Tampilkan postingan dengan label uncategorized. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label uncategorized. Tampilkan semua postingan

Muhasabah 2017

Sebenarnya ada sangat banyak yang saya pelajari di tahun 2017. Generally, saya masih terus belajar tentang kehidupan. Kl di tahun2 sebelumnya saya berkutat dengan pelajaran berdamai dengan diri sendiri. Berkompromi dengan hati. Tapi tahun ini saya mungkin belajar selain berdamai dengan diri sendiri, juga berdamai dengan keadaan. Termasuk berdamai dengan orang lain.

Selain itu, saya masih terus mempelajari takdir dan bagaimana menyikapinya melalui nasehat2 Ibnul Qoyyim dalam buku Al fawaid : "Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi."

Pelajaran selanjutnya: MERUBAH MINDSET itu PENTING. Ini kerasa banget. Padahalnya, selama berpuluh2 tahun saya struggling dengan permasalahan2 yang sebenarnya saya tau ilmunya. Tapi sering stuck pada titik2 tertentu. Seolah2 saya berasa dalam tempurung. Baru kerasa banget setelah menganalisa orang terdekat saya yang saya perhatikan nggak bisa keluar dari tempurungnya. Padahal, I admire her so much. She's one of my role model, actually. Waktu kami punya waktu untuk sharing, saya keluarkan semua unek2 saya ke dia. Baru disitu dia dan saya tersadar bahwa solusi untuk keluar dari tempurung kami adalah dengan merubah mindset. Setelan pemikiran (mind set) kita akan menentukan bagaimana kita akan menjalani kehidupan ini.

Well, rasanya pelajaran2 hidup saya complicated banget ya. Nah, baru desember ini jg sy belajar tentang orang yang pemikirannya terhadap kehidupan cukup simpel. Nggak rumit. Nggak njlimet. Pokoknya opposite banget sama saya. Ada pelajaran berharga yang saya dapat dari dia. Bahwa simpel itu kadang dibutuhkan. Untuk membuat hidup terasa lebih mudah. Jadi saya belajar untuk slow down sedikit dalam menjalani kehidupan.

Pelajaran yang lain juga: Berusaha untuk bersemangat memberi manfaat kepada orang lain. Ini pelajaran yang saya nggak sangka banget dapatnya dari orang yang enggak banget. Sekelompok anak2 muda yang awalnya saya pandang sebelah mata. Hanya karena mereka bergerak di bidang yang jauh dari jangkauan saya, bukan berarti saya nggak bisa ambil pelajaran dari mereka. Complete package itu yang saya pelajari dari mereka: Hard work, passion, patience, and good attitude. Perkara niat mereka apa, itu bukan urusan saya. Tapi semangat mereka untuk memberi manfaat kepada orang banyak dengan 4 modal tadi benar2 pelajaran berharga buat saya.

Sebenarnya masih banyak banget pelajaran yang saya ambil di tahun ini. Dan pelajaran tiap tahun saya adalah: Belajar untuk terus bersyukur. Belajar nggak greedy. Belajar nggak fragile lagi.

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

Tulisan ini ada karena pertanyaan dari seorang teman yang juga hobi nulis: Siti Rahmadayanti.

Iradatullah


Dalam buku Al Fawaid, Ibnul Qayyim mengatakan, "Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi."

Dua hari yang lalu seorang teman mengirim pesan menggiurkan. Mengajak saya bepergian (travelling) dengan destinasi yang belum pernah saya datangi : ACEH. Dan dia katakan pula bahwa jalan-jalan ini sebagai kado bulan yang istimewa untuk kami berdua (dia dan saya lahir di bulan yang sama, dengan tanggal yang berdekatan pula. Hanya sehari selangnya). Saya begitu ingin mengiyakan ajakan itu. Tapi, ada banyak hal yang menjadi pertimbangan saya. Dan ada banyak hal yang tidak bisa begitu saja saya tinggalkan untuk sekedar bersenang-senang. Saya sangat merasa bahwa bertambahnya umur dan ilmu membuat pertimbangan itu menjadi semakin banyak. Kalau saya yang dulu, mungkin bisa saja akan langsung packing dan nekat pergi. Tapi tidak kali ini. Tidak dalam beberapa tahun belakangan ini. Seberapa besarnya pun saya menyukai kata PERGI.

Terkadang, ada saja penyesalan saat saya dapati foto teman-teman dengan background tempat-tempat indah. "Kenapa saya nggak ikut pergi?!" Tapi, saya lebih tersiksa dengan penyesalan saat teringat momen buruk saat saya terburu-buru pergi. Ada saja hal yang saya sesali jika saya pergi dengan pertimbangan yang pendek (baca: nekat). Maka, sudah cukup penyesalan-penyesalan itu. Saya tak mau mengulanginya lagi.

Setelah dua hari berkutat dengan pertimbangan-pertimbangan, akhirnya saya putuskan untuk mengirim pesan maaf pada teman saya itu. Saya meminta maaf karena tidak menerima ajakannya. Meski saya ingin sekali. Saya meminta maaf karena ada hal-hal yang tidak bisa saya tinggalkan meskipun saya tahu dia jauh lebih sibuk dibanding saya. Dan jawaban dia membuat hati saya lebih mencelos lagi : "Haha, ga papa kok."

Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi. Dan apa yang Allah tidak kehendaki pasti tidak akan terjadi. Saya hanya berharap, di tahun depan (tahun 2018) kehendak Allah sesuai dengan apa yang saya kehendaki. Saya masih ingin tetap pergi. Ya Allah, cukup saya dan Engkau yang tahu kemana saya ingin pergi.

Ya Allah, Engkau yang paling mengetahui isi hati. Engkau yang mendalami keinginan diri ini. Saya hanya bisa berserah. Pasrah.




 

Reminiscing


Setiap orang sedang melangkah menuju takdirnya masing-masing. Setidaknya, itulah yang sedang kurasa. Tapi aku, kenapa aku sendiri terjebak disini? Aku merasa seperti berada di ruang hampa. Aku kembali pada kegelapan. Planet-planet berhenti dari peredarannya. Aku tak tahu harus melangkah kemana.

Apa aku punya pilihan?
Kenapa aku tak melihat satu pun jalan keluar?
Lalu kemana aku harus melangkah untuk menuju takdirku?

