Sudah bebarapa orang yang dengan jelas mengatakan kepada saya, "Ya udah lah, haps. Nikah dulu aja." Saat saya melontarkan keinginan saya untuk melanjutkan studi saya. Oh well, rasanya saya greget gemes gelak sampe cuma bisa mengulum senyum. I mean, saya pengen, dan memang merencanakan untuk mendahulukan nikah ketimbang lanjut kuliah. Saya sudah berkompromi pada hati saya untuk settle down. Intinya, saya juga udah paham tentang pentingnya nikah.
Tapi yang bikin saya ngulum senyum, semestinya kata-kata itu nggak ditujukan ke saya. I mean, saya bukan menyengaja menunda-nunda nikah loh yaa... saya nggak sedang ngegantung orang yang serius menjalin hubungan dengan saya. Enggak. Artinya, saya nggak sedang dalam kondisi, memiliki seseorang yang sudah layak dijadikan suami tapi saya yang menunda-nunda untuk nggak nikah. Saya nggak sedang dalam relationship dengan siapapun. Enggak. Dan, saya juga nggak sedang dalam posisi perempuan yang menolak setiap lamaran yang datang karena ingin melanjutkan kuliah. Enggak. Kenyataannya, nggak pernah ada ikhwan sholih (yang saya tahu) yang memang melamar saya. Kalaupun ada beberapa yang ditolak orang tua saya (itu pun saya tahunya jauh setelah kejadian berlalu), saya yakin orang tua saya punya pertimbangannya sendiri kenapa sampai tak memberitahu saya tentang pinangan laki-laki tersebut.
Jadi, saya rasa pernyataan itu nggak tepat aja dilontarkam ke saya. Toh, saya bukan feminis yang memilih being single. Kalo ditanya, 'Emang kamu nggak pengen nikah ya haps?' Jelas pengen dong. Nikah kan ibadah. Sarana menyempurnakan separuh agama pulak. Jadi nggak mungkin saya nggak pengen. Hanya saja, be wise dong lihat keadaan.
Lah, ada juga temen yang nanya, 'Emang kamu nyarinya yang gimana sih, haps? Kriterianya kayak apa? Kamu pemilih sih ya?' Oh wow, saya sendiri malah nggak pernah kepikiran maunya dapet suami yang kayak gini, kayak gini, kayak gitu. Yang selama ini saya set di kepala cuma, 'jika ada laki-laki yang baik agama dan akhlaknya datang melamarmu, maka terimalah.' Soalnya saya percaya, laki-laki yang baik agama dan akhlaknya itu mengkomplitkan segalanya. Dia pasti orang yang bertanggungjawab karena dia tahu punya kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Dia pasti orang yang mampu membahagiakan karena dia tahu bagaimana akhlak seorang suami terhadap istri dan mertuanya. Jujur, selama ini pikiran saya tentang suami sesederhana itu. Begitu naif ya saya? Haha
Saya pribadi sih percaya, kalau jodoh itu tak bisa dipaksa kapan waktu datangnya. Saya percaya, kalau ada sebagian yang memang mendapat takdir bisa menikah di dunia, dan ada juga yang tidak. Jadi saya bilang aja sama diri saya, 'take it easy haps, kalo toh kamu nggak nikah di dunia, it means jodoh kamu sedang menunggu kamu di syurga.' Asyikkk. Hahaha
Nah, kondisi yang saya hadapi kali ini, di hadapan saya terhampar kesempatan untuk melanjutkan kuliah saya ke jenjang yang lebih tinggi. Sementara kesempatan untuk menikah belum tertakdir pada saya. Lalu, apa yang harus saya lakukan? Semestinya ketika saya melontarkan keinginan saya untuk lanjut kuliah, jangan hanya sekedar bilang, 'Nikah dulu aja haps baru lanjut kuliah.' Tapi... bagus kali ya kalau bilangnya ke saya gini, 'Oh, kamu mau lanjut S2 haps? Eh, kalau gitu saya kenalin saudara saya yang ikhwan mau nggak? Orangnya sholih loh. Akhlaknya baik. Dia serius mau nikah. Gimana?' Kayaknya kalau jawabannya gitu lebih solutif dan menenangkan hati ya? Hahahaha :)
Oh well, tulisan ini sedikit uneg-uneg buat ngeluarin beberapa ganjalan dan konfirmasi beberapa hal. Kadang saya heran juga, kenapa sih orang-orang di sekitar saya sering berpikir (bahkan jelas-jelas menuduh) kalau saya tipikal perempuan yang nggak mau nikah (nunda-nunda nikah)? Apa karena saya jarang ngomongin tentang pernikahan dalam setiap obrolan? Toh, saya memang belum punya calon yang bisa saya gembar-gemborkan. Dan, emang perlu banget ya ngungkapin ke semua orang keinginan kita untuk menikah? Kalau memang dengan hal itu menjadi satu tolak ukur, oke nih saya udah bilang kepada dunia, saya juga kok. Ahahahaha :))