Bertahanlah. Berjuanglah. Jangan Menyerah. Jangan Pernah Kalah




Untukmu yang harus berjuang dengan kehidupan…


Apa yang kau rasakan sekarang, kawan? Masih merasa bahwa hidupmu penuh dengan beban? Masih berjuang untuk menukar air mata dengan tawa? Tak apa… aku tahu, semua terasa berat bagimu. Aku pun begitu. Dia pun begitu. Percayalah. Setiap orang pasti memiliki masalah yang memberatkan. Tapi, bertahanlah. Berjuanglah. Jangan pernah kalah.

Kawan, Jika hatimu terasa sesak, menangislah. Menangislah sampai sesak di dadamu lenyap. Jangan biarkan sesak itu membunuhmu. Jika kau sudah berhenti menangis, maka kumpulkan kembali kekuatanmu untuk bangkit. Bertahanlah, kawan. Jangan menyerah. Jangan pernah kalah.

Jika beratnya bebanmu mengarahkanmu pada kematian yang direncanakan, maka berteriaklah. Jangan biarkan dirimu mati dalam kesedihan. Jangan relakan kematian mendatangimu sementara hidupmu masih menyedihkan. Kau berhak untuk bahagia. Kau harus tahu itu, kawan. Maka, berjuanglah untuk bahagia. Jangan mati sebelum kau berbahagia. Jangan pernah bunuh dirimu sendiri. Tanpa kau membunuh dirimu, kematian pasti akan mendatangimu. Tapi, pastikan bahwa kau harus meraih kebahagiaan sebelum kematian mendatangimu. Kawan, bertahanlah. Berjuanglah.

Kawan, lihatlah pada dirimu. Tanyakan pada dirimu, bentuk kebahagiaan apa yang kau inginkan? Kau harus mendapatkannya. Kebahagiaan itu bisa kau ciptakan. Bisa kau upayakan. Percayalah itu, kawan.

Kawan, lihatlah pada dirimu. Tanyakan pada hatimu. Apa beban yang paling berat dalam dirimu sehingga kebahagiaan itu tak menyapamu? Perpisahan orangtuamu? Minimnya uang jajanmu? Jebloknya nilai lapor milikmu? Menyebalkannya teman-temanmu? Kawan, kebahagiaan itu bias menyapamu jika kau mengabaikan semua itu. 

Kali ini biarkan aku mengatakan ini, kawan. Emang kenapa kalo orangtuamu bercerai?Bukan kau yang menikah dengan ibu atau ayahmu. Maka biarkan mereka urus beban mereka sendiri. Dan kau hanya perlu fokus pada hidupmu. Jangan biarkan perceraian orangtuamu ikut menghancurkanmu. Karena jika orangtuamu berpisah agar mereka bahagia, maka kau pun juga memiliki hak untuk bahagia. Maka, carilah kebahagiaanmu sendiri. Dan, bahagia itu bukan dengan menghancurkan dirimu sendiri. Bukan dengan mencoba barang-barang haram yang akan merusak tubuhmu. Bukan dengan menjual dirimu pada om/tante genit atau ikut kehidupan malam yang justru merusak otakmu. Carilah kebahagiaan dengan hal yang bisa kau banggakan di hadapan orangtuamu yang egois. Raihlah prestasi di sekolahmu. Kejar cita-citamu yang telah kau bangun. Bersenang-senanglah dengan temanmu, nikmati masa mudamu dengan mengunjungi tempat-tempat yang menarik. Kesuksesanmu di masa depan adalah pembalasan dendam yang paling indah untuk perceraian orang tuamu. Ingat kawan, kau pun berhak untuk bahagia. 

Tak usah bersedih dengan terbatasnya uang jajanmu, kawan. Kekayaan tak menjamin kebahagiaan. Beasiswa diberikan kepada mereka yang kekurangan, bukan? Maka, ambil hakmu. Kemiskinan bukan sesuatu yang memalukan. Tak perlu terlalu bersedih, kawan. Anak-anak manja yang hanya tahu cara menghabiskan uang orang tua mereka, apa kau ingin seperti itu? Apa kau tak ingin dikenal sebagai orang yang meraih kesuksesan dengan jerih payahmu? Nikmati prosesnya dari bawah kawan. Sehingga kelak jika kau sampai diatas, ada yang bisa kau ceritakan untuk anak cucumu. Yang tidak dimiliki orang-orang kaya itu: Perjuangan.

