Tampilkan postingan dengan label self note. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label self note. Tampilkan semua postingan

After 8 Years


Aku udah duga sih kalo Mom bakal kayak gitu. Biasanya Mom nggak pernah masuk kamar, tidur cepet sebelum jam 9. Tapi malam ini mom bahkan udah masuk kamar jam 8.30, jam 9 sudah didapati kalo mom tertidur. Ini mungkin karena aku. Pembicaraanku sore tadi.

Aku tiba-tiba saja membeberkan rencanaku pada mom dan my sista' sore tadi saat kumpul santai di ruang keluarga. Berdiskusi, mencari solusi terbaik atas apa yang sudah kurencanakan. Dan nyokap bilang oke. Mendukung apa yang sudah kususun untuk kujalani. Aku (kembali) akan pergi lagi.

Sebenarnya, aku nggak mendadak memberitahukan ini ke mom dan my sista. Aku sudah menguraikan rencanaku pada mereka sejak sekitar bulan Maret lalu. Tapi, memang belum ada waktu pasti. Sore tadi, aku meminta pendapat dari mereka, karena ada tawaran aku harus pergi pekan ini.

Aku tahu pasti, meski tadi mom bilang oke. Mendukung keputusanku, tapi aku tau masih sangat sulit untuk mom melepasku. Ia lebih senang jika aku berada di dekatnya. Karena prinsipnya, 'tempat terbaik bagi anak perempuan adalah di dekat orang tuanya.' 

But mom, you know that I waited for 8 years, right? I tried to keep up with all these things here for 8 years. And you know bout me better because Im your own daughter. I cant be tied down, mom. I just cant be settled at one place without escalations. Without any improvement. I need to spread my wings and go higher.

Mom, i felt so stuck and stressed out for a long time this past 8 years. I always asked myself, what i gained? Whats my improvement? What have i done with my life? You know that as for me, my life cant be the same. I don't like when my life seems so flat. I cant live in a (normal) comfort zone as others. I love challenges. I'd love to ride my life (as) on a rollercoaster. I like feeling the up and down. And mom, don't you know, i love talking about my struggling.

So mom, try to bear with my desicion. I promise you, i may not be able to be by your side for a year. I'll be back to you after i finished it and bring the better me. Unless Allah gives me another destiny. The best for me.

You saw me through this past 8 years right? I changed mom. Im not that fragile anymore. Maybe Im still stupid sometimes, but Im stronger, independent and good learner now. I might be still greedy. But you know that I took a 'U turn' as you guided me, and i changed my direction, mom. My greediness isnt about money, career, or fame. I wont work as you asked me not to. I'll live my life as an unemployed but still happy with a lot of activities. Trust me, mom. Trust me. 

Mom, i love you with all my heart. But you know, this is about my life we're talking about. So, please keep up with me.



-------------------

So much thanks to Pams. Stranger who said hi, then exchanging some english convo. And made me realize that I need to re-arrange my thought, making my desicions. Pams reminded me that it is about my life i should never neglect. Thanks Pams.



Don't Gaze Your Future Sadly




Pernah dengar tentang klasifikasi manusia seperti ini?

1. Jenis Manusia yang Tahu bahwa dirinya Tahu.
2. Jenis Manusia yang Tahu kalo dirinya Tidak Tahu.
3. Jenis Manusia yang Tidak Tahu kalo dirinya Tahu.
4. Jenis Manusia yang Tidak Tahu kalo dirinya Tidak Tahu.

Saya sendiri sudah beberapa lama ini menganalisa bahwa saya masuk pada jenis manusia yang pertama dan kedua. Setelah bertahun-tahun saya berkutat dengan hipotesa-hipotesa. Berapa lama waktu yang saya habiskan dalam sebuah kesimpulan, “there’s something wrong with me.” But I don’t really know what’s really wrong tho.

Yang jelas, saya tahu pasti bahwa saya memiliki segala pengetahuan yang sedikit itu. Saya masuk pada kategori Tahu. Hanya saja, I’m still wondering, knowing a little much is another burden. Kalo kamu tahu sesuatu itu salah dan kamu masih saja melakukannya, maka kamu akan mengalami perang batin. Dan itu tidaklah mudah. Kalo kamu tahu hal yang seharusnya kamu lakukan tapi justru nggak kamu lakukan, maka akan ada justifikasi dan segala self blaming. Dan itu adalah hal yang menyakitkan.

