TOEFL, S2, dan Jodoh #1


"Mom, ade mau keluar bentar. Ke Unila." Sambil membenahi jilbab di depan cermin, saya melirik ke arah nyokap.

"Mom belum siap-siap. Kenapa ngedadak banget?" Nyokap yang sedang asyik menata puzzle versi jigzaw menatap ke arahku kaget.

"Ade berangkat sendiri aja. Nggak usah dianter." Saya mencium tangan nyokap, lalu sebelah pipinya, dan berpamitan. "Ade berangkat, mom. Assalamu'alaikum."

Saya nggak bilang, ke Unila untuk urusan apa. Nyokap juga nggak sebegitu kepo dengan segala urusan saya. Yang penting dia tau saya pergi kemana, dan dia percaya saya nggak akan melakukan tindakan yang melanggar hukum. Itu saja.

Sampai di Unila, saya langsung menuju gedung dua lantai yang catnya sudah agak pudar, tepat di sebelah pohon beringin raksasa. Pusat Bahasa Unila. Seolah kaki saya telah terprogram dengan baik, langkah saya terfokus pada kursi paling ujung di ruangan paling ujung di lantai dua. Menemui Pak Gandhi.

"Pak, mau ngambil skor TOEFL a.n Hapsari."

Tak lama bagi Pak Gandhi untuk mencari diantara sekian tumpukan kertas report TOEFL dan menyodorkan satu ke arah saya. Dan meminta saya mem-paraf list yang memuat nama saya _sebagai bukti saya telah mengambil report skor toefl. Setelah membubuhkan paraf, saya menilik kertas yang disodorkan Pak Gandhi tadi, oke saya mendapati nama saya tertera di sebelah kiri atas, lalu saya menunggu. Namun, tak ada yang dilakukan Pak Gandhi setelahnya.

Saya terpana. Menatap ke kertas _yang cuma seperempat dari kertas HVS berisi beberapa tinta hitam mencakup nama, negara, dan skor toefl_ lalu menatap lurus ke mata Pak Gandhi. Mencari jawaban atas tanya yang nggak bisa terucapkan.

"Kenapa? Baru pertama kali ikut TOEFL, ya?"
Pak Gandhi akhirnya memutus sekian detik yang mengambang diantara kami tadi.

"Iya." Saya mengangguk-angguk. Masih menyimpan tanya.

"Pasti kamu kira kamu bakal dapet sertifikat bagus, kan?!"

Pak Gandhi melempar senyum yang entahlah, apakah itu senyum mengejek atau senyum geli melihat ada lagi satu orang lugu yang dalam diam mempertanyakan kesesuaian nilai ratusan ribu dengan kertas yang, bahkan satu HVS pun masih dibagi empat!

Saya cuma bisa nyengir sebagai jawaban pertanyaan Pak Gandhi dan pertanyaan yang saya simpan untuk diriku sendiri.

Gila aja. Uang jatah menabungku sebulan cuma dihargai kertas kecil begini? tak bisa kucegah, saya memprotes dalam hati.

(to be continued)

1 komentar:

Komentarnya masuk kotak penampungan dulu ya...

Just make sure saya baca satu persatu :-)