"Kita tidak pernah tahu takdir kita ke depannya seperti apa. Selama takdir itu belum sampai padamu, jalani apa yang menjadi takdirmu sekarang dengan sebaik-baiknya. Jika nanti takdir yang lain mendatangimu, maka jalani takdirmu selanjutnya. Dengan baik pula. Selama kamu punya niat dan tekad yang kuat, yakinlah bahwa Allah pasti memberi jalan."

Apa kamu ingat siapa yang mengatakan itu, haps?







Featuring November


Kapan Kemarin, aku bercerita pada ibuku tentangmu. Entahlah, aku pun tak tahu kenapa aku melakukan itu. Mungkin, aku sedikit rindu padamu. Dan tentu saja, membicarakan dirimu adalah hal menyedihkan yang selalu memaksa airmataku untuk jatuh.

Ibuku pernah bertemu denganmu. Meski cuma sekali. Tapi, bisa saja ia punya kesan tersendiri tentangmu. Beliau pun berteman denganmu di dunia maya. Maka, sepertinya ibuku tak butuh ceritaku. Tapi, aku tak bisa menahan diri untuk tidak membuka kapsul waktu yang sudah lama kukubur saat ibuku menyebut namamu dalam pembicaraan santai kami siang itu. Kunci kapsul waktu yang kukira sudah hilang, kembali kau beri padaku saat kau tanya kabarku melalui WA seminggu yang lalu.

Kak, sedari awal aku mengenalmu, aku tahu ada hal menyedihkan yang kau sembunyikan dariku. Dan dari orang lain. Dari keceriaan yang kau tampakkan di hadapan manusia hanya untuk menyembunyikan gloomy-nya hidupmu.Dari lebarnya senyumanmu hanya untuk menyembunyikan kesedihan hatimu. Dari suara renyah tawamu hanya untuk menahan jatuhnya airmatamu. Dari kata-kata penyemangat yang kau ucapkan lebih untuk menyemangati dirimu sendiri. Kak, apakah kau pernah mendengar sebuah perkataan "Jiwa (spirit) itu akan mengenali yang sejenis / yang memiliki kesamaan dengannya"?

Kak, kau adalah orang yang baik. Maka tetaplah seperti itu. Kau yang tak pernah serakah dengan kebahagiaan yang dimiliki oleh orang lain. Kau yang tak pernah mengeluh atau berharap menukar takdirmu yang buruk. Kau yang bahkan masih tak murka meski kecewa dengan orang disekitarmu yang memanfaatkan kebaikanmu. Kau, yang bahkan masih merasa kasihan pada orang lain di sekitarmu, padahal mereka tak tahu bagaimana menyedihkannya hidupmu.

Kak, aku sungguh berterima kasih atas semua yang pernah kau lakukan untukku. untuk semua kebaikan-kebaikanmu. Meski hidupmu begitu sulit, tapi kau tak pernah berhenti membantuku.

Kak, aku sungguh berterima kasih padamu. Sejak mengenalmu, hari-hari sulit tak banyak menderaku. Meski bebanmu tak kalah berat,  kau tetap bersedia mendengar keluh kesahku.

Kak, aku sungguh-sungguh berterima kasih padamu. Aku mendoakan kebahagiaan untukmu. Aku berharap agar kau bahagia. Tidak, tidak. Aku sungguh ingin kau bahagia. Kau harus bahagia, Kak!

Tapi Kak, aku ingin kau mengerti bahwa berada di dekatmu membuat dadaku sesak. Berada di dekatmu membuatku semakin marah. Dengan berada di dekatmu, aku merasa diriku begitu menyedihkan.

Kak, saat aku menatap senyummu, saat aku mengingatmu, yang terbayang adalah beratnya beban hidupmu. Aku tak mau menatapmu dengan kasihan. Karena kutahu, kau tak suka dikasihani. Kau berusaha menyembunyikan kesedihanmu agar tak dikasihani orang lain. Tapi kak, itu justru membuatku semakin susah.

Kak, maaf. Ini semua salahku. Aku yang aneh. Aku yang selalu memiliki kesimpulan sendiri. Tapi Kak, inilah alasan kenapa pada akhirnya aku melepasmu.

Kak, ingat. Kau harus bahagia!






______________________________________________

Jangan salah sangka. Pada kenyataannya, hidup ini bukan hanya tentang asmara.

Don't Delude Yourself


You throw a tantrum when things don't go your way, just like kiddos.
You're pulling and pushing anyone around you, as if you're the boss.
So why don't you start asking yourself?
Something about what's been changed even after you're twelve?

So may I give you an advice?
Don't delude yourself!


I Beg You, Dont Touch My Things, Please. Just Leave It as I Place.


Saya benar-benar nggak suka kalau barang saya dipindah-pindahkan orang lain. Saya benar-benar nggak suka kalau barang-barang saya disentuh orang lain tanpa sepengetahuan saya. Tanpa saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Saya tahu bahwa sifat buruk yang melekat pada diri saya adalah saya begitu mudah menyalahkan orang lain untuk kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam hidupku. Maka, saya ingin mengajarkan pada diri untuk lebih bertanggung jawab. Untuk tidak terus-terusan make a defense mechanism. Maka, saya hanya memohon untuk tidak menyentuh barang-barang saya, apalagi memindahkannya saat saya tidak ada. My room is my zone. My room is my private life. Just leave my room alone.

Saya (berusaha) nggak mengeluh saat saya pulang dan ternyata kamar saya sudah ditempati orang lain dan saya harus tidur di kamar yang lebih mirip dengan gudang. I'm okay, setidaknya saya punya kamar sendiri.

Saya pun (berusaha) biasa saja saat saya harus pindah dari kamar (yang tadinya gudang kemudian saya jadikan kamar) ke kamar utama yang mesti disekat menjadi dua kamar karena ada penghuni baru datang ke rumah. Still, I'm okay dengan kamar yang hanya cukup untuk satu ranjang dan satu lemari kecil. Really, I'm still okay.

Pun, ketika rumah direnovasi habis-habisan, lalu saya harus pindah kamar lagi. I'm okay. Saya beneran nggak masalah. Meski lantainya jelek dan nggak ada jendela, pun pengap, saya nggak masalah. Tapi, saya nggak oke ketika saya pergi setengah bulan, dan lemari saya dipindahkan dari posisinya. Kasur, bantal, guling, serta barang-barang lain yang saya sudah susun sebelum saya pergi ternyata sudah tidak pada tempatnya, saya nggak oke dengan semua itu. Seperti sore ini, ketika saya nyari surat motor, dan nggak ketemu. karena posisi barang-barang saya sudah berubah. Sifat saya menyalahkan orang lain keluar lagi.
kalau sudah begitu, saya akan membenci diriku sendiri. Padahal, saya sudah berusaha berkompromi dengan diri sendiri. Untuk bisa sedikit mencintai diriku sendiri.

