Sejenak tadi saya terpana dengan hujan. Ketika ia berserobok dengan kilau lampu jalan.
"Maaf kak, saya nggak bisa."
"Kenapa, de? Padahal kamu tahu persis kalau kamu bisa melakukannya."
"Maaf kak, tapi saya nggak bisa."
"Saya tahu kamu akan bilang seperti itu. Tapi saya benar-benar ingin kamu jujur terhadap diri kamu sendiri."
Percakapan itu masih menggelayut di kepala. Memberatkan. Ketika berpisah tadi, saya mungkin masih bisa memperlihatkan wajah saya yang tertawa, tapi sebenarnya ada yang mengganjal di hati saya.
Ini sudah malam, dan saya masih menunggu jemputan. Sendirian. Ponsel di tangan berdering. Segera saya angkat,
"Vi, kamu dimana? Katanya suruh jemput di depan TMP."
"Iya, saya kesana sekarang."
Saya menyebrang. Dan, hei apa ini? Hujan deras tiba-tiba mengguyur jalanan. Saya berlari mencari atap terdekat. (yang pada kenyataannya tidak cukup dekat)
"Saya kira mobil yang di depan TMP tadi loh." kata saya mengajak bergurau.
"Aamiin. Mudah-mudahan tahun depan."
Lalu kami menunggu hujan dalam diam. Sementara motor ada di hadapan kami, tersiram hujan dengan pasrah. Saya lapar. Saya kangen dengan dua keponakan saya yang lucu. Tapi saya sedang tak ingin bicara. Maka saya mengeluarkan buku, di bawah penerangan lampu jalan saya membaca.
Sepuluh menit, entahlah mungkin kisaran itu, hujan pun mulai reda. Kami bersepakat utk pulang. Saya masih sibuk dengan pikiran saya sendiri.
Saya menengadahkan kepala ke atas. Hanya ingin penat itu sedikit berkurang. Dan wow, pemandangan yang terhampar indah sekali. Kilau lampu jalan menghampar tetes-tetes hujan yang lembut jatuh tak beraturan. Kali ini, untuk kali ini saja, saya membiarkan gerimis menyapu pipi saya. Lembut, dingin...
woiii...
BalasHapusmasih ada ji fb mi anu..belumpi terhapus...
uuu romantis romantis percikannya...
BalasHapus