temennya."

"Iya, katanya pas depan pintu masuk istiqlal."

"Istiqlal itu banyak pintu masuknya, Nov. Haltenya juga ada beberapa disana. Ntar kita puterin aja istiqlal ya. Kamu sambil sms temenmu."

Saya sigap dengan hape di tangan. Dan, ternyata cuma lima belas menitan saya udah nyampe di istiqlal. Dengan selamat. Saya mengucapkan terima kasih, lalu turun. Mengirim sms ke teman saya, lalu melihat-lihat sekeliling. Ford merah milik tante melaju keluar dari istiqlal. Saya takjub dengan masjid di depan saya. Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di area istiqlal.

# # #

"Fik, tadi jalan-jalan kemana aja? Kok jam segini udah pulang?"

"Keliling-keliling aja tadi si Abi. Diajakin mampir ke senayan, malah ke grand ambassador. Mobilnya tadi mau dipinjem sama Abi ke Bekasi."

"Oh. Emang kak Abi tinggal dimana fik?"

"Hah, siapa?"

"Kak Abi. Udah pulang?"

"Hah? Abi? Lagi ke Bekasi."

"Bawa mobil?"

"Ho oh."

# # #

"Tante, Novi pulang dulu ya. Makasih buat semuanya. Maafin kalo ada salah-salah ya tan."

"Ih, kayak apa aja sih kamu itu. Hati-hati di jalan ya. Sering-sering main kesini. Papi kamu udah sampe mana?"

"Udah sampe depan tante. Paling bentar lagi nyampe. Salam buat Tina ya tan. Maaf nggak sempet ketemu."

"Iya, maafin Tina ya. Dia terbang terus. Nggak tahu, di Garuda sesibuk itu ya. Hehe."

Nggak ada 5 menit, Papi datang. Saya sudah siap dengan ransel hijau kesayangan. Saya pamit sekali lagi. Tante dan Fiko mengantar sampai pintu. Saya dan Papi menuju mobil.

Saya memilih duduk di kursi belakang. Membayangkan akan menempuh perjalanan jauh, bikin badan pegal-pegal. Jadi saya mengantisipasi untuk bisa ngelurusin badan.

Kira-kira sepuluh menit kemudian, ponsel saya berbunyi. Dari nyokap.

"Assalamu'alaikum. Kenapa mom? Ini ade udah dijemput sama Papi. Udah mau pulang."

"Iya, hati-hati. Banyak2 berdoa. Tadi barusan tante telp mom. Ngaku semuanya. Jadi kamu disana ketemu sama Evan? Evan nginep disana?"

"Hah, Evan siapa mom? Kemaren sih emang ada orang tapi bukannya namanya Abi ya? Tante sama Fiko manggilnya Abi."

"Hah, jadi tante sama Fiko udah manggil Evan dengan Abi?  Astaghfirullah nikah aja belum. Ya udah lah, alhamdulillah kalo kamu kamu nggak tahu nggak apa-apa. Lebih bagus malah. Jadi nggak ngotorin hati kamu. Ya udah, banyak-banyak berdoa selama perjalanan ya. Hati-hati di jalan ya."

Saya nge-blank. Setelah mengucapkan salam saya menutup telp. Lalu, otak saya menyambung-nyambungkan peristiwa yang kemarin nggak terlihat oleh saya. Saya pernah mendengar nama Evan tersebut dalam percakapan nyokap dan tante. Evan, yang saya tahu adalah lelaki yang usianya jauh lebih muda dari tante, yang (katanya) nempel-nempel tante dan sering morotin uang tante. Dari beberapa kali yang saya dengar, nyokap sering menasehati tante untuk nggak terus-terusan berhubungan dengan Evan. Karena tiap kali tante mengadu Evan pinjam uang sekian, minta transfer sekian. Entahlah.

Tiba-tiba, air mata saya berebut keluar satu persatu. Di kursi belakang mobil, saya pura-pura berbaring. Saya berusaha menyembunyikan tangis dari Papi yang sedang serius menyetir. Entah kenapa, saya sedih sekali. Saya memikirkan tante, tina, dan fiko. Saya kasihan pada kehidupan mereka. Tapi, entahlah. Kenapa manusia bisa bodoh begitu? Entahlah. Saya benci memikirkannya.

Sejak hari itu, entah kenapa saya benci mendengar nama Abi. Entahlah. Saya merasa terganggu saja.

# # #

Flashback kejadian di pertengahan 2013 lalu. Hari ini, saya dengar tante si pemilik rumah bercerita kalau Evan sudah kabur entah kemana setelah mengantongi sekian rupiah. 'Kenapa tante nggak lapor polisi?' Tanya saya dalam hati. Itukah yang dinamakan cinta? Sungguh bodoh sekali.