Saya mengenal perempuan hitam manis itu. Dia tipikal manusia suram. Tak suka dengan kisah-kisah yang berakhir bahagia. Katanya: "Kisah picisan hanya membuat cewek-cewek lembek. Padahal, seharusnya mereka tahu, bahwa hidup nggak selalu nyaman-nyaman saja. Bahwa hidup nggak melulu bertutur tentang kebahagiaan. Ada luka menganga dimana-mana." Saya terkejut. Ia seperti saya di masa lalu.
Yang menarik dari perempuan itu, ia nggak pernah bercerita tentang kepedihan apa yang sebenarnya ia bawa. Sampai-sampai ia sesuram itu menghadapi hidup. Ia pernah menuturkan pada saya tentang kebenciannya pada dunia. Kebenciannya pada kehidupan yang ia jalani sendiri. Tapi ia nggak pernah mengatakan padaku tentang apa yang jauh di dalam sana ia simpan untuk dunia. Karena toh, sampai hari ketika kami bertukar kata, ia masih nggak berani mengambil langkah untuk mengakhiri hidupnya. Padahal, katanya, ia benci setengah mati dengan hidupnya selama ini. Saya lalu bertanya-tanya dalam hati, apa ia masih mengharap agar Tuhan memberinya kebahagiaan pada akhirnya? Beruntung jika ia masih menyimpan harapan meski sekecil apapun.
Sejujurnya saya kasihan. Gemas. Dan juga ingin membantu perempuan itu. Sekali lagi, saya seperti dihadapkan dengan masalaluku. Tapi, apa yang bisa kukatakan? Saya hendak bilang, "Hei girl, move on dong. Ngapain sih terus-terusan hidup dengan bayang-bayang masa lalu? Apa kamu nggak sumpek dengan semua kesuramanmu itu?" Tapi kok kayaknya saya kejam amat yah. Lagian, saya masih punya hati sih, nggak mungkin bisa ngomong langsung ke perempuan itu.
Pada akhirnya yang bisa saya lakukan hanya mengungkap aibnya di dunia maya melalui blog saya ini. Dan sepertinya tindakan ini malah lebih kejam. Tapi-tapi, saya hanya berharap semoga semua yang baca ini bisa mengambil pelajaran.
Hei perempuan manis, sampai kapan kau akan hidup di masa lalu? Nggak bisakah kau lupakan dan maafkan saja semua?
ada pembelajaran yg harus dijalani seorang diri dew. let her do it and find the way :)
BalasHapus