My Phobia?

Phobia.
Only a few people in the world, my closest confidants, know this fact I am about to publicly declare. It is not something I am proud of and it is a downfall I must work on daily. I can handle a lot of gross things, disgusting bathrooms, cleaning out the cat box, hearing from my mother about how I was conceived.  But there is one thing I just can't deal with.


Socks. Yup, those nasty things on your feet.
by:  Elizabeth (aka Ellie Teacha!)

Habis baca tulisan di blog One day I'll fly away, saya trus mengingat-ingat, begitu banyak phobia saya. Tidak seperti penulis blog tersebut yang punya phobi sama kaos kaki. Phobia saya lebih kepada hal-hal "wajar". Saya phobia pada malam. Rasanya saya merasa takut, tidak aman, jantung deg-degan, kepala dipenuhi dengan paranoid. Sehingga, saya lebih memilih untuk tidak berada di luar ketika malam datang. Phobia yang lain, saya Phobia dengan kamar mandi yang tidak berlampu; Lift; jalan di sekitar semak belukar; jembatan layang; angsa; dan beberapa hal memalukan lainnya.

Entahlah, kalau dipikir-pikir, kenapa harus phobia coba. Tapi, kalau sudah sampai pada masanya, saya seperti kehilangan keseimbangan dan terjatuh pada phobia yang saya tidak bisa lawan.  

Hanya Sebuah Kritikan

Membaca sebuah tulisan dalam newsletter edisi May 2011 yang diterbitkan oleh Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Unhas (UKPM-UH) membuat saya mengerutkan kening. Entah karena kehabisan bahan berita yang in untuk disuguhkan kepada pembaca atau sekedar mencari sensasi agar tulisan “laku”, redaksi Catatan Kaki malah menampilkan bahasan yang kurang imbang dengan kemampuan menulis mereka. Hasilnya, tulisan mereka malah memperlihatkan ketidakprofesionalan mereka sebagai “calon” jurnalis masa depan.

Pada newsletter tersebut, redaksi Catatan Kaki mengambil bahasan tentang Front Pembela Islam (FPI). Tulisan sebanyak empat halaman penuh ditambah dua halaman pengantar redaksi dan satu halaman terakhir berisi testimoni tentang FPI. Entah sengaja atau tidak, redaksi Catatan Kaki mengambil tema agama yang sebagaimana diketahui, bagi sebagian orang merupakan hal yang sensitif untuk diperbincangkan.

Tak ada yang salah sebenarnya ketika sebuah media menampilkan berita yang menyangkut sebuah agama. Keterbukaan rezim sejak reformasi bergulir memberikan ruang kebebasan yang sebesar-besarnya bagi pers dalam mengemukakan berita. Pun ketika itu menyangkut tentang agama. Permasalahan yang terjadi adalah, ketika bahasan yang bagus tidak diimbangi dengan kemampuan mengolah berita dengan baik. Sehingga tulisan menjadi kurang bermutu.

Mengutip tulisan dari Luwi Ishwara, wartawan senior Kompas dalam bukunya Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar:
“Pers memainkan berbagai peranan dalam masyarakat. Bernard C. Cohen dalam Advanced Newsgathering karangan Bryce T. McIntyre menyebutkan bahwa beberapa peran yang umum dijalankan pers diantaranya sebagai pelapor (informer). Di sini pers bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka.”

Redaksi Catatan Kaki telah mengerti bahwa tugas mereka adalah melaporkan peristiwa kepada masyarakat. Karenanya, mereka berani untuk membuat sebuah tulisan yang akan dibaca oleh orang banyak. Mereka juga tahu betul bahwa mereka memiliki peran lain sebagai interpreter yang memberikan penafsiran atau arti pada suatu peristiwa, sehingga selain melaporkan mereka juga menambahkan bahan dalam menjelaskan arti berupa analisis berita. Namun, nampaknya mereka lupa bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menjaga netralitas dalam mengusung kebenaran. Hasilnya, tulisan mereka dengan nyata memiliki keberpihakan pada satu sudut pandang.

Tak dapat dinafikan jika dogma jurnalistik mengatakan bahwa objektifitas adalah jalan satu-satunya menuju kebenaran dan realitas. Objektifitas adalah melihat dunia seperti apa adanya, bukan bagaimana yang anda harapkan semestinya (objectivity is seeing the world as it is, not how you wish it were). Sudah semestinya bahwa wartawan dalam pekerjaannya kemudian melihat unsure adil (fairness) sebagai prinsip yang penting.  

Sungguh disayangkan, jika “tunas” yang tumbuh dari pekarangan UKPM-UH memiliki cara berfikir yang sempit. Padahal, “tunas-tunas” inilah yang kemudian diharapkan mampu untuk mengusung kebenaran melalui dunia jurnalisme yang akan terjun pada ranah yang lebih luas dari sekedar kampus.     

