Sore ini saya sedikit sentimen. Saat pulang, entah karena saya capek, atau memang karena cuaca begitu panas, saya merasa begitu peluh. Angkot yang saya tumpangi panasnya minta ampun. Penuh sesak. Ditambah lagi ban kiri belakang mobil kempes. Mobil berhenti dulu untuk isi angin. Betapa kayak di'oven' kondisi dalam angkot tadi. Karena suasana yang penuh, saya agak sedikit kepayahan. Gamis saya panjang dan lebar. Saya bawa tas sekaligus tentengan (saya beli roti tawar untuk bekal keponakan saya di salah satu toko roti). Dan angkot benar-benar dalam kondisi penuh sesak. Saya udah khawatir banget-banget. Saya berdo'a terus-terusan agar ada penumpang yang turun sebelum saya. Jadi saya nggak "rempong-rempong amat" saat turun. Ternyata, Allah nggak kabulkan doa saya. Sayalah penumpang yang pertama turun.
Saya biasanya nggak memilih melalui jalan yang dalam (ditempat saya dikenal dengan sebutan "bambu"). Saya biasanya memilih berjalan kaki melalui jalan besar (disebut "perintis"). Tapi karena pertimbangan "rempong" tadi, saya nggak mau menyusahkan banyak orang sehingga memilih berhenti di "bambu" (berhenti di perintis agak menyulitkan orang lain karena kondisinya adalah tempat memutar kendaraan dari arah berlawanan). Akhirnya saya berjalan kaki melalui jalan dalam.
Nggak berapa lama saya jalan, saya bertemu dengan Yudi. Seorang yang maaf, agak berbeda dari orang pada umumnya. Dia memiliki keterbelakangan mental. Sulit berbicara, saraf pada mulutnya agak bermasalah, dan kakinya pun agak kecil dan bengkok. Sebagaimana yang diajarkan ibu saya, kalau bertemu dengan Yudi saya selalu merogoh uang yang bisa saya temukan untuk diberikan padanya. Uniknya, Yudi ini sangat suka jalan-jalan. Ia akan terus berjalan dan kemudian pulang. Ia bukan peminta-minta. Keluarganya pun nggak tergolong miskin meski bukan pula orang kaya.
Begitu melihat Yudi, saya langsung merogoh uang yang ada ditas saya. Dan saya cuma menemukan Rp 2000,- karena saya nggak sempat buka-buka dompet saya. Ketika Yudi berlalu, sebelum berbelok saya memperhatikan Yudi dari belakang. Dan lalu saya menyesal. Kenapa cuma Rp 2000,- yang saya keluarkan? kenapa bukan Rp 5.000,-? Padahal di dompet saya ada uang Rp 10.000,- bahkan Rp 50.000,- pun ada?!! Lalu saya menyesal. Saya menyesal. Saya berdiri agak lama memperhatikan punggung Yudi yang semakin menjauh. Jalannya sudah agak kesulitan karena kondisi kakinya yang kecil dan bengkok. Tangan kirinya pun tak seperti tangan kannya yang normal. Tapi, saat saya beri uang tadi, saya lihat wajahnya yang bahagia. Dengan ketidaknormalannya, Yudi pun bisa merasa bahagia.
Ketika saya meneruskan langkah untuk pulang, tiba-tiba mata saya terasa panas. Sebelum jatuh, saya menghapus airmata cepat-cepat. Saya nggak ingin ada adegan drama, dimana orang-orang yang saya lewati bertanya kenapa saya menangis. Tapi, air mata saya tampaknya cukup banyak volumenya. Karena ia masih tak mau berhenti meski sudah sekitar 25-an langkah saya lewati. Tapi, saya sedikit bisa meredam sentimen saya ketika 4 orang anak kecil murid TPQ saya yang baru pulang ngaji datang mengampiri saya untuk bersalaman.
Baru sebentar saya keluar dari sentimen saya (sekitar 25-an langkah berikutnya), saya bertemu dengan ibu dari salah satu murid TPQ saya yang sedang mengorek-ngorek tempat sampah tetangganya yang kaya raya. Dia menyapa saya sambil meneruskan aktivitasnya. Saya nggak berpikir apa-apa sebenarnya, ketika melewatinya dan balas membalas sapaannya. Tapi Ibu itu justru berkata pada saya menjelaskan, "Lagi ngambil sisa nasi untuk makan ayam, bu."
Setelah mendengar perkataan itu, sentimen saya muncul lagi. Saya kembali menangis. Sore ini saya sentimentil. Padahal, saya nggak bertanya pada Ibu itu. Ia pun tak perlu menjelaskan apa-apa pada saya. Tapi, ketika mengatakan itu, Ibu itu tak perlu malu. Bisa jadi ia bahagia dengan hidupnya. Dengan aktivitas memelihara ayamnya.
Lalu saya bertanya pada diri saya,
"apa yang masih membuatmu tidak bahagia, haps???"
"apa yang masih kau keluhkan dari hidupmu, haps???"
"apa yang masih membuatmu tidak bersyukur, haps???"
Bahkan ketika saya me-recall kejadian sore tadi, saya masih tidak bisa menahan air mata saya untuk tidak jatuh.
Ya Allah, jadikan saya sebagai hamba yang pandai bersyukur.
__________________________________
Alhamdulillah-nya, ketika saya menangis di sepanjang jalan tadi tak ada orang yang melihat. Saya melewati rumah orang-orang yang pagarnya tinggi-tinggi. Mereka tak punya waktu untuk mengetahui apa yang terjadi di luar pintu pagar mereka.