Knowing a little much sometimes isn’t better, I guess. Because it will torture you more than anything else. 

Terlepas dari semua itu saya masih akan tetap bersyukur. Saya rasa, ini semua adalah salah satu bentuk penjagaan Allah terhadap diri saya. Saya tahu benar bagaimana aura negative itu memenuhi ruang nafas saya. Dan segala pengetahuan yang sedikit itu menjadi filter sekaligus prosesor agar aura positif bisa menggantikannya. Meski terkadang filter itu masih sering bocor. Dan prosesornya terkadang macet. Haha.

Maka, sangat benar yang sebuah perkataan yang dikirimkan oleh teman saya: 



Ketika tadi saya scrolling down lini masa, dan mendapati sebuah kutipan dari seorang yang memutuskan pindah dari negeri sendiri untuk berjuang di negeri asing (yang ia pilih) sana, maka saya melihat ada desah ketakutan yang wajar dimiliki manusia. Namun hebatnya, ia mampu untuk bertekad dan berpasrah pada Allah sebagai Tuhannya. Dari sisi ragawi, yang tampak di hadapan manusia, mungkin ia bukan seorang yang shaleh (atau setidaknya belum sampai pada taraf keshalehan umumnya). Tapi dari sisi kepasrahan dan keyakinan pada Allah, saya harus meneladaninya. Kalau kamu memang memiliki pengetahuan yang sedikit itu, haps, maka kamu harus bisa melawan ketakutan-ketakutanmu dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya sumber kekuatanmu.  

Ohya, dia juga mengatakan: Manusia punya rasa takut, tapi manusia punya Tuhan, yang menghilangkan rasa sedih dan takut. Sebaik-baik pelindung adalah Dia, Sang Maha (Allah). Percaya saja.

Dia juga mengingatkan tentang bagaimana hebatnya persiapan berupa : Perencanaan. Dan ketetapan akan takdir Allah akan kemudahan yang membuat kita maju, atau kesulitan yang menahan kita dan seharusnya menjadikan kita ikhlas, pasrah.

Terimakasih penulis kesayangan. Tulisanmu benar-benar menginspirasi. Semoga Allah beri mbak taufiq, hidayah serta kebaikan yang berlimpah.

Dan untukku, semoga Allah memperbaiki semua urusan dan keadaan. Don’t be afraid, haps. You have Allah, right?  No need to worry. Ask Him to turn what you wish you'll be.

