My Life (I'm Thirty Something)

 

Udah lama banget aku nggak nulis. Kenapa? Karena mungkin aku ngerasa udah sedikit bisa merasa bahagia. Sehingga aku nggak perlu menulis sebagai salah satu jalan untuk menghibur dan menyemangati diri. Dan menurutku itu hal yang baik sih. Makanya aku santai aja. Toh, aku nggak mengharap apa-apa dengan menulis blog ini kecuali menjaga agar diri ini tetap waras.

Dan hari ini aku berfikir untuk menulis lagi. Karena ada satu hal yang menjadi ganjalan dan aku nggak ingin hal ini malah menjadi penyakit yang mengganggu kebahagiaan hatiku. Toh, siapa sih yang baca blog ini? Kecuali mereka yang tersesat dan nggak sengaja terdampar menemukan tulisan yang aku yakin ini bukanlah hal yang menarik. 

Sekali lagi, aku menulis hanya untuk menenangkan hatiku. Ya, sebegitu self-sentris-nya aku. But why not? Aku hanya mencoba untuk menyayangi dan melindungi diriku sendiri. Haha 

Di usiaku yang hampir 33th, aku nggak banyak lagi mengalami kontemplasi2 yang berarti. Life dilemma atau krisis dalam hidup udah aku lewati sebelum menginjak usia 30. Alhamdulillah aku mampu berdamai dengan diri sendiri, dengan orang tua, dengan keadaan yang menjadi takdirku. Dan itu membahagiakan menurutku. Membuat hidupku jauh lebih mudah. Dan aku banyak2 bersyukur dengan hal tersebut.

Aku yang masih menyandang status bersendirian juga nggak merasa terlalu terbebani. Satu hal yang aku juga syukuri, aku nggak diuji Allah dengan fitnah lawan jenis. Maksudku, aku bukan tipe cewek yang haus akan perhatian dan kasih sayang dari lawan jenis. Aku punya temen2 yang peduli, kasih sayang yang cukup dari keluarga, dan komunitas yang baik untuk bisa menjalani hidup dengan nyaman. Jadi, aku nggak begitu merasa kesepian dengan statusku yang sekarang.

Apa aku nggak tertarik dengan lawan jenis? Haha. Alhamdulillah aku merasa masih normal. Aku suka dengan cowok ganteng. Aku pernah merasa tertarik dengan senior, atau teman saat bersekolah. Tapi, aku memilih untuk menjadi diriku yang bebas dengan tidak mengikatkan diri pada sebuah hubungan bernama pacaran. Aku nggak suka terikat atau mengikat. Aku nggak suka diatur dan nggak mau juga terlalu banyak mengatur. Aku, lebih suka bertanggung jawab terhadap diriku. Aku nggak suka terbebani dengan orang lain. Karena aku sendiri merasa diriku sudah cukup menyita waktu dan pikiranku. Ya, aku se-self-sentris itu.

Tapi sekali lagi, so what? Toh, aku nggak menyakiti siapapun. Aku berusaha untuk menjaga diriku agar nggak tersakiti. Dan aku merasa tidak menyakiti siapapun. Saat SMP, ada teman yang mengaku naksir aku. Tapi nggak aku tanggepin karena dia nggak bicara langsung padaku. Dia justru mengakui itu di hadapan teman-temanku yang lain yang kebetulan saat itu aku juga berada di ruang yang sama. Tapi, apa yang bisa aku lakukan selain pura2 nggak mendengarnya? Toh, dia nggak bicara langsung padaku 

Saat lulus SMA, seorang teman mengungkapkan perasaannya padaku. Sekedar mengungkapkan perasaannya. Karena dia tau aku akan pergi jauh. Melanjutkan kuliah ke kota lain. Dia pun sudah merencanakan untuk bekerja di kota yang jauh berbeda dengan kota tujuanku. Lalu, aku harus membalas apa? Akay hanya jujur tentang perasaanku saat itu. Bahwa aku nggak melihat dia lebih dari sekedar teman. Dan aku juga nggak menutup jalan untuk dia. Kalo dia mau berjuang, aku persilakan. Tapi, aku nggak bisa menjanjikan apapun. Karena aku memang se-gamang itu saat itu.

Saat kuliah, aku nggak lagi melihat perasaan tertarik pada lawan jenis sebagai sebuah prioritas. Ada hal yang lebih urgen yang menjadi fokus perhatianku saat itu. Perbaikan diri. Rehab jiwa. Iya, sudah sejak lama aku merasa "there's something wrong with me". Dan Alhamdulillah saat aku kuliah Allah memberi jalan untuk aku menganalisa, memperbaiki, dan mulai membenahi hal-hal yang menyangkut diriku. Fokus pada diriku sendiri. Karena aku pikir, nggak mungkin aku membangun sebuah hubungan jika aku nggak menyembuhkan diriku saat itu. 

Lulus kuliah, aku kembali ke keluargaku. Salah satu faktor terbesar adanya "something wrong" pada diriku. Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa berdamai dan rekonsiliasi. Tapi, Alhamdulillah. Sampai aku tiba di titik hari ini. Meski kata orang usia thirty something adalah usia rawan, harusnya sudah menikah dan punya anak, but once again, so what? Hidupku, aku yang menjalaninya. Dan aku sudah berusaha menyelaraskan dengan orang2 yang relate dengan kehidupanku. Dan aku Alhamdulillah tipe orang yang nggak terlalu terpengaruh dengan apa yang berada di luar duniaku.

Well, tulisan ini mungkin cuma sebagai pengingat dan penguat aku dalam menjalani usiaku saat ini. Age is just a number. Menikah cuma satu dari sekian stase dalam hidup. Ada yang memilikinya, ada juga yang enggak. Dan itu pun hanya perkara di dunia. Sementara di akhirat nanti (kalo Allah takdirin masuk syurga), setiap orang akan bersama dengan pasangannya masing2. Itu janji Allah. 

So, haps... Cheer up lah. Hidup kamu toh nggak menyedihkan amat. Your heart's more at ease, now right? Ada saat sedih atau terluka adalah hal yang biasa dalam hidup. Tapi kamu toh sekarang sudah tahu bagaimana rasanya bahagia itu. Jadi berbahagialah, haps! Kamu berhak kok mendapatkannya.