My Reading

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah buku. Saya lupa apa judul pastinya. Karena saya juga tak terlalu memperhatikannya. Kalau saya tidak salah ingat ada unsur “empire” pada judul tersebut. Isinya tentang sejarah pemerintahan Cina. Pengambarannya cukup menarik. Terbukti saya betah membaca buku setebal 680-an halaman dalam satu kali duduk. Padahal, saya bukan orang yang akan dengan rela menghabiskan buku setebal itu jika tidak benar-benar mampu menyihir saya.

Saya memang sedikit tergila-gila dengan sejarah. Khususnya jika bercerita tentang sebuah konflik yang dipenuhi dengan intrik. Saya seakan berada dalam kejadian tersebut. Buku tersebut menceritakan sejarah Cina pada sebuah masa yang uniknya dipandang dari sudut pandang seorang wanita yang menjadi salah satu tokoh dalam buku tersebut.

Perjuangan, intrik, strategi, cara-cara licik, kejam, serta pengorbanan. Ada saja harga yang harus kita bayar demi mendapatkan keinginan kita. Itu satu pelajaran yang bisa saya ambil setelah membaca buku tersebut. Pelajaran lain, bagaimana peranan perempuan mampu untuk menopang bahkan sebuah pemerintahan (baca: Negara) yang hampir runtuh. Bukan dengan perempuan tersebut tampil sebagai pemimpin atau presiden yang memimpin, namun bagaimana ia mampu menjadi seorang penasehat yang baik untuk sang “pemimpin” (baca : suaminya) yang notabene adalah seorang pemimpin Negara.

Saya teringat sebuah pernyataan yang mengatakan, dari tangan perempuanlah lahir para laki-laki yang tangguh. Seorang laki-laki yang hebat pasti karena didukung oleh perempuan yang hebat. Entah itu ibu atau istrinya.

Saya sempet terperangah ketika saya menyadari bahwa saya telah duduk selama enam setengah jam asyik membaca buku tersebut. Bahkan, rasa kantuk yang harusnya menyerang saya seakan terlupakan untuk sejenak. Jam 2 dini hari saya masih menyiksa mata saya sendiri.

Pelajaran berikutnya adalah bahwa tak dapat diragukan Cina memang merupakan Negara besar yang memiliki power dan sejarah yang sungguh menarik. Cina adalah sebuah Negara yang kaya dengan sejarah dan kebudayaan. Setelah membca buku tersebut saya bahkan memiliki keinginan untuk bisa berkunjung ke Cina suatu saat nanti. (aamiin…)

Pelajaran lain adalah, politik memang sebuah hal yang sungguh menakutkan. Tak tahu siapa kawan siapa lawan. Kekuasaan memang mampu untuk merubah budak menjadi raja. Begitu juga sebaliknya. Dan harta serta kekayaan menjadi satu hal yang mampu merusak perdamaian.

Unhas by Rara


one day i lost mine

my important book has lost!


gambar tampak depan!

tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku)

Kemarin saya menyempatkan diri untuk makan coto. Sudah lama sekali rasanya saya tidak menyantap makanan kesukaan saya ini. Tapi, kali ini saya tidak sedang ingin membicarakan tentang coto dan bagaimana lezatnya coto. Kemarin, setelah makan coto (seorang diri, hiks) saya menunggu teman saya untuk pick me up. Karena dia memang sudah mengatakan bahwa mungkin saya akan memiliki waku 30 menit untuk menikmati masa menunggu saya, maka saya benar-benar tidak menyia-nyiakan waktu 30 menit untuk menikmatinya. Saya mencoba menikmati waktu jeda tersebut dengan membaca sebuah buku. (tapi saya juga bukan ingin bercerita tentang isi buku tersebut atau perjuangan memperoleh buku tersebut).

Oke, saya hendak bercerita yang sebenarnya. Ketika jam di hape saya memperlihatkan waktu bahwa saya telah menikmati buku tersebut dalam waktu 25 menit, saya terpaksa menarik mata dari buku dan melihat ke arah jalan. Mungkin saja teman saya itu bisa datang lebih cepat lima menit dari yang ia janjikan. Menengok ke kanan, ke kiri, tapi saya belum mendapati sosoknya di atas motor. Dan ketika kepala saya capek dipakai menengok ke kanan dan ke kiri, saya membiarkan kepala saya memandang lurus ke depan. Saat itulah mata saya menangkap sebuah reklame yang isinya sebuah iklan properties. Awalnya nggak tertarik, tapi karena memang saya hobi membaca dan saat itu I’d still have time to waste, iseng-iseng saya baca seluruh tulisan di reklame tersebut.