Really. Don't gaze your future sadly, haps. Cheer up!




~~~~~~~~~~~~~~~~

Ohya, saya masih terus bergumul dengan segala ketakutan-ketakutan saya akan masa depan. Di luar mungkin saya terlihat tenang, but i can't deny it's boiling deep inside. Haha. Ini salah satu cara saya untuk menenangkan diri. Kamu tahu teorinya, pasti akan diuji dengan praakteknya, right? Semoga saya lulus ujian ya.




Still About Me?!


Hai Haps, gimana keadaanmu hari ini??? Kamu pasti sangat tahu tentang kekuranganmu, keburukanmu, kan? Bahkan, seingatku kamu pernah meluangkan waktu untuk sekedar nge-list mana-mana saja kebaikan dan keburukanmu. Dan hasilnya banyakan mana? Kamu pasti masih ingat. Jadi, adakah usahamu untuk memperbaiki ataupun menambah apa-apa yang masih kurang di dirimu???

Haps, berapa usiamu sekarang? Apa yang sudah kamu lakukan untuk hidupmu?? Anak-anak yang banyak berkhayal itu aja tau loh kalo hidup ini cuma sekali dijalani. Setelah itu, sudah nggak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu keputusan. Jadi, apa yang sudah kamu perbuat, Haps??

Haps, kamu masih berorientasi dengan kebahagiaan?? Kebahagiaan yang seperti apa yang kamu harapkan, Haps?? Pernah nggak sih kamu tanya ke dirimu, sebenarnya kamu mau punya hidup yang bagaimana? 

Haps, udah lama ya kita nggak saling berkompromi.

* * *

Saya bahagia. Itulah yang selalu saya katakan. Setidak-tidaknya dengan berkata seperti itu, saya jadi bisa memandang hidup lebih optimis lagi. Ah, enggak. Hidup saya nggak gloomy-gloomy amat kok. Tapi, bukankah semua orang pun memiliki kehidupan yang fluktuatif? Kadang, ada saja hal-hal yang menyakitkan. Ada saja hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan. Dan dengan hal-hal seperti itu, hidup kadang terasa begitu menyedihkan. Dan kalau sudah begitu, semua hal yang membahagiakan seolah-olah tertutupi dengan kesedihan yang nggak seberapa itu.

Saya mungkin bukan tipikal orang yang easy-going, meski saya ingin banget agar saya bisa easy-going gitu. Saya pun masih sering mengalami dis-orientasi. Masih sering meluap-luap. Masih sering terlalu bersemangat, dan langsung down jika mendapati lingkungan yang nggak seimbang dengan semangat saya itu. Saya masih up and down, lalu up and down, trus kembali up lalu tetiba down lagi. begitu terus siklus saya. Tapi, meski begitu, saya sudah mulai berusaha mencintai diri saya sendiri. Saya belajar untuk memaafkan diri sendiri dan nggak begitu hard lagi. Meski kadang masih sering kalah dan lupa.

Saya, mungkin masih belum tahu tentang apa yang saya ingini. Tentang apa yang saya harapkan dari kehidupanku ini. Tapi, saya memiliki keyakinan yang kuat tentang rencana Allah atas diri saya. Saya, berusaha menguatkan diri tentang keyakinan bahwa Allah telah menuliskan takdir hidup saya  bahkan jauh sebelum saya lahir ke dunia. Saya nggak begitu takut lagi dengan masa depan yang bahkan belum saya jalani. Saya sudah nggak begitu khawatir dengan uang dan perkara-perkara materi. Mungkin, karena saya terus berusaha melatih diri untuk nggak begitu greedy. Saya nggak begitu terbebani dengan jodoh yang masih belum saja datang meski usia saya sudah hampir menginjak 30 gini. Karena saya menguatkan keyakinan tentang kehendak Allah yang pasti akan terjadi. Keyakinan-keyakinan itu, insya Allah menancap kuat di diri saya. Jadi, tugas saya adalah bagaimana mensinergiskan keyakinan itu pada ikhtiar-ikhtiar ragawi ya... Haha, kamu, Haps.....!



I Refuse