Saya mohon bantu saya. Saya sudah tak ingin membenci siapa-siapa lagi.

Againts Calculus


Kalkulus adalah cabang matematika yang fokus pada fungsi, limit, derivative, integral, dan deret tak hingga seperti deret Taylor dan Mc Laurin. Tapi saya tak sedang ingin membahas secara mendalam tentang kalkulus, karena saya bukan anak matematika. Pun saya tidak kuliah di jurusan Matematika. Pun tidak pernah mengambil kuliah tentang Kalkulus ketika kuliah. Namun, sepertinya saya menyadari bahwa Kalkulus begitu dekat dengan saya.

Ketika googling untuk mencari tahu lebih detail tentang Kalkulus, saya mendapati sebuah catatan bahwa "Kalkulus bukan sekedar Kalkulasi" (karena secara awam, saya memang mengartikan kalkulus sebagai kalkulasi). Tapi kemudian saya mendapati dari sebuah link ini bahwa Kalkulus (Dasar) adalah pembahasan yang berkaitan dengan Fungsi dan Grafik (yang berkaitan dengan hubungan antar titik, garis, dsb; pun bilangan yang berkaitan dengan pencacahan, pengukuran, dan perhitungan; fungsi atau pola aturan; pemetaan), Limit (mencari nilai dengan pendekatan ke kanan atau ke kiri), Integral (bahwa jumah membawa implikasi yang sangat besar), dan lain sebagainya, semacam itulah pembahasan kalkulus.

Kenapa Kalkulus begitu dekat dengan saya? Entah sejak kapan ini terjadi pada saya, tapi sejauh ini saya menyadari bahwa dalam menjalani kehidupan ini, saya selalu penuh dengan kalkulasi. Yang dahulu, saya pikir kalkulasi saya hanya terbatas pada untung - rugi, atau take and give semata. Ekonomi, Bisnis. Manajemen.

Tapi ternyata tidak. Kalkulasi saya sekompleks matematika (Kalkulus). Jika dalam hidup saya hanya memperhitungkan untung - rugi, maka saya tak akan memikirkan orang lain. Yang penting saya untung, terserah orang mau kena imbas apa. Kalau kalkulasi saya hanya sekedar take and give, saya hanya akan memikirkan untuk mendapat dari orang lain sebanyak yang bisa saya dapat dan mempersedikit apa yang harus saya berikan pada orang lain.  Itu prinsip Ekonomi.

Tapi sekali lagi tidak. Kalkulasi saya sekompleks Kalkulus. Perhitungan tentang hubungan yang terjalin antara saya dan orang-orang di sekitar saya, menjadikan tujuan saya bukan hanya sekedar memenuhi keuntungan pribadi (apakah keuntungan yang benar-benar materi atau keuntungan batin). Harus ada kerelaan untuk "rugi" secara materi atau perasaan dengan mengkalkulasikan hubungan yang sudah terjalin.

Kalkulasi untuk tetap menjalani hidup dengan idealis sesuai dengan pola aturan. Bukan hanya sekedar mencari kenikmatan fana yang mungkin sudah banyak dikerumuni orang-orang hari ini. Kalkulus. Kalkulasi yang kompleks.

Anak Sospol berbicara Kalkulus, saya mungkin seperti orang buta yang sedang mendefinisikan siang dan malam. Haha.

random by googling
  

UNbreakble


Ada begitu banyak yang ingin saya tuliskan. Bahwa saya sangat bersyukur dengan segala keraguan yang dulu saya rasakan sehingga pada akhirnya saya nggak pernah menghubungi nomor yang sudah saya dapatkan. Karena ternyata, itulah yang terbaik. Tak ada yang perlu dikatakan. Tak ada yang perlu dijelaskan. Karena memang tak pernah ada kesepakatan diantara kita berdua. Cukup saya saja yang perlu berkompromi dengan masa lalu. Dan masa depan. Hingga hati saya mulai menyadari bahwa pretending as a great girl adalah sebuah keputusan yang tepat. Saya bersyukur dengan kebahagiaan yang (mungkin) sudah kamu dapatkan. Sebuah persahabatan yang kamu tawarkan (baca: kamu inginkan) mungkin tak bisa terjadi karena keadaan yang tak memungkinkan. Bahkan saya saja hari ini tak lagi tahu, siapa yang masih jadi sahabat saya. They were gone. Sibuk dengan kesibukan masing-masing. Haha

Sebuah hal yang juga mendorong saya membuka kembali blog ini adalah sebuah kesalahan yang baru saya lakukan pada keluarga saya sore hari ini tadi. I was hurting them. Dengan kebodohanku. For a moment i was forget that they don't think as I do. And I have been sorry to bring all the errors on them. Padahal, sebagian kesalahan juga ada padaku. Sebagaimana saya merasakan kemarahan atas semua kerugian itu, sudah pasti mereka lebih marah dan terluka dengan kejadian tadi. Padahal, merekalah orang yang mendapat kerugian, bukan saya. And I have no right blaming them. Seharusnya yang saya lakukan adalah comforting them. I'm so sorry..

Dan saya mulai nggak tahu, dimana starting point dari messy-nya hidupku ini. Berapa kali saya harus merasakan disorientasi lagi? Kalo saya katakan saya sudah nggak greedy lagi, mungkin saya salah. Bukankah disorientasi memperlihatkan sifat greedy yang masih tersimpan dalam diri? Ah, entahlah.

Mungkin saya sudah terlalu lama berhenti berkompromi dengan diri sendiri. Mungkin, diri ini rindu untuk berbincang dan saling menyemangati. Apa itu yang kau inginkan wahai diri?

Haps, semangat dong ah. Kamu memang nggak lagi muda, tapi jangan seperti orang tua. Kamu harus S-E-M-A-N-G-A-T. Biar awet muda. Hehe.

Perbaiki apa yang bisa kamu perbaiki. Rapikan messy-nya hidupmu dimulai dengan merapikan kamarmu. Mungkin kamu akan menemukan catatan harapan takdir yang kamu pernah langitkan tapi tak kamu lanjutkan. And be careful next time, please. Dont forget to be more and more care about others.