Biasa saja isinya, sama seperti iklan properties lain yang membanggakan kenyamanan, letak yang strategis, dan harga (cicilan) yang miring. Namun, ada yang menarik perhatian saya kemudian. Yaitu tanda bintang. (kok tanda bintang sih? >0<) Iya, tanda bintang yang diletakkan setelah promosi hebat yang ditawarkan. Sebagai tanda bahwa syarat dan ketentuan berlaku. masih belum ngeh tanda bintang yang mana, yuk ngintip contoh gambar di bawah ini:


Yang saya maksud adalah tanda bintang yang kecil banget setelah angka Rp. 35. Mungkin kebanyakan orang tidak terlalu memperhatikannya, tapi saya tidak. Saya senyum-senyum sendiri di pinggir jalan saat itu (kayak orang gila ++). Saya teringat sebuah tulisan dalam blog yang pernah saya baca. Tentang tanda bintang yang menunjukkan syarat dan ketentuan berlaku. Sebuah blog milik seorang mahasiswa kedokteran (itu info yang saya dapat dari tulisannya) yang mungkin sekarang pemilik blog itu sudah menjadi pak dokter (whatever). Yang jelas, blog yang sudah lama sekali saya baca yang pada akhirnya merubah paradigma saya tentang tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku).

Awalnya, saya benci sekali melihat tanda bintang yang selalu muncul pada setiap promosi yang ditawarkan. “Apaan sih ni, promosi kok pake syarat. Bukan promosi kali. Nggak berani total. Dasar, produsen nggak mau rugi!” tapi, setelah saya membaca tulisan pak dokter pada blog tersebut, pikiran saya sedikit terbuka. Pada akhirnya paradigma saya berubah dalam menilai tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku). Terkadang memang ada hal-hal yang harus menggunakan tanda bintang. Dan pak dokter itu memberikan contoh paling konkret yang bisa bahkan harus menerapkan tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku). Yaitu pada ibadah/amalan seseorang. Dalam hal ibadah, amalan kita akan diterima dengan tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku) : bahwa kita harus IKHLAS, dan MENCONTOHI RASULULLAH. Jadi, tidak begitu saja bisa diterima ibadah/amalan seseorang tanpa mengikuti tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku) tersebut.

Mungkin masih banyak hal yang memerlukan tanda bintang (syarat dan ketentuan berlaku). Jadi, sabarlah dan tidak usah mencemooh dulu ketika melihat itu di selebaran atau pada kehidupan nyata kita. Renungkan saja dulu. Cari hikmahnya.

Dan setelah menunggu selama 30 menit, membaca beberapa lembar buku, mengamati iklan properties, mengingat tulisan pak dokter dan senyum-senyum sendiri di pinggir jalan, akhirnya teman saya datang juga.

consider, it's me...

Saya gampang banget marah. Kayak orang yang lagi kena sindrom pre-M aja. Ngebetein banget jadinya buat orang lain. Maunya sih nggak marah, tapi lost control lagi…. Yang ada, nyesel deh di akhirnya. Orang mau maafin juga mikir-mikir dulu. Mungkin dia mikirnya sih gini: “Ni orang bener-bener nggak tahu malu banget. Udah meledak kayak kompor rusak, nyemprot orang seenaknya, eh gampang banget minta dimaafin gitu aja. Orang juga kalo habis kena semprot pake basah dulu kali. Nggak langsung kering.” Gitu kali ya…. Huff,

Ya, selalu aja endingnya I blame myself. Saya juga kadang nggak ngerti kenapa kita (means: saya) seringnya nggak bisa ngendaliin diri. Padahal otak kita udah nge-set kalo kelakuan akan diupayakan tetep cool. Yang ada, tindakan malah kebalikan sama order dari otak. Well, perhaps ada yang salah ni sama otak saya. :P

Mudah-mudahan saya bisa belajar jadi dewasa. Dewasa nggak sekedar tahu banyak hal, tapi juga bisa mengerjakan banyak hal. Kalo nggak tahu dan nggak bisa apa-apa sih namanya anak-anak. Kalo sekedar tahu tapi nggak bisa ngelaksanain kan kayak anak remaja. ><

Saya juga ingin belajar menjadi orang yang kuat. Orang yang kuat nggak hanya sekedar punya badan kekar karna rajin nge-gym. Bukan juga orang yang dipukulin berkali-kali tetap nggak mati-mati (kayak jagoan di film-film action). Tapi saya ingin menjadi orang yang kuat, yang kuat untuk nggak marah, tetap menahan emosi dan nggak meledak-meledak lagi.