 Kawan, jika teman-temanmu resek dan kau di-bully terus-terusan, maka kalahkan mereka dengan pertahanan. Orang resek dan pem-bully ingin melihatmu lemah dan menyerah. Maka, jangan pernah lakukan apa yang mereka inginkan. Kau harus menang. Buat mereka yang menyerah dan kalah. Alihkan pikiranmu dengan hal-hal yang menyenangkan. Atau pada hal-hal yang lebih memberatkan. Fisika, matematika, kimia, adakah yang lebih berat dari ketiga pelajaran itu? Lebih berat mana antara menghadapi bullying dengan menghadapi soal fisika dan matematika?
Kawan, jika kau merasa bebanmu begitu berat, maka sudah saatnya kau meletakkan bebanmu satu persatu. Mulai dengan berusaha merubah hal yang menyedihkan menjadi sesuatu yang lucu. Atau lakukan forgive and forget.

Kawan, apakah kau masih menangis jika bercerita tentang perceraian orangtuamu? Apakah hatimu masih terasa sesak jika kau teringat dengan perpisahan orangtuamu? Kenapa tak kau setel otakmu untuk melihat peristiwa perceraian orangtuamu dari sudut pandang yang lucu? Kalau kau tak bisa memaafkan orang tuamu yang begitu egois, maka lupakan saja. Buat otakmu lupa dengan kesedihan yang diakibatkan oleh perpisahan orangtuamu. Tak mudah memang, kawan. Tapi berlatihlah.

Kawan, teman-teman yang resek dan suka mem-bully membuat kehidupan sekolahmu terasa seperti di neraka. Tapi, jadikan hal itu sebagai sesuatu yang lucu. Bertahanlah untuk 3 tahun. Sambil menyiapkan pembalasan dengan prestasimu. Buat mereka malu dengan prestasimu yang meroket. Kelak, jika kau sukses kau bisa melempar muka mereka dengan kenangan tentang jahatnya mereka dulu padamu. Betapa mereka akan malu dengan kejahatan mereka padamu.

Kawan, bertahanlah. Berjuanglah. Kebahagiaan itu ada padamu. Ia tersimpan di hatimu. Kau hanya harus berkompromi dengan hatimu. Ganti kesedihan di hatimu dengan kebahagiaan. Kau berhak untuk itu.

Kawan, percayalah… telah ada mereka yang sudah bisa melewati masa yang saat ini sedang kau hadapi. Maka kau pun bisa melewatinya. 

Kawan, bertahanlah. Berjuanglah. Jangan pernah menyerah. Jangan pernah kalah.


Dariku, yang ingin agar kau bahagia.


Selalu Seperti Itu...


Setiap kali ada yang ingin saya tuliskan di blog ini -yang biasanya adalah tentang gundah dan disoriented of me, dan lalu sebelum nge-klik new entry, malah justru blog walking pada postingan-postingan yang muncul di daftar bacaan, dan akhirnya justru urung menuliskan. Segala gundah dan disorientasi yang tadi membuat penat seketika  menghilang.

Dan saya bersyukur dengan itu. Setidaknya, saya terlepas dari satu kesalahan yang selalu berulang. Keluh. Mengeluh. Mengaduh.

Well, jangan cuma katakan pada orang yang kau ajak bicara, haps. Tapi katakan juga pada dirimu sendiri: "Baik-baik, ya haps!" Supaya kau ingat untuk menjaga dirimu agar tetap berada dalam kondisi baik.

Haps, semangat ih. Jangan kayak orang tua. Tunjukkan pada dunia kalo kamu masih muda. Semangat kamu mana????







Sentimentil


Sore ini saya sedikit sentimen. Saat pulang, entah karena saya capek, atau memang karena cuaca begitu panas, saya merasa begitu peluh. Angkot yang saya tumpangi panasnya minta ampun. Penuh sesak. Ditambah lagi ban kiri belakang mobil kempes. Mobil berhenti dulu untuk isi angin. Betapa kayak di'oven' kondisi dalam angkot tadi. Karena suasana yang penuh, saya agak sedikit kepayahan. Gamis saya panjang dan lebar. Saya bawa tas sekaligus tentengan (saya beli roti tawar untuk bekal keponakan saya di salah satu toko roti). Dan angkot benar-benar dalam kondisi penuh sesak. Saya udah khawatir banget-banget. Saya berdo'a terus-terusan agar ada penumpang yang turun sebelum saya. Jadi saya nggak "rempong-rempong amat" saat turun. Ternyata, Allah nggak kabulkan doa saya. Sayalah penumpang yang pertama turun.