Saya menolak untuk kembali pada rasa sakit yang sama. Alangkah bodohnya saya, kalau berkali-kali saya mendapati hal itu, dan saya masih saja terluka. Saya menolak rasa sakit itu. Kalau memang saya nggak bisa membuat diri saya menghindar dari perlakuan itu, maka saya akan buat diri saya kebal dengan perlakuan yang mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan kali saya dapatkan. Saya menolak untuk terluka. Bodohnya saya kalau saya masih saja menangisi hal yang sama. Sungguh bodoh. Saya nggak akan menangis lagi. I'm not in my teens anymore. So now I confident to say that I refuse to fall into your way on hurting me. You say it's your way to show your love? Bodohnya saya kalau masih saja tertipu dengan "tradisi" yang aneh itu.

Mungkin saya masih saja nggak punya kemampuan untuk keluar dari tradisi yang salah ini. Tapi, saya tahu dan yakin bahwa saya akan memutus tradisi ini. I refuse to become the one you create me to be. Saya nggak mau lagi-lagi terluka dengan hal yang sama. Sudah habis airmata saya untuk menangisi hal yang begitu-begitu saja. Saya  bertekad untuk bahagia. Maka, saya hanya menyiapkan senyum dan tawa. Saya sudah tak butuh air mata apalagi luka.

Saya sudah hampir 30, bodohnya saya kalau masih saja menangis seperti balita.

Saya kuat seperti beruang, tauk. Dan saya telah memilih menjalani hidup dengan bahagia. B-A-H-A-G-I-A. Kamu dengar itu??? Maka saya nggak akan mau terluka dengan sikapmu itu.
Sudah cukup. Lukai saja orang lain. Tapi, kamu nggak akan bisa lagi melukai saya. Karena saya menolak untuk (kembali) terluka.


***

Inget Haps, kamu pernah ngomong apa ke dirimu sendiri di lantai dua tepat di depan kelasmu? "You're a great girl. Cewek hebat nggak akan menangisi hal bodoh kayak gini. Dan kamu cewek hebat kan, haps?" Dan setelah itu kamu berjanji pada dirimu untuk nggak menangisi hal yang sepele. Kamu menyimpan air matamu dan menjadikan dirimu kuat.

Haps, kamu yang sekarang kalah dengan kamu yang masih pakai seragam sekolah????????



Sentimentil


Sore ini saya sedikit sentimen. Saat pulang, entah karena saya capek, atau memang karena cuaca begitu panas, saya merasa begitu peluh. Angkot yang saya tumpangi panasnya minta ampun. Penuh sesak. Ditambah lagi ban kiri belakang mobil kempes. Mobil berhenti dulu untuk isi angin. Betapa kayak di'oven' kondisi dalam angkot tadi. Karena suasana yang penuh, saya agak sedikit kepayahan. Gamis saya panjang dan lebar. Saya bawa tas sekaligus tentengan (saya beli roti tawar untuk bekal keponakan saya di salah satu toko roti). Dan angkot benar-benar dalam kondisi penuh sesak. Saya udah khawatir banget-banget. Saya berdo'a terus-terusan agar ada penumpang yang turun sebelum saya. Jadi saya nggak "rempong-rempong amat" saat turun. Ternyata, Allah nggak kabulkan doa saya. Sayalah penumpang yang pertama turun.

Saya biasanya nggak memilih melalui jalan yang dalam (ditempat saya dikenal dengan sebutan "bambu"). Saya biasanya memilih berjalan kaki melalui jalan besar (disebut "perintis"). Tapi karena pertimbangan "rempong" tadi, saya nggak mau menyusahkan banyak orang sehingga memilih berhenti di "bambu" (berhenti di perintis agak menyulitkan orang lain karena kondisinya adalah tempat memutar kendaraan dari arah berlawanan). Akhirnya saya berjalan kaki melalui jalan dalam.

Nggak berapa lama saya jalan, saya bertemu dengan Yudi. Seorang yang maaf, agak berbeda dari orang pada umumnya. Dia memiliki keterbelakangan mental. Sulit berbicara, saraf pada mulutnya agak bermasalah, dan kakinya pun agak kecil dan bengkok. Sebagaimana yang diajarkan ibu saya, kalau bertemu dengan Yudi saya selalu merogoh uang yang bisa saya temukan untuk diberikan padanya. Uniknya, Yudi ini sangat suka jalan-jalan. Ia akan terus berjalan dan kemudian pulang. Ia bukan peminta-minta. Keluarganya pun nggak tergolong miskin meski bukan pula orang kaya.

