Kutemukan deretan kata yang tergantung pada dinding kamar seorang kawan. Saat aku tak sengaja mampir untuk sebuah keperluan. Sedