Pada kenyataanya, saya paham ketika orang mengatakan, "experience is the best teacher". Bahwa terkadang sebuah teori saja itu masih belum cukup. Tapi, bagaimana ya? Apa mungkin memang saya yang terlalu takut? Apa memang saya ini begitu pengecut? Saya hanya nggak ingin terluka, maka saya menahan apapun yang saya pikir bisa melukai saya. Bahkan jika itu dengan tetap mempertahankan diri agar tetap pada zona nyaman saya.
Aih, rasanya pikiran saya mulai kacau lagi. Entah berapa lama waktu yang saya habiskan hanya untuk bergulat dengan pemikiran saya yang terkesan picik ini. Saya selalu berusaha untuk berkompromi pada hati saya. Saya selalu berharap, bahwa rasionalisme saya yang katanya setinggi langit itu bisa berjalan beriringan dengan hati saya yang labilnya luar biasa. Meski pada kenyataannya, sampai hari ini usia saya menginjak 26, saya masih belum mendapatkan kesimpulan dari kompromi antara hati dan pikiran saya. Keduanya begitu egois. Tak ada di antara mereka yang mau mengalah. Kalau sudah lelah, yang bisa saya katakan cuma, "ya sudahah, terserah lah...".
To be honest, ada beberapa hal yang saya konsisten meminta kepada Allah agar lebih baik saya tidak mengalami hal itu. Peduli apa sama "experience is the best teacher", saya benar-benar meminta Allah untuk tak mengalaminya saja. Bagaimana ya? Hm, ketakutan saya jauh lebih besar dibanding rasa percaya diri saya untuk berhasil melewati pengalaman itu. Kalau sudah begitu, senjata andalan saya adalah dengan bilang, "Kamu pengen selamat kan, Haps? It's okay, it's okay." Dan ada kesyukuran di balik masa kecil saya yang lebih banyak saya habiskan dengan menjadi orang yang individualis dan nggak memiliki tendensi untuk gabung dengan geng cewek-cewek di sekolah. Saya terbentuk menjadi orang yang nggak mudah terpengaruh. I have my own thought. Tapi, hal itu juga berimbas pada betapa ngeyel-nya saya yang masih sulit menerima nasehat dari orang lain.
Oh well, beberapa hari yang lalu saya habis sakit. Tepat setelah sembuh dari chikungunya. Saya mencoba introspeksi dan mendapati bahwa mungkin sakit itu adalah hukuman dari Allah atas kemaksiatan yang saya lakukan. Sebuah kemaksiatan karena sudah tahu kalau itu salah, dan masih saja dilakukan. Ketika sakit itu menyerang, saya benar-benar insyaf. Saya berpikir, betapa beruntung jika kita langsung di tegur di dunia. Kita masih memiliki waktu untuk mohon ampun dan berjanji untuk nggak mengulanginya. Maka saya bayangkan ayat-ayat di Al-Qur'an yang sering saya baca, yang menggambarkan penyesalan mereka yang dahulu gemar bermaksiat pada Allah di dunia, dan mereka bilang, "Oh, celakanya. Seandainya kita bisa kembali ke dunia dan mengulang waktu." (maksudnya mereka akan menghabiskan waktu mereka dalam ketaatan, nggak akan bermaksiat di dunia). Tapi digambarkan oleh Allah bahwa pikiran mereka itu sia-sia. mereka hanya memiliki penyesalan pada masa itu.
Ya Allah, saya bener-bener serasa hampir gila saat saya sakit waktu itu. Saya bener-bener bilang pada saat itu, "Ya Allah, mohon jangan hukum saya karena kesalahan saya itu. Mohon..." atau di lain waktu saya bilang begini, " Ya Allah, saya bener-bener menyesal karena selama ini nggak berhenti melakukan kemaksiatan itu. Ya Allah sembuhkan saya, Ya Allah..." Dan saya nggak bisa ke dokter (karena saya memang anti rumah sakit). Dan saya hanya meminta tukang jamu langganan saya untuk membantu mencarikan jamu yang bisa menghilangkan atau mengurangi sakit saya itu. Saya juga meminta nyokap saya untuk memasakkan sayuran yang (katanya) berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit itu. Saking hebatnya efek sakit yang saya rasakan saat itu, saya bahkan googling obat kimia apa yang bisa dibeli di apotik untuk menyembuhkan penyakit itu.
Dan dengan sakit itu, saya jadi tak bisa melakukan kemaksiatan itu. Saya 100% sadar banget kesalahan saya yang mana sehingga saya mendapat hukuman itu. Seperti misalnya, seseorang yang punya hobi klepto, padahal dia tau kalo mencuri itu salah, lalu tiba-tiba Allah menjadikan kedua tangannya lumpuh karena stroke. Atau seperti seseorang yang sangat suka mengadu domba dengan memberitakan hal yang bukan sebenarnya agar kedua pihak berseteru, kemudian tiba-tiba Allah membuat dia tersedak dan dia kehilangan kemampuan berbicaranya. Atau seperti seseorang, yang sudah tahu tentang halal dan haram, tapi masih nekat makan atau minum yang haram, maka Allah tiba-tiba menjadikan lambung dan ususnya penuh dengan kanker sehingga ia tak bisa makan dan minum kecuali makanan dan minuman tertentu saja. Ya, semacam itulah.
Ketika itu, saya bertanya pada diri sendiri, "berapa banyak janji yang kamu buat untuk berhenti melakukan kemaksiatan itu tapi kemudian kamu ingkari lagi?" Maka sakitnya saya saat itu menyadarkan saya bahwa hukuman Allah di akhirat pasti jauh lebih dahsyat.
Berapa lama saya sakit? Entahlah. Mungkin satu pekan? Atau bahkan kurang dari itu? Tapi... Ya Tuhan... rasa yang ditimbulkan ketika sakit itu seperti tahunan. Saya bahkan sempat berpikir, "Ya Tuhan... jika besok sakit ini belum hilang juga, saya benar-benar akan gila."
Dan alhamdulillah, Allah memberi kesembuhan pada saya. Dan saya bersyukur dengan itu. Saya juga berharap bahwa Allah mau mengampuni dosa saya. Dengan sakit itu, saya berpikir, "apakah kamu butuh merasakan hukuman bagi setiap kemaksiatan yang secara sadar kamu lakukan agar kamu benar-benar berhenti melakukan kemaksiatan itu, Haps?"
Ya Allah, saya benar-benar ingin kesadaran ini melekat kuat sehingga saya menuliskannya disini. Jika kelak setan menggoda saya untuk kembali kepada kemaksiatan itu, ada reminder betapa beberapa hari sakit yang saya alami, terasa seperti tahunan bagi saya. Lalu, apa saya rela jika termasuk ke dalam orang-orang yang menggigit jari-jari mereka karena penyesalan yang terlambat di akhirat?
Haps, ingat peristiwa ini!