Pasang senyummu yang paling lebar, Haps. Terutama buat keluargamu. You know they love you more than you do them.

Perhitungan Aset Dan Waris


Sekitar 3 atau 4 bulan yang lalu, saya dapat tugas belajar menghitung waris. Dengan paparan kekayaan dan jumlah ahli waris yang terdiri dari Istri, Ibu kandung, 1 Anak laki-laki, dan 1 Anak perempuan. Agak bingung juga jika langsung masuk pada kasus. Dulu, waktu sekolah belajar waris hanya sekedar teori. Nggak pernah ngitung-ngitung. Tapi beberapa bulan lalu, harus berkutat pada angka-angka. Nggak tau juga itu harta didapat dari mana. Haha.

haps
coret-coretanku
Eh, btw nggak tau juga itu total kekayaan bersih kenapa salah gitu jumlahnya ya. hahaha. Padahal jumlah kekayaan bersih didapat dari total aset dikurang total kewajiban (hutang). Tapi, karena berhubung ngitung warisannya udah terlanjur pake angka itu, jadi malas ngerubah-rubahnya lagi. Hahaha. Untung aja itu nggak beneran. hehe

Tapi, seenggak-enggaknya ada gambaran dikit lah. Yang paling penting, kalo mau ngitung warisan, emang harus datang ke ahli waris. Kalau mau ngitung-ngitung sendiri, mumet kepala. Hadddeeehhhh...

Kenangan, dalam Benak Seorang Perempuan


Ada jejak yang kau tinggalkan kuat di sini: dalam ingatanku. 
Hingga apa yang kurasa selalu saja: tentangmu.
 

Aku berada di sebuah tempat yang sangat gelap. Aku menengadah. Tepat di atasku, bintang-bintang bertaburan tanpa penghalang apapun. 

Tanganku... Aku merasa ada yang sedang menggenggam tanganku. Aku menoleh, dan mendapati Kenang sedang tersenyum manis padaku. Ia menggenggam tanganku. Aku tersenyum padanya.

Kami berjalan beriringan masih sambil bergandengan tangan. Angin bertiup memainkan rambut Kenang yang lurus dan panjang. Aku tersenyum menikmati pemandangan indah ini. Langit bertabur bintang dan angin memainkan rambut indah Kenang, adalah sebuah pemandangan yang sempurna. 

Lalu, aku dikejutkan dengan angin yang tiba-tiba bertiup sangat kencang. Aku menengok ke arah Kenang, tapi rambut Kenang yang tertiup angin menghalangi pandanganku. Aku menutup mata, berusaha menghalangi debu dan daun agar tak masuk ke mataku. Terpejam, kudengar suara angin semakin kuat. Aku bergulat melawan angin yang seolah hendak menerbangkanku. Kakiku mulai terseret selangkah demi selangkah. Saat aku berusaha untuk berpegang pada sesuatu agar tak terseret lebih jauh, angin tiba-tiba berhenti. Suara ribut tadi berhenti. Semua sunyi kembali. 

Aku membuka mata dan menengadah ke atas. Sudah tak ada lagi bintang di langit. aku mengedarkan pandangan, melihat sekeliling yang telah berubah menjadi terang. Baru kusadari indahnya pemandangan di sekeliling. Begitu hijau dan menyenangkan. Aku tersenyum dan menoleh ke arah Kenang. Tapi betapa terkejutnya aku... Kenang sudah tak ada lagi di sampingku. Sebelah tanganku hanya menggenggam udara. Kosong.

Kenang... Dimana Kenang? 

Aku berlari sambil memanggil-manggil namanya. Aku terus berlari. Jalan yang kususuri ini panjang sekali. Tapi aku tetap saja terus berlari. Aku tak ingin kehilangan Kenang. Aku harus menemukannya kembali. Ah, kenapa tak kugenggam erat tangannya tadi? Atau kudekap saja ia erat-erat? Ah, sungguh bodohnya diriku.

Dengan napas tersengal, aku sampai di sebuah tempat dengan kerumunan orang. Aku berusaha mencari kenang di lautan manusia. Ah, itu dia. Tak jauh dariku, seseorang berdiri membelakangiku. Rambutnya lurus dan panjang, sama seperti Kenang. Aku tersenyum dan menyentuh pundaknya. Ia menoleh dan aku harus menelan kekecewaan. Dia bukan Kenang.

Aku kembali mengitari orang-orang yang sedang berkerumun, berusaha menemukan Kenang. Namun, berkali-kali aku mendapati seseorang yang dari belakang tampak seperti Kenang, tapi ternyata ia bukan Kenang. Aku mulai panik. Dan aku ketakutan. 

"KENANG..." Aku berteriak memanggil namanya. 

"KENANGA..." Aku terus saja memanggil namanya sampai suaraku habis dan tak bisa lagi memanggil namanya.

* * *

Pada akhirnya, aku berpisah dengan Kenang begitu saja. Tanpa banyak kata. Hanya pengertian masing-masing atas takdir yang telah terjadi. Dari awal, memang aku yang salah. Aku yang pengecut. Aku yang bodoh. Sampai akhirnya, aku harus mengakui bahwa aku yang sedari awal tak berusaha. 

Jadi, ini yang disebut takdir? Aku mungkin egois dengan berpikir bahwa Kenang akan bersama denganku suatu saat. Jadi kubiarkan Kenang terus hidup dalam bayangan. Aku dengan bebas berkali-kali menemuinya dalam mimpiku. Tapi, pada akhirnya aku menyadari. Yang tertinggal hanyalah kerinduan. Tentang sebuah Kenangan.

I'm Not Money Chaser


Dalam hati kecil saya, ada yang berontak. Saya benci orang-orang kaya itu. Setidaknya, saya benci orang-orang yang merasa mereka bisa melakukan segalanya karena mereka merasa memiliki uang. Saya ingin mengatakan kepada mereka bahwa mereka salah kalau berpikir bisa membeli saya dengan uang mereka. Sayangnya, saya bukan orang yang segitu gilanya dengan uang. Meski saya butuh uang, tapi saya nggak begitu gila dengan uang.

Tapi, kenapa tadi lidah saya nggak mengatakaan apa-apa saat mereka mulai banyak permintaan atas diri saya? Kenapa? Apa saya sudah mulai tunduk pada uang mereka?