Saya biasanya nggak memilih melalui jalan yang dalam (ditempat saya dikenal dengan sebutan "bambu"). Saya biasanya memilih berjalan kaki melalui jalan besar (disebut "perintis"). Tapi karena pertimbangan "rempong" tadi, saya nggak mau menyusahkan banyak orang sehingga memilih berhenti di "bambu" (berhenti di perintis agak menyulitkan orang lain karena kondisinya adalah tempat memutar kendaraan dari arah berlawanan). Akhirnya saya berjalan kaki melalui jalan dalam.

Nggak berapa lama saya jalan, saya bertemu dengan Yudi. Seorang yang maaf, agak berbeda dari orang pada umumnya. Dia memiliki keterbelakangan mental. Sulit berbicara, saraf pada mulutnya agak bermasalah, dan kakinya pun agak kecil dan bengkok. Sebagaimana yang diajarkan ibu saya, kalau bertemu dengan Yudi saya selalu merogoh uang yang bisa saya temukan untuk diberikan padanya. Uniknya, Yudi ini sangat suka jalan-jalan. Ia akan terus berjalan dan kemudian pulang. Ia bukan peminta-minta. Keluarganya pun nggak tergolong miskin meski bukan pula orang kaya.

Begitu melihat Yudi, saya langsung merogoh uang yang ada ditas saya. Dan saya cuma menemukan Rp 2000,- karena saya nggak sempat buka-buka dompet saya. Ketika Yudi berlalu, sebelum berbelok saya memperhatikan Yudi dari belakang. Dan lalu saya menyesal. Kenapa cuma Rp 2000,- yang saya keluarkan? kenapa bukan Rp 5.000,-? Padahal di dompet saya ada uang Rp 10.000,- bahkan Rp 50.000,- pun ada?!! Lalu saya menyesal. Saya menyesal. Saya berdiri agak lama memperhatikan punggung Yudi yang semakin menjauh. Jalannya sudah agak kesulitan karena kondisi kakinya yang kecil dan bengkok. Tangan kirinya pun tak seperti tangan kannya yang normal. Tapi, saat saya beri uang tadi, saya lihat wajahnya yang bahagia. Dengan ketidaknormalannya, Yudi pun bisa merasa bahagia.

Ketika saya meneruskan langkah untuk pulang, tiba-tiba mata saya terasa panas. Sebelum jatuh, saya menghapus airmata cepat-cepat. Saya nggak ingin ada adegan drama, dimana orang-orang yang saya lewati bertanya kenapa saya menangis. Tapi, air mata saya tampaknya cukup banyak volumenya. Karena ia masih tak mau berhenti meski sudah sekitar 25-an langkah saya lewati. Tapi, saya sedikit bisa meredam sentimen saya ketika 4 orang anak kecil murid TPQ saya yang baru pulang ngaji datang mengampiri saya untuk bersalaman.

Baru sebentar saya keluar dari sentimen saya (sekitar 25-an langkah berikutnya), saya bertemu dengan ibu dari salah satu murid TPQ saya yang sedang mengorek-ngorek tempat sampah tetangganya yang kaya raya. Dia menyapa saya sambil meneruskan aktivitasnya. Saya nggak berpikir apa-apa sebenarnya, ketika melewatinya dan balas membalas sapaannya. Tapi Ibu itu justru berkata pada saya menjelaskan, "Lagi ngambil sisa nasi untuk makan ayam, bu."

Setelah mendengar perkataan itu, sentimen saya muncul lagi. Saya kembali menangis. Sore ini saya sentimentil. Padahal, saya nggak bertanya pada Ibu itu. Ia pun tak perlu menjelaskan apa-apa pada saya. Tapi, ketika mengatakan itu, Ibu itu tak perlu malu. Bisa jadi ia bahagia dengan hidupnya. Dengan aktivitas memelihara ayamnya.

Lalu saya bertanya pada diri saya, 

"apa yang masih membuatmu tidak bahagia, haps???"

"apa yang masih kau keluhkan dari hidupmu, haps???"

"apa  yang masih membuatmu tidak bersyukur, haps???"

Bahkan ketika saya me-recall kejadian sore tadi, saya masih tidak bisa menahan air mata saya untuk tidak jatuh.

Ya Allah, jadikan saya sebagai hamba yang pandai bersyukur.







__________________________________

Alhamdulillah-nya, ketika saya menangis di sepanjang jalan tadi tak ada orang yang melihat. Saya melewati rumah orang-orang yang pagarnya tinggi-tinggi. Mereka tak punya waktu untuk mengetahui apa yang terjadi di luar pintu pagar mereka.