Bring Back The Memories


Tadi siang, saya melihat ada komentar baru yang masuk di kotak moderasi blog saya. Dari anonim. Jadi, saya nggak berani menebak-nebak siapa. Dari isi komentarnya, saya juga bingung hendak menebak siapa penulis komentar itu. Jujur saja, saya agak parah jika berkenaan dengan ingatan. Maaf.

Dan saya minta maaf lagi karena tidak menerbitkan komentar tersebut. Karena saya pikir, komentar tersebut bisa terbaca ambigu. Jadi, mungkin postingan kali ini akan mewakili jawaban saya pada si anonim yang telah berkomentar pada tulisan saya yang berjudul #random.

Dari komentarnya, saya memang nggak bisa menebak dengan pasti siapa orangnya. Tapi seenggaknya, saya merasa bahwa si anonim itu adalah teman lama saya. Si anonim menyebut tentang salah satu moment kami di Bis. Tapi, saya lupa dengan moment tersebut. Kalau hendak menyambungkan dengan kalimat yang si anonim tulis, justru ingatan saya lari ke kaki gunung. Bukan ya? Inilah yang saya sadari tentang jeleknya ingatan saya. Dia sering menyesatkan saya. Haha.

Bisa jadi ingatan saya yang salah atau lagi-lagi ingatan saya tengah tersesat. Tapi, buat apa sih kembali membicarakan masa lalu? Padahal kita tahu kalo masa lalu itu sudah jauh tertinggal. Kenapa terus hidup dalam bayang masa lalu? Padahal kita sudah bertahun menjalani hidup untuk hari ini. Kenapa mempertanyakan tentang pertemanan kita? Bukankah sejak awal saya katakan, tidak ada istilah mantan teman bagi saya. Sekali teman, selamanya teman. Meski lost contact sekalipun. Meski jarak kita bermil-mil jauhnya. Jadi, kalau kau tanya apakah saya masih menganggapmu teman, saya jawab IYA.

Tapi, seharusnya kamu tahu bahwa hubungan kita nggak akan mungkin sama lagi, kawan. Kita sudah punya kehidupan masing-masing. Kamu punya prioritasmu dan saya dengan dunia saya. Jadi, apa yang masih menjadi harapan kita kecuali doa? Untuk kebaikan satu dan yang lainnya? Bukankah itu relevansi sahabat?

Kawan, sudahlah. Berhenti mempertanyakan masa lalu. Tidak ada yang bisa kita lakukan dengan semua yang telah terjadi. Kenapa harus ada penyesalan? Tentang kenapa saya memilih jalan yang berbeda, kenapa saya nggak berkata ya, jawaban saya, SEMUA SUDAH DITAKDIRKAN. Saya juga nggak tahu harus menjawab apa jika kau tanya kenapa. Karena saat itu saya tidak tergerak untuk berkata ya. Dan, saya juga nggak akan bertanya kenapa-kenapa padamu. Karena semua sudah berlalu. Dan, semua cerita yang menjurus pada luka sudah saya kubur dalam-dalam. Karena saya ingin kenangan yang kembali muncul (jika saya ingin mengenang) adalah kisah yang manis. Dan, persahabatan kita adalah kenangan yang manis.