Dengan lemah saya berkata TIDAK. Saya masih yakin bahwa saya melakukan semua ini bukan demi uang. Saya memang butuh uang, tapi sejak awal saya mengenal mereka, sasaran saya bukan uang mereka. Saya benar-benar ingin kebaikan ada pada diri mereka. Itu saja. Benar-benar itu saja. Tapi, tentang pembicaraan tadi, apa masih tentang menginginkan kebaikan ada pada diri mereka?

Apa semua tindakan mereka harus saya pahami sebagai sebuah proses? Haps, dimana kamu letakkan prinsip yang kau junjung jauh di atas kepalamu? Hanya karena mereka bermobil dan kamu selalu jalan kaki, apa kamu harus sebegituya merendahkan dirimu?

Sebuah pemahaman atas 'ketidaktahuan' mereka dengan sikap mereka yang meremehkan itu, tapi, bagaimanapun saya tak bisa selamanya memaklumkan itu, bukan?

Sungguh, saya ingin membuktikan bahwa saya melakukan semua itu bukan demi uang. Bukan.

Sekali ini, saya akan maklumi. Jika sikap mereka masih tak berubah setelah beberapa pehamaman yang akan saya berikan, saya memilih untuk tak berurusan dengan mereka yang bermobil itu.

Saya, bukan orang yang takut jika mereka lari. Karena, sekali lagi, saya tak sedang mencari uang. Saya sedang mencari pahala. Dan, pahala itu bukan datang dari diri mereka.

Go Higher Up!

 

Next time, when something unpleasant happens, just don't think to go far away, Haps. 

It's better to go higher up, right?!

Because when you go up to a high place, it gets rid of your sadness.




Won't Stop Falling


Here, when I start writing these, my tears still won't stop falling...

Memang, ujian keikhlasan itu begitu sulit. Bahkan setelah berjalan kaki 3 km, mencoba menikmati pemandangan di kanan dan kiri jalan, menemukan beberapa potongan kenangan masa kecil, lalu membiarkan sifat childish keluar ketika tak ada satu mata manusia pun yang menyaksikan, tapi keikhlasan itu masih juga tak mau mendekat.

My tears still won't stop falling...

Kecewa pada manusia itu, ujian cukup berat yang merusak keikhlasan.



~ B. Lampung, sore setelah hujan...

HOAMMM


Just woke up from a deep sleep.

and...

want to say,

Ied Mubarak. 

Taqabbalallahu minna wa minkum.

and...

apakah sekarang sudah Agustus?

Well, Be nice to me August!

My Friends said they will marry, soon. 

oh, well....

Hope they'll be super happy.

and,

me, too :)


Oh, Well


Besok, rencananya saya harus ikut memeriahkan lomba. Sebenarnya, saya sudah berusaha sebisa mungkin untuk nggak terpilih. Tapi, nyesek itu ketika ketua bilang, "It's hopeless, because we're lacking of everything." Bahkan dia bilang, "Sudah, nggak usah mikir menang. Yang penting dari kecamatan kita ada yang tampil. Jangan sampai didiskualifikasi karena nggak ada utusan yang maju."

Oh, Well. Saya belum mengiyakan. Cuma senyum aja. Tapi, karena saya bagian dari kecamatan ini, mau nggak mau saya harus mengiyakan. Meski pada kenyataannya saya nggak bisa sama sekali.

Oh, Well. Saya besok harus ikut lomba bercerita, dongeng, or whatsoever the name. Lomba khusus untuk guru-guru PAUD dan TK se-Bandar Lampung. Haha, saya? Modal saya ya cuma berani aja. Mimik, ekspresi, dan gaya bercerita, jelas saya nggak menguasai. Makanya, saya bilang, "yang penting cuma maju aja kan? Menang atau nggak, nggak jadi masalah kan?"

Because I'm hopeless. I have no idea besok saya bisa apa nggak gitu. Tapi, terserah deh. Kewajiban saya cuma memenuhi kekosongan karena personil yang lain sudah mengambil bagian masing-masing dalam lomba. Syukur-syukur saya nggak disuruh ikut lomba senam atau gerak tari. Atau juga lomba paduan suara. Haddehh... -_-"

Oh, Well.. gimana besok, biar besok aja deh.

Bring Back The Memories


Tadi siang, saya melihat ada komentar baru yang masuk di kotak moderasi blog saya. Dari anonim. Jadi, saya nggak berani menebak-nebak siapa. Dari isi komentarnya, saya juga bingung hendak menebak siapa penulis komentar itu. Jujur saja, saya agak parah jika berkenaan dengan ingatan. Maaf.

Dan saya minta maaf lagi karena tidak menerbitkan komentar tersebut. Karena saya pikir, komentar tersebut bisa terbaca ambigu. Jadi, mungkin postingan kali ini akan mewakili jawaban saya pada si anonim yang telah berkomentar pada tulisan saya yang berjudul #random.

Dari komentarnya, saya memang nggak bisa menebak dengan pasti siapa orangnya. Tapi seenggaknya, saya merasa bahwa si anonim itu adalah teman lama saya. Si anonim menyebut tentang salah satu moment kami di Bis. Tapi, saya lupa dengan moment tersebut. Kalau hendak menyambungkan dengan kalimat yang si anonim tulis, justru ingatan saya lari ke kaki gunung. Bukan ya? Inilah yang saya sadari tentang jeleknya ingatan saya. Dia sering menyesatkan saya. Haha.

Bisa jadi ingatan saya yang salah atau lagi-lagi ingatan saya tengah tersesat. Tapi, buat apa sih kembali membicarakan masa lalu? Padahal kita tahu kalo masa lalu itu sudah jauh tertinggal. Kenapa terus hidup dalam bayang masa lalu? Padahal kita sudah bertahun menjalani hidup untuk hari ini. Kenapa mempertanyakan tentang pertemanan kita? Bukankah sejak awal saya katakan, tidak ada istilah mantan teman bagi saya. Sekali teman, selamanya teman. Meski lost contact sekalipun. Meski jarak kita bermil-mil jauhnya. Jadi, kalau kau tanya apakah saya masih menganggapmu teman, saya jawab IYA.

Tapi, seharusnya kamu tahu bahwa hubungan kita nggak akan mungkin sama lagi, kawan. Kita sudah punya kehidupan masing-masing. Kamu punya prioritasmu dan saya dengan dunia saya. Jadi, apa yang masih menjadi harapan kita kecuali doa? Untuk kebaikan satu dan yang lainnya? Bukankah itu relevansi sahabat?

