Membaca sebuah tulisan dalam newsletter edisi May 2011 yang diterbitkan oleh Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Unhas (UKPM-UH) membuat saya mengerutkan kening. Entah karena kehabisan bahan berita yang in untuk disuguhkan kepada pembaca atau sekedar mencari sensasi agar tulisan “laku”, redaksi Catatan Kaki malah menampilkan bahasan yang kurang imbang dengan kemampuan menulis mereka. Hasilnya, tulisan mereka malah memperlihatkan ketidakprofesionalan mereka sebagai “calon” jurnalis masa depan.
Pada newsletter tersebut, redaksi Catatan Kaki mengambil bahasan tentang Front Pembela Islam (FPI). Tulisan sebanyak empat halaman penuh ditambah dua halaman pengantar redaksi dan satu halaman terakhir berisi testimoni tentang FPI. Entah sengaja atau tidak, redaksi Catatan Kaki mengambil tema agama yang sebagaimana diketahui, bagi sebagian orang merupakan hal yang sensitif untuk diperbincangkan.
Tak ada yang salah sebenarnya ketika sebuah media menampilkan berita yang menyangkut sebuah agama. Keterbukaan rezim sejak reformasi bergulir memberikan ruang kebebasan yang sebesar-besarnya bagi pers dalam mengemukakan berita. Pun ketika itu menyangkut tentang agama. Permasalahan yang terjadi adalah, ketika bahasan yang bagus tidak diimbangi dengan kemampuan mengolah berita dengan baik. Sehingga tulisan menjadi kurang bermutu.
Mengutip tulisan dari Luwi Ishwara, wartawan senior Kompas dalam bukunya Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar:
“Pers memainkan berbagai peranan dalam masyarakat. Bernard C. Cohen dalam Advanced Newsgathering karangan Bryce T. McIntyre menyebutkan bahwa beberapa peran yang umum dijalankan pers diantaranya sebagai pelapor (informer). Di sini pers bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka.”
Redaksi Catatan Kaki telah mengerti bahwa tugas mereka adalah melaporkan peristiwa kepada masyarakat. Karenanya, mereka berani untuk membuat sebuah tulisan yang akan dibaca oleh orang banyak. Mereka juga tahu betul bahwa mereka memiliki peran lain sebagai interpreter yang memberikan penafsiran atau arti pada suatu peristiwa, sehingga selain melaporkan mereka juga menambahkan bahan dalam menjelaskan arti berupa analisis berita. Namun, nampaknya mereka lupa bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menjaga netralitas dalam mengusung kebenaran. Hasilnya, tulisan mereka dengan nyata memiliki keberpihakan pada satu sudut pandang.
Tak dapat dinafikan jika dogma jurnalistik mengatakan bahwa objektifitas adalah jalan satu-satunya menuju kebenaran dan realitas. Objektifitas adalah melihat dunia seperti apa adanya, bukan bagaimana yang anda harapkan semestinya (objectivity is seeing the world as it is, not how you wish it were). Sudah semestinya bahwa wartawan dalam pekerjaannya kemudian melihat unsure adil (fairness) sebagai prinsip yang penting.
Sungguh disayangkan, jika “tunas” yang tumbuh dari pekarangan UKPM-UH memiliki cara berfikir yang sempit. Padahal, “tunas-tunas” inilah yang kemudian diharapkan mampu untuk mengusung kebenaran melalui dunia jurnalisme yang akan terjun pada ranah yang lebih luas dari sekedar kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarnya masuk kotak penampungan dulu ya...
Just make sure saya baca satu persatu :-)