Begitu melihat Yudi, saya langsung merogoh uang yang ada ditas saya. Dan saya cuma menemukan Rp 2000,- karena saya nggak sempat buka-buka dompet saya. Ketika Yudi berlalu, sebelum berbelok saya memperhatikan Yudi dari belakang. Dan lalu saya menyesal. Kenapa cuma Rp 2000,- yang saya keluarkan? kenapa bukan Rp 5.000,-? Padahal di dompet saya ada uang Rp 10.000,- bahkan Rp 50.000,- pun ada?!! Lalu saya menyesal. Saya menyesal. Saya berdiri agak lama memperhatikan punggung Yudi yang semakin menjauh. Jalannya sudah agak kesulitan karena kondisi kakinya yang kecil dan bengkok. Tangan kirinya pun tak seperti tangan kannya yang normal. Tapi, saat saya beri uang tadi, saya lihat wajahnya yang bahagia. Dengan ketidaknormalannya, Yudi pun bisa merasa bahagia.

Ketika saya meneruskan langkah untuk pulang, tiba-tiba mata saya terasa panas. Sebelum jatuh, saya menghapus airmata cepat-cepat. Saya nggak ingin ada adegan drama, dimana orang-orang yang saya lewati bertanya kenapa saya menangis. Tapi, air mata saya tampaknya cukup banyak volumenya. Karena ia masih tak mau berhenti meski sudah sekitar 25-an langkah saya lewati. Tapi, saya sedikit bisa meredam sentimen saya ketika 4 orang anak kecil murid TPQ saya yang baru pulang ngaji datang mengampiri saya untuk bersalaman.

Baru sebentar saya keluar dari sentimen saya (sekitar 25-an langkah berikutnya), saya bertemu dengan ibu dari salah satu murid TPQ saya yang sedang mengorek-ngorek tempat sampah tetangganya yang kaya raya. Dia menyapa saya sambil meneruskan aktivitasnya. Saya nggak berpikir apa-apa sebenarnya, ketika melewatinya dan balas membalas sapaannya. Tapi Ibu itu justru berkata pada saya menjelaskan, "Lagi ngambil sisa nasi untuk makan ayam, bu."

Setelah mendengar perkataan itu, sentimen saya muncul lagi. Saya kembali menangis. Sore ini saya sentimentil. Padahal, saya nggak bertanya pada Ibu itu. Ia pun tak perlu menjelaskan apa-apa pada saya. Tapi, ketika mengatakan itu, Ibu itu tak perlu malu. Bisa jadi ia bahagia dengan hidupnya. Dengan aktivitas memelihara ayamnya.

Lalu saya bertanya pada diri saya, 

"apa yang masih membuatmu tidak bahagia, haps???"

"apa yang masih kau keluhkan dari hidupmu, haps???"

"apa  yang masih membuatmu tidak bersyukur, haps???"

Bahkan ketika saya me-recall kejadian sore tadi, saya masih tidak bisa menahan air mata saya untuk tidak jatuh.

Ya Allah, jadikan saya sebagai hamba yang pandai bersyukur.







__________________________________

Alhamdulillah-nya, ketika saya menangis di sepanjang jalan tadi tak ada orang yang melihat. Saya melewati rumah orang-orang yang pagarnya tinggi-tinggi. Mereka tak punya waktu untuk mengetahui apa yang terjadi di luar pintu pagar mereka.

Writing WAS My Healing Process


"Haps, kamu sekarang udah jarang nulis lagi ya?"

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman menanyakan hal itu padaku via messenger. Sempet hesitate, antara jawab lucu-lucuan atau emang jujur aja. Akhirnya saya pilih tengah. Jawaban jujur tapi dibikin lucu. Haha.

Sempet, saya berkali-kali berpikir bahwa vakumnya saya dari menulis adalah karena kesibukan. Tapi, eventually saya paham banget bahwa bukan itu jawabannya. Sesibuk apapun, itu bukan hal paling krusial sehingga saya nggak lagi menulis. Dan memang, ada alasan yang lain selain kesibukan.

Yah, writing was my healing process.....

Kenapa saya pakai past tense dalam kalimat itu? Karena itulah jawaban dari pertanyaan teman saya. Dahulu, saya sering merasa tidak bahagia. Saya berkali-kali mendapatkan kekecewaan dan pengkhianatan. Saya terlalu banyak melihat kehidupan dari sudut pandang yang gelap. Saya selalu menganggap bahwa happy ending hanya ada pada dongeng belaka. Maka, saya berusaha mengobati luka di hati saya dengan menulis.

Dengan menulis (dahulunya) saya berusaha menguatkan diri saya. Agar tidak melakukan hal-hal bodoh yang akan saya sesali kedepannya. Dengan menulis (dahulunya) saya berusaha untuk menghibur diri saya. Agar di sela-sela tangis, saya tak lupa bagaimana cara tertawa. Dan dengan menulis, (dahulunya) saya berusaha menguntai asa. Bahwa kelak saya akan mendapat kebahagiaan sebagaimana yang saya harapkan.

Maka, saya terus saja menulis. Dan, saya tak pernah menulis untuk orang lain. Menulis adalah cara saya untuk berkomunikasi dengan diri sendiri. As my healing process.

Dan, 2 atau 3 tahun belakangan ini, saya merasa my heart's more at ease. Saya nggak bilang bahwa saya telah menemukan kebahagiaan. Nggak sejauh itu, tapi saya udah nggak begitu greedy lagi. Saya udah nggak begitu fragile lagi. Saya udah mulai melihat dunia dari sisi yang terang. Saya berusaha menerima kesedihan beriringan dengan hal-hal yang menyenangkan. Dan, mungkin saja kebahagiaan bermulai dari bagaimana kita bisa menerima hal-hal yang ada ataupun yang datang pada kita dengan hati yang lapang.

Well, seiring berjalannya waktu, menulis mulai tak lagi jadi kebutuhan saya. Yah, karena mungkin healing process itu tak lagi se-urgen dahulu. Sebagaimana seseorang yang telah sembuh dari sakitnya, maka ia tak perlu lagi mengkonsumsi obat dari dokter. Karena menulis mungkin bukan antibiotik buat saya. Haha

Jadi, jika saya sudah tak lagi menulis, yakinlah bahwa................


sumber: random by googling

WishList yang (se-) Harus (-nya) Terpenuhi


pernah saya tulis disini

Postingan itu saya buat di bulan Desember 2013. Dan, saat ini sudah tahun 2015 yang berarti tahun 2014 telah berakhir. Tapi, dari sekian banyak wish list yang buat, cuma dua yang terlaksana. Satu saya laksanakan sendiri. Yang satu karena orang lain.

"ganti nomor kartu ponsel tanpa perlu konfirmasi sana-sini" benar-benar saya lakukan di awal 2014 lalu. Dan, rasanya begitu nyaman yet membuat rindu hari-hari tenang tanpa notifikasi sms atau dering telpon yang melulu. Sekitar 2 atau 3 bulanan saya benar-benar nggak komunikasi kecuali kepada keluarga dan beberapa teman saya. Haha, dan saya bisa! Well, tapi sekarang nomor kartu ponsel saya sudah menyebar kemana-mana lagi. Dan, nggak apa-apa juga sih. Ahaha

" Tas selempang yang talinya panjang" akhirnya saya miliki karena pemberian dari temen-temen saya di Malahayati. Selama setahun kurang sebulan (mereka memberikan ke saya sekitar bulan Februari kalo saya nggak salah ingat) tas itu saya pakai kemana-mana. Tipikal saya, kalau sudah nyaman dengan satu barang (tas, sepatu, dsb) saya akan pakai itu terus. Dan, tepat kemarin akhirnya resletingnya rusak sudah. Haha. (jahatnya saya, sering maksain kapasitas muatan pada tas yang tergolong kecil. haha)

Well, selainnya saya nggak memenuhi wishlist yang telah saya tulis sendiri. Sampai musim hujan yang telah hampir mengering ini lagi, saya belum juga beli jaket yang slim tapi tetap hangat ataupun membeli payung lipat. Entah juga kenapanya, tapi meski duit ada, kesempatan untuk membeli itu yang nggak pernah ada. Mungkin, emang saya saat itu belum benar-benar butuh mungkin.

Sampai tahun 2015 ini, saya nggak melakukan travelling ke Batam ataupun Palembang. Saya emang bukan orang yang bisa melakukan perjalanan tanpa suatu tujuan. Dan, alhamdulillah juga sih seenggaknya saya nggak bersafar tanpa mahram. hehe

Dan, terakhir saya tetap saja nggak punya 'mood' untuk menggambar ataupun menemukan giwang yang cocok dengan selera saya. Tapi ya sudahlah. kedepannya, saya akan meneuliskan wishlist yang jauh lebih bermanfaat dan akan saya perjuangkan untuk bisa memenuhinya.

Wish list yang pertama yang nyangkut di kepala saya adalah: M.E.N.I.K.A.H  dengan laki-laki paling sholih di jaman saya Aamiin Yaa Rabb. Ahahaha :))

Well, selain itu, saya harus benar-benar fokus dengan perbaikan diri kali ini. Mulai dengan memperbaiki ibadah dan fokus perhatian pada ilmu syar'i. Mudah-mudahan Allah memudahkan.

Semangat ya, haps! :))

Life Learning




Selama di Lampung ini, saya lebih sering berinteraksi dengan sekumpulan Ibu-Ibu yang usianya sudah 40an keatas bahkan sudah punya cucu. Awalnya, saya kebingungan karena saya merasa style saya anak muda banget, jadi saya sering mati gaya kalau dihadapkan dengan Ibu-Ibu. Tapi, sebulan, dua bulan, dan sekarang hampir setahun saya bermulazamah, akhirnya saya terbiasa juga. Saya berpikir, 'mungkin ini sarana belajar bagi saya yang akan menjalani proses menjadi seperti mereka kelak.' Dan ya, saya jadi lebih santai bercengkrama dgn mereka.

Sepanjang interaksi saya dengan mereka, ada beberapa hal yang saya bisa petik sebagai pelajaran untuk saya pribadi. Betapa semangat mereka untuk menuntut ilmu di usia mereka yang sudah tidak lagi muda menjadi pelajaran berharga. Belum lagi ketika berkaitan dengan dana, mereka semangat banget membagi harta jika itu untuk kepentingan agama. Dan, ada satu hal lagi yang kmrn baru saya dapat.

Kemarin, saya sempat berbincang dengan salah seorang Ibu teman pengajian saya. Saya penasaran, karena ketika saya datang kerumahnya, saya melihat bagaimana keIslaman dirumah beliau terkesan begitu kondusif. Rumahnya terasa sejuk, anak-anaknya (keduanya perempuan) sopan dan kelihatan hanif (semoga besar mereka jadi perempuan-perempuan sholihah), dan saya ingat si Ibu itu punya pengetahuan yang banyak terkait hadits-hadits Rasulullah. Jadi, saya keluarkan pertanyaan yang sempat saya simpan, 'Kalau boleh tau Bu, suami Ibu ikut ta'lim (pengajian) gitu nggak?'
Si Ibu menjawab, 'Semenjak rumah saya di renovasi mbak, nggak ta'lim lagi krna nggak ada tempat buat ta'lim. Tapi suami saya emang udah kenal sama ustadz F.'

Saya bingung, apa hubungannya renovasi rumah sama ta'lim. Nggak mungkin suaminya yg turun tangan untuk merenovasi sendiri kan? Haha. Jadi saya bertanya, 'Maksudnya Bu?'

'Sebelum di renovasi kan ta'limnya di rumah saya mbak. Yang isi materi, ustadz F, pesertanya bapak-bapak kompleks sini. Soalnya di masjid depan kompleks ustadznya masih pake yasinan, maulidan, dsb. Tapi karena rumah saya direnovasi, jadi sementara libur dulu karena nggak ada tempat, sampai renovasinya selesai.'

Saya paham, 'Oo, iya Bu. Maksud saya, berarti suami Ibu udah nggak asing sama ta'lim ya. Artinya Ibu dan suami sejalan terkait keIslaman ya.'

Dia menjawab, 'Ah, iya mbak. Justru suami saya duluan yang kenal ta'lim dibanding saya. Karena suami saya kenal dengan ustadz F, trus ikut ta'lim dan ngajak saya, makanya saya jadi kenal ta'lim, mbak.'

Saya senyum.

Saya kebayang, betapa timpangnya kehidupan rumah tangga yang Ibu-Ibunya udah kenal ta’lim, menginginkan anak-anaknya dididik dengan baik dan benar, tapi justru terhambat karena suami ternyata nggak sejalan. Suaminya belum kenal dengan ta’lim ternyata. Dan betapa nyamannya diperhatikan, jika seorang suami memang sudah mengerti tentang bagaimana Islam yang sebenarnya, untuk mendidik anak-anak agar bisa berIslam dengan benar, jadi lebih mudah.

Sepulang dari rumah Ibu tersebut, saya jadi berazzam dan bermunajat pada Allah. Agar jika saya menikah, saya ingin agar calon suami saya orang yang paham tentang Islam yang benar.