Kawan, sudahlah. Berhenti mempertanyakan masa lalu. Tidak ada yang bisa kita lakukan dengan semua yang telah terjadi. Kenapa harus ada penyesalan? Tentang kenapa saya memilih jalan yang berbeda, kenapa saya nggak berkata ya, jawaban saya, SEMUA SUDAH DITAKDIRKAN. Saya juga nggak tahu harus menjawab apa jika kau tanya kenapa. Karena saat itu saya tidak tergerak untuk berkata ya. Dan, saya juga nggak akan bertanya kenapa-kenapa padamu. Karena semua sudah berlalu. Dan, semua cerita yang menjurus pada luka sudah saya kubur dalam-dalam. Karena saya ingin kenangan yang kembali muncul (jika saya ingin mengenang) adalah kisah yang manis. Dan, persahabatan kita adalah kenangan yang manis.

Benci ABI


Setelah hari itu saya jadi benci mendengar nama "abi". Tiga hari yang sungguh terasa bodoh. Lelaki itu, bernama evan. Tapi karena memang dasar sayanya ini bodoh, saya salah kira dan memanggilnya kak abi. Padahal... Dasar bodoh!

# # #

"Tante, di istiqlal ada shelter busway nggak? Kalo dari sini transit berapa kali?"

"Hm, kayaknya sih ada deh halte busway di istiqlal. Tapi, tante juga nggak seberapa tahu. Udah sih, besok tante anterin kesananya. Tenang aja."

"Emang Tina nggak mau pake mobil tante?"

"Tina mana berani bawa? Yang ada juga tante yang nyupirin dia. Lagian, dia ntar sore terbang ke singapura kok."

"Beneran tante? Emang tante berani nyetir ke istiqlal?"

"Bisa sih. Tapi tante nggak tau jalannya. Jadi, besok ada sepupu yang nganterin kok. Udah, kamu tenang aja. Yang penting nyampe di istiqlal jam 8 pagi kan?"

Saya nyengir. Bahagia. Padahal saya udah menyiapkan diri untuk sedikit tersesat, tapi, syukurlah kalau saya diperlakukan bak putri. Hii hii.

# # #

"Denger-denger kamu lulusan HI juga ya?"

"Iya."

"Saya juga lulusan HI loh. HI Unpar. Tapi tahunnya udah tua. Hehe."

"Oh, iya ya kak."

"Sekarang, aktivitas kamu apa? Denger-denger katanya kamu ini pinter tapi nggak diijinin kerja sama orangtuamu ya?"

Saya cuma nyengir.

"Lulusan HI itu gampang-gampang susah. Jurusan yang terlalu luas cakupannya jadi kalo ngomongin lapangan kerja, ujung-ujungnya idealisme ngilang nggak tau kemana. Perhatiin deh, lulusan HI banyakan kerjanya dimana: Di Bank. Sementara idealismenya kemana?"

Saya cuma senyum. Dalam hati membenarkan.

"Padahal, sejujurnya kalo dipikir-pikir, worthless banget deh anak HI kerja di Bank. Tapi kalo mau ngejer kedubes apa deplu, malahan didominasi sama lulusan hukum. Jarang yang HI malah. Kamu dulu masuk HI karena apa?"

"Kenapa ya kak, hm, dulu masih lugu kak. Pilih HI karena keren. Karena HI dulu rasanya langka. Nggak kayak komunikasi apa akuntansi yang dimana-mana ada. Hehe." Nggak tahu kenapa, saya sejujur itu.

"Nah, see. Saya dulu juga gitu. Denger HI itu, kayaknya keren. Dulu masuk Unpar, kalo bilang kuliah jurusan HI, kayaknya beda banget. Keren gimana gitu. Tapi, setelah lulus, baru mikir, sekedar keren itu ternyata nggak cukup."

Dia tersenyum lalu melanjutkan, "Makanya, kalo di dunia kerja, yang dibutuhin adalah skill. Kamu punya skill, hayok lanjut. Kalo nggak punya skill, ya kamu tertinggal. Dan, sekarang coba pikir, kerja apa yang paling enak?"

Saya nggak nyambung sama omongannya. Saya garuk-garuk kepala. Nggak tahu mau ngomong apa, saya nyengir dan bilang, "Hm, apa ya... " masih sambil nyengir.

"Di dunia ini.... blaa blaa blaa." Saya mendengar angka statistik itu disebut-sebut lagi. Yang di dunia ini uang melimpah justru dipegang oleh manusia dengan statistik paling rendah, sementara mayoritas manusia berkutat pada pekerjaan dengan gaji kecil. Lalu, kurva yang pernah saya lihat di salah satu seminar itu pun membayang di depan mataku lagi. Tapi, saya masih saja duduk di kursi dan mendengar orang asing di depanku ini terus berbicara. Kenapa saya nggak pergi saja? Karena dia terus berbicara dan berbicara...

"Dan, kamu tahu nggak, lebih enak berbisnis dengan barang atau berbisnis dengan orang?"

Saya sebenernya capek, tapi entahlah, mungkin saya ngerasa nggak enak, mungkin saya menghormati tante si pemilik rumah, entahlah. Jadi saya tetep menjawab, "Hm, saya sih nggak bisa dagang kak. Jadi, saya lebih suka berurusan dengan orang daripada barang."

"That's right. Lebih enak dan mudah berurusan dengan orang ketimbang barang. Jadi, berbisnislah dengan orang jangan berbisnis dengan barang." Dia tersenyum.

Sebenarnya saya nggak mengerti dengan apa yang dia katakan. Tapi, demi kesopanan, saya mencoba tersenyum.

"Well, saya ada urusan bentar. Jadi saya pergi dulu ya. Makasih buat diskusi kita sore ini. Fiko, Abi pergi dulu ya.."

Fiko, anak tante si pemilik rumah cuma mengangguk. Sedetik kemudian dia berteriak, "Abi, besok kita jadi jalan-jalan kan yah?"

Lelaki itu menengok, sambil tersenyum dia melayangkan jempolnya. Lalu berlalu.

"Tante, dia itu siapa sih? Sepupunya tante?

"Hm, dia itu sepupuan sama iparnya tante."

"Oh, kerjanya apa tante?"

