I’M THE ONE AT FAULTS



Pernah merasa untuk menghindari seseorang ? Hanya karena dengan berada di dekatnya, membuatmu mengingat hal-hal yang menyesakkan…

Kejadiannya sudah lama sekali. Tapi perasaan bersalah itu masih tertinggal hingga hari ini. Awalnya, saya ingin bersikap cuek. Tak ingin merasa bersalah, dan tak ingin menganggap ini sebagai sebuah kesalahan. Tapi, tiba-tiba saja kesadaran itu datang entah dari mana. Mengganggu dengan cepat, dan meninggalkan penyesalan yang menyakitkan.

5 tahun lalu, ketika saya menginjak semester 3 saya mulai mengenal “dunia lain” diluar kuliah. Rasanya sangat menyenangkan. Di “dunia lain” itulah saya menemukan berbagai tantangan dan disanalah saya benar-benar merasakan hebat dan nikmatnya perjuangan dalam meraih tujuan kami. Yah, kami.. karena disana saya tidak sendirian. Saya memperjuangkan tujuan bersama. Dan berjuang bersama-sama. 

Ada banyak hal indah yang saya pelajari disana. Ada juga airmata yang mewarnai perjuangan kami. Dan tak ayal, pernah juga hati tergerus karena clash atau beda pendapat. 3 tahun saya berkecimpung dan terbentuk di “dunia lain” itu. Disanalah saya mengukir kisah, dan bertemu dengan banyak orang-orang hebat. Saya menyebut mereka “separuh malaikat”. 

Saya bahagia, pernah mengenal mereka. Saya bahagia pernah berinteraksi dengan mereka. Dan saya bahagia, pernah menjadi bagian dari mereka. Tapi, ada masa dimana perjuangan selama tiga tahun, yang mengoyak keikhlasan. Saya mungkin saat itu masih belum sepenuhnya mengerti, bahwa perjuangan itu tak hanya meminta air mata, namun juga butuh begitu banyak keikhlasan.

Seseorang diantara “separuh malaikat” itu, menjadi rekan berjuang saya selama 3 tahun. Ia yang terus menyemangati saya. Ada kalanya juga, ia penuh dengan keputusasaan lalu saya yang menyemangatinya. Begitulah kami, pernah menangis bersama, dan berteriak sekencang-kencangnya dalam hati kami saat kami tak dapat lagi memperjuangkan tujuan kami. 

Dan pada satu masa di masa lalu, yang saya tidak tahu kapan pastinya, saya mulai goyah. Saya tak kuat berlari lagi. Saya lelah, menghadapi rintangan yang itu-itu saja. Ditambah lagi tekanan yang saya rasa cukup berat. Saya putus asa. Saya kehilangan arah. Saya menyerah…

Maka seseorang dari “separuh malaikat” yang pernah berjuang bersama saya, akhirnya saya hindari. Karena dengan melihat wajahnya, saya selalu terluka. Saya mengingat semua rasa putus asa saya. Sementara saya sudah tak mampu berdiri membawa semua kenangan yang menyesakkan itu. Saya seperti orang picik, ya?! Padahal ia tak salah apa-apa pada saya. Tapi, saya hanya tak ingin lebih terluka lagi.

Seseorang, bisakah kamu tetap menjadi “separuh malaikat” di mata saya?! Maafkan saja saya. Tak perlu mengerti keadaan saya, hanya, cukup maafkan saja saya