Disorientasi (lagi)


Masih inget, kata teman saya semasa SMA dulu, saya ini pejuang tangguh. Nyatanya enggak. Saya ini nggak pernah benar-benar berusaha. Jadi, saya ini bukan pejuang tangguh.

Pas lebaran kemaren, saya komunikasi lagi sama temen SMA saya yang, udah lama banget lost contact. Dia, udah lulus s2 aja. Padahal semasa SMA, dia bukan termasuk "bintang kelas", nggak nampilin juga karakteristik "gila sekolah". Katanya pernah, dia terinspirasi sama saya yang selalu punya pemikiran maju. Saya yang sangat menyukai sekolah. Saya yang selalu haus dengan ilmu. Ceritanya, dia terinspirasi dari saya.

Jadi, lulus SMA kami sama2 ngelanjutin kuliah. Dia di Jogja saya di makassar. Dia ngambil matematika, saya hubungan internasional. Kami ngejalani hidup masing2, sesekali memotivasi untuk terus mengembangkan diri. And, time flies, kami sibuk masing2, saya cabut dari dunia per-FB-an, dia nggak tertarik dengan dunia per-twitter-an, so we're lost contact. Sampe akhirnya lebaran kemaren, saya (di) gabung (in) ke grup WA temen2 SMA saya, dan disitulah sy kembali berkomunikasi dengan teman saya ini.

Tanya kabar, dia bilang udah lulus s2 aja. Matematika. Subhanallah banget. Sementara saya masih stuck aja disini terus. Saya envy? Enggak sih, hanya berpikir, begitulah hidup. Life never goes as we decide how our life will be. Karena ada yang namanya, 'Sunnatullah' dan 'Qadarullah'.

So, yang terjadi kemarin adalah, temen saya ini ngajakin lanjut kuliah lagi (dia mau ambil s3, Phd). Oh God, dia semangat banget. Dia kasih lah saya info beasiswa. Saya untuk program master, dan dia untuk program doktor. Saya, terpacu lagi untuk lanjut kuliah.

Lagi semangat2nya, dia ngabarin kalo ternyata dia harus ngajar dulu di salah satu universitas, jd blm bisa lanjut lagi. Padahal dia pengen lanjut doktornya. Jadilah saya sendiri.

Lalu, saya berkutat dengan proposal penelitian sebagai satu syarat lanjut kuliah. Dan, saya tipikal gampang tertekan (stress) dengan sesuatu yang saya nggak bisa urai permasalahannya. Dengan kondisi otak saya yang mati suri selama 3 tahun dari dunia per-HI-an, saya harus bikin proposal penelitian tanpa ada yang membimbing, saya jauh dari teman2 yang bisa diajak diskusi, saya nggak tau di Lampung ini dimana saya bisa cari buku-buku HI, lalu saya stuck di TOEFL, dan juga keterbatasan fasilitas, saya jadi stress banget. Well, semangat saya turun lagi. Saya turn down lagi.

So, saya (ingin) menyerah saja lagi. Tapi, saya protes kepada diri saya sendiri. Bahwa ketika temen2 punya segudang cerita tentang perjuangan mereka yang begitu sulit, saya nggak punya semua itu. Karena saya bukan pejuang tangguh. Saya nggak pernah benar-benar berusaha. Saya nggak punya cerita melamar kerja kesana-kesini ditolak berkali-kali, kemudian setelah 20 sampai 50 kali berusaha baru akhirnya mendapat tempat dengan gaji tinggi, misalnya, dsb2. Saya enggak. Ketika pulang dan nyokap saya melarang saya kerja, saya diam saja. Saya letakkan ijazah saya di rak paling bawah lemari saya. Sudah.

Saya juga nggak punya cerita berkali-kali nyoba apply beasiswa. Sampai puluhan beasiswa dicoba, lalu akhirnya posting foto2 sedang di luar negeri. Enggak. Meski saya ingin lanjut kuliah dan cari beasiswa, saya nggak pernah benar-benar berusaha. Ketika saya semangat buat ngurus beasiswa, lalu saya stuck di satu atau dua hal, saya berhenti dari ngurus itu.

Lalu, saya bertanya, 'kemana Hapsari yang dulu selalu optimis dan nggak gampang menyerah, ya?' Saya yang saat ini, benar-benar bukan pejuang tangguh. Tapi, satu hal yang saya pahami, bahwa saya nggak mau menyesal untuk hal-hal berbau duniawi. I mean, secara manusiawi, saya selalu ingin dipandang sukses dimata orang-orang. Tapi, saya lebih memilih untuk selamat di akhirat. Buat saya, kesuksesan di dunia lebih mendekatkan saya kepada kekufuran, kepada kedurhakaan. Jadi, ketika saya mengupayakan sesuatu (terkait urusan duniawi), lalu saya stuck dan mendapat banyak hambatan, saya lebih memilih untuk nggak maksa. Karena saya khawatir, jangan sampai ternyata hal itu membawa saya pada kehancuran.

Karena, saya sudah pernah mengalami masa, dimana saya 'maksa' sama Allah agar keinginan saya terpenuhi. Bahwa apa yang saya upayakan harus terwujud. Tapi, pada akhirnya saya sadari bahwa hal tersebut nggak memberi manfaat banyak bagi saya, keluarga saya, atau agama saya. Jadi saya ingin agar saya yang sekarang, dengan bertambahnya usia, nggak mengulangi masa dengan penyesalan yang sama.

Saya juga nggak yakin sih pemikiran saya ini benar atau ini bagian dari kepicikan saya. Makanya, saya sering up and down at the same time. Apakah mungkin, saya akan mendapatkan sesuatu meski saya nggak berusaha keras untuk mendapatkannya? Apakah pemikiran itu bukan hanya sekedar upaya saya 'melegalkan' sifat pragmatis saya aja? Dan, up and down -nya saya at the same time itu memberi efek pada orang2 di sekeliling saya.  Jelas saja mereka nggak akan nyaman dengan saya yang up and down gitu.

Saya nggak tauapa yang harus saya lakukan saat ini. Kalau sedang depresi gini, saya sering memikirkan isi dompet saya, saya sering memikirkan status (prestis) saya. Saya sering memikirkan kehidupan saya yang biasa-biasa saja ini. Saya sering memikirkan aktivitas saya yang terkesan nggak "keren" ini. Tapi di sisi lain, saya selalu bersyukur bahwa Allah masih memberi saya ketakutan agar tidak terjerumus pada keputusan yang salah.

Well yah, saya sedang mengalami disorientasi (lagi). Dan saya berharap saya bisa keluar dari permasalahan saya ini (lagi).