Satu Kesempatan Lain

Saya terbangun. Maksud saya, saya belum benar-benar bangun dari tempat tidur, saya masih berbaring. Hanya saja saya sudah mendapatkan kesadaran saya kembali. Saya meresapi apa yang baru saja saya alami. Aneh... Sudah lama sekali saya tak bermimpi seperti itu. Sudah hampir dua tahun. Tapi kenapa hari ini...

Saya mengambil my stupid phone  dan melihat jam digital disana. Jam 5. Saya menegakkan tubuh dan duduk di sisi ranjang. Seperti pagi-pagi biasanya, saya memulai hari dengan minum segelas air putih dan segera ke kamar mandi. Wudhu, lalu menunaikan kewajiban subuh saya.

Pukul 6 kurang, atau bisa juga setengah 6 lewat, saya mencoba berbaring kembali. Rumah masih sepi. Bagaimana tidak, dua bocah unyu di rumah ini tadi malam tidur sedikit larut. Mereka pasti masih terbuai alam mimpi. Lalu, mimpi semalam berkelebat lagi. Dan sekejap saja, saya tahu saya tak akan bisa tidur lagi.

Saya merasa aneh sekali. Tahun-tahun sebelumnya, saya mungkin masih terbiasa. Tapi tidak saat ini. Kepala saya terasa berat. Saya butuh sesuatu. Kopi mungkin? Yah, kopi. Saya turun dari ranjang. Segelas kopi mungkin cukup untuk membantu saya melewati hari ini.

Saya duduk di atas dipan di rumah bagian belakang, di bawah langit yang masih temaram. Suasana pagi ini tak terlalu dingin. Lalu saya mulai menyesap kopi perlahan. Sembari (masih) memikirkan apa yang terjadi pada saya. Mungkinkah saya kembali mengalami depresi klinis? Tapi, saya telah sembuh dua tahun yang lalu. Setidaknya, begitulah yang saya rasa, meski saya memang tak pernah lagi konsultasi ke dokter. Dan memang setahun belakangan ini saya tak pernah lagi merasa berat.  Tak pernah lagi merasa seperti berjalan di atas air. Saya tak pernah lagi terjaga dengan perasaan... lelah. Tidak, sampai pagi ini.

Saya menyesap kopi hingga habis. Lalu tertawa sendiri. Jika memang saya kembali mengalami depresi klinis, seharusnya saya menjauhkan diri dari kopi. Bukan malah punya pikiran untuk menyeduh segelas lagi. Ah, i must be out of my mind.

Saya mengurungkan niat untuk meminum segelas kopi lagi. Langit sudah tampak begitu terang. Saya agaknya mengerti alasan mengapa saya kembali seperti ini. Dan, saya bisa saja menolaknya. Tapi tidak, sesungguhnya saya tahu pasti saya tak bisa lari lagi.

Percayalah, haps. Mungkin kesempatan itu datang kembali padamu. Kalau kau masih terus lari, apakah kau yakin Allah masih akan memberimu kesempatan di lain kali?

Ya, mungkin kata-kata kak Farah benar. Saya tak bisa lari lagi. Saya mungkin sudah tak punya kesempatan untuk bersembunyi lagi. Mungkin, sudah saatnya saya kembali. Mungkin, sudah saatnya saya berjuang lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarnya masuk kotak penampungan dulu ya...

Just make sure saya baca satu persatu :-)