"Hm, kalo misalnya SCTV mau bikin mug atau jam itu dia yang ngurusin. Yah, semacam itu lah."

Tante seperti nggak yakin dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Tapi, sekali lagi, saya memang sedang bodoh saat itu.

# # #

"Vi, udah siap? Kamu dianter sampe istiqlal aja?"

"Iya tante. Janjian sama temen ketemu di halte istiqlal. Katanya pas depan pintu masuk istiqlal. Fiko ikut tante?"

"Iya. Ini kan masih jam 3 in 1. Jadi biar mobil penuh Fiko juga diajak aja."

"Trus, dari istiqlal tante mau kemana?"

"Paling ngajak Fiko jalan keliling-keliling. Udah yuk, mobilnya ada di depan.

"Fik, ayo ke mobil." Saya menuju parkiran. Disana sudah berdiri lelaki itu, sambil memegang lap yang sesekali digosokkan di kaca depan mobil. Ford merah itu kelihatan mentereng sekali.

Saya duduk di kursi belakang di samping Fiko. Anak kelas 3 SD itu kelihatan masih mengantuk. Saya melirik jam di hape. Masih jam 7. Lelaki itu sudah sigap di depan stir. Tante duduk di sebelahnya.

"Kita ke istiqlal kan ini?" Sambil fokus ke jalan, lelaki itu mengkonfirmasi ulang."

"Bi, tau halte istiqlal nggak? Katanya Novi minta turun disitu. Janjian sama temennya."

"Iya, katanya pas depan pintu masuk istiqlal."

"Istiqlal itu banyak pintu masuknya, Nov. Haltenya juga ada beberapa disana. Ntar kita puterin aja istiqlal ya. Kamu sambil sms temenmu."

Saya sigap dengan hape di tangan. Dan, ternyata cuma lima belas menitan saya udah nyampe di istiqlal. Dengan selamat. Saya mengucapkan terima kasih, lalu turun. Mengirim sms ke teman saya, lalu melihat-lihat sekeliling. Ford merah milik tante melaju keluar dari istiqlal. Saya takjub dengan masjid di depan saya. Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di area istiqlal.

# # #

"Fik, tadi jalan-jalan kemana aja? Kok jam segini udah pulang?"

"Keliling-keliling aja tadi si Abi. Diajakin mampir ke senayan, malah ke grand ambassador. Mobilnya tadi mau dipinjem sama Abi ke Bekasi."

"Oh. Emang kak Abi tinggal dimana fik?"

"Hah, siapa?"

"Kak Abi. Udah pulang?"

"Hah? Abi? Lagi ke Bekasi."

"Bawa mobil?"

"Ho oh."

# # #

"Tante, Novi pulang dulu ya. Makasih buat semuanya. Maafin kalo ada salah-salah ya tan."

"Ih, kayak apa aja sih kamu itu. Hati-hati di jalan ya. Sering-sering main kesini. Papi kamu udah sampe mana?"

"Udah sampe depan tante. Paling bentar lagi nyampe. Salam buat Tina ya tan. Maaf nggak sempet ketemu."

"Iya, maafin Tina ya. Dia terbang terus. Nggak tahu, di Garuda sesibuk itu ya. Hehe."

Nggak ada 5 menit, Papi datang. Saya sudah siap dengan ransel hijau kesayangan. Saya pamit sekali lagi. Tante dan Fiko mengantar sampai pintu. Saya dan Papi menuju mobil.

Saya memilih duduk di kursi belakang. Membayangkan akan menempuh perjalanan jauh, bikin badan pegal-pegal. Jadi saya mengantisipasi untuk bisa ngelurusin badan.

Kira-kira sepuluh menit kemudian, ponsel saya berbunyi. Dari nyokap.

"Assalamu'alaikum. Kenapa mom? Ini ade udah dijemput sama Papi. Udah mau pulang."

"Iya, hati-hati. Banyak2 berdoa. Tadi barusan tante telp mom. Ngaku semuanya. Jadi kamu disana ketemu sama Evan? Evan nginep disana?"

"Hah, Evan siapa mom? Kemaren sih emang ada orang tapi bukannya namanya Abi ya? Tante sama Fiko manggilnya Abi."

"Hah, jadi tante sama Fiko udah manggil Evan dengan Abi?  Astaghfirullah nikah aja belum. Ya udah lah, alhamdulillah kalo kamu kamu nggak tahu nggak apa-apa. Lebih bagus malah. Jadi nggak ngotorin hati kamu. Ya udah, banyak-banyak berdoa selama perjalanan ya. Hati-hati di jalan ya."

Saya nge-blank. Setelah mengucapkan salam saya menutup telp. Lalu, otak saya menyambung-nyambungkan peristiwa yang kemarin nggak terlihat oleh saya. Saya pernah mendengar nama Evan tersebut dalam percakapan nyokap dan tante. Evan, yang saya tahu adalah lelaki yang usianya jauh lebih muda dari tante, yang (katanya) nempel-nempel tante dan sering morotin uang tante. Dari beberapa kali yang saya dengar, nyokap sering menasehati tante untuk nggak terus-terusan berhubungan dengan Evan. Karena tiap kali tante mengadu Evan pinjam uang sekian, minta transfer sekian. Entahlah.

Tiba-tiba, air mata saya berebut keluar satu persatu. Di kursi belakang mobil, saya pura-pura berbaring. Saya berusaha menyembunyikan tangis dari Papi yang sedang serius menyetir. Entah kenapa, saya sedih sekali. Saya memikirkan tante, tina, dan fiko. Saya kasihan pada kehidupan mereka. Tapi, entahlah. Kenapa manusia bisa bodoh begitu? Entahlah. Saya benci memikirkannya.

Sejak hari itu, entah kenapa saya benci mendengar nama Abi. Entahlah. Saya merasa terganggu saja.

# # #

Flashback kejadian di pertengahan 2013 lalu. Hari ini, saya dengar tante si pemilik rumah bercerita kalau Evan sudah kabur entah kemana setelah mengantongi sekian rupiah. 'Kenapa tante nggak lapor polisi?' Tanya saya dalam hati. Itukah yang dinamakan cinta? Sungguh bodoh sekali.

Senyap


Sepertinya,
Untuk saat ini,
  Nggak ada lagi yang ingin saya katakan.

Season Changed


Ini bulan Oktober loh yah. Bulan raya yang dari awal tahun saya udah gegap gempita nunggu2nya. Di bulan ini ada Idul Adha. Momen terbahagia dalam hidup yang saya bisa puas makan daging tanpa perlu mikir kocek ataupun mikir hal-hal lainnya. Mestinya saya bahagia. Sangat amat bahagia. Tapiiiiiiiiiiiiiiiiiii,

Tahun ini kepala saya nggak nyante. Moment idul Adha kali ini keganggu sama prosedural LIPI yang kemaren sempet saya tunggu2 dengan antusias. Ngapa coba saya mesti dijadwalin ikut tes tanggal 13, di Jakarta pulak. Sementara idul Adha tanggal 15. Saya jadi nggak bersemangat lagi buat ngikutin LIPI ini. Yah, whatever. Toh, dari awal niat saya emang nggak serius sih. Tapiiiiiiiiiiiiii,

Karena nggak seriusnya niat saya itu lah, kepala saya mulai nggak nyante nih. Idul Adha, alone. Di tempat yang no body, i mean, gimana saya bisa dapet puas makan daging di Jakarta? Saya mesti kerumah pak SBY? Apa mampir ke rumah Yasmin kayak kasusnya ust Solmed minta ketupat plus daging gitu? Apa ketempatnya Olga yang katanya baik hati dan hobi bagi2 duit itu? Bisa makan daging plus dapet santunan? *isikepalarandomparah*

Fokus ke tes? Halah, ngapain coba. Ini waktunya main2, nggak perlu serius. Toh, dari awal saya nggak niat jadi PNS. Jadi, bukan tujuan utama buat masuk kesana. Hidup saya nyaman, nggak ada tuntutan buat bisa kerja kantoran. Jadi, yang mesti saya lakukan adalah santee kan? Daripada terobsesi, kalo nggak dapet yang ada frustasi. Kalo dapet dan terlena, jadi ikut2 korupsi kecil-kecilan tapi terus menerus, malah nabung dosa. Just take it easy. *brbambilcermin

Nggak maksud nyinyir, tapi beberapa figur PNS yang saya temui baik di Lampung, Salatiga, maupun Makassar, sering menyalahgunakan beberapa hal terkait kedudukan PNS tsb. Jum'at ngeliburin diri sendiri; dateng ngantor telat pake banget. Apa nggak dateng masih pake daster, finger print doang abis itu balik rumah lagi nyante2; Mobil dinas malah dipake anaknya pamer sana-sini; jam pulang ngejadwalin masing2; seenaknya ninggalin kantor di jam makan siang dan nggak balik kantor lagi; di kantor cuma ngerumpi sana-sini dan palingan di depan komputer main game. Onde mandeeeee....

Tapi yah, emang nggak semua. Cuma sebagian (besar) sih. Well, kalo saya beneran jadi PNS, saya pun nggak tauk bakal jadi kayak mereka apa bener2 bisa jujur dan amanah? Iman ini kan naik dan turun. Gampang tergoda dengan materi2 apalagi kalo keadaan yang mepet2 kepepet. Entahlah.

LIPI, Jakarta, dan Idul Adha. Aaaah, saya mau makan daging. Puas2 makan daging.

DAGING.

AGING.

GING.

NG.

.

(Lanjutan) Bazar Buku Gramedia


Iyeyyyyy,,, finally tadi sore saya mampir gramed juga. Huft.. alhamdulillah tadi saya ke SMA 9. Jadi pulangnya saya mutusin mampir gramed dulu. Kalo nggak gitu, sampe bazar selese, saya mana punya kesempatan ke gramed. Too much too do whereas it's just a little time sih.

Duit di dompet, yang biru sih tinggal satu-satunya. Selebihnya, adanya pattimura. Yang merah gambar pak karno dan bung hattanya mah mana ada. Ini akhir bulan, bung! Dompet pun tahu situasinya. Hanya yah, otak saya seperti melupakan kondisi diri. Awal niat, lihat-lihat aja dulu ah.. but well yeah, gramed menang. Pada akhirnya saya kalap dan nenteng 5 buku ke kasir.

Emang cukup duit yang selembar itu doang? Guess what, duit saya masih ada kembaliannya goceng loh... Hiihii. Itulah, pas dateng, lihat-lihat arena, brb saya kalap gegara lihat ada buku 181 halaman kertas HVS putih in english version harganya 5ribu doang! Hari gini, buku bukan bekas harga goceng? Wow yah... Saya langsung aja ngambil 3 buku dengan tema beda.

Trus, karena pajangan bukunya yang bisa saya lihat-lihat masih banyak, saya tetiba sumringah pas nemu buku metode penelitian sosial dgn harga 15rb. Hiihii  aneh banget, kuliah aja udah selese, jadi peneliti juga belum fix lolos apa kagak, tapi yaa tetep aja saya nggak mikir lama-lama dan maen tenteng aja tuh buku. Mikirnya, halah totalan baru 30rb doang ini.

Dan, pas muterin tumpukan buku, tetiba saya menemukan buku dengan embel2 deplu. Anehnya, saya ambil aja tuh buku. Haddehh... ngapa coba ya saya ini? Tapi yaa sudahlah. Buat pantes2an aja sih sebagai alumni HI. Tadi aja, pegang buku Obama harganya cuman 20rb pengen nenteng aja. Buku Bill Clinton hard cover cuma 25rb tergiur juga. Buku Seri Cina, Mesir, dan kepulauan Britania harganya masing2 10rb, udah dilema aja. Tapi karena toh duit yang selembar itu nggak bisa menduplikasi diri di dompet, maka yaa sudahlah. Saya letakkan kembali Obama, Clinton, Mesir, Cina dan Britania kembali ke tempatnya. #mupeng

Well tadi juga ada buku pemikiran Marxis discount 40%. Pengen ngambil sih tadi, cuma yaaaaahhhh, on the second thought saya kembalikan lagi. Lain kali aja kalo berjodoh lagi. Ehehehehe

Saya jadi keinget percakapan dengan seorang teman saat maen ke gramedia matraman bulan juni lalu. Saya senyum-senyum sendiri inget pertanyaannya yang nggak bisa saya jawab saat itu. Hiihii

Well, biarin lah duit biru melayang nggak nongkrong lagi di dalam dompet. It's ok. Ongkos buat hari jum'at, sabtu, ahad, rabu, jum'at, dan sabtu kedepan gimana? Haahaa, I'm preparing my foot buat kuat jalan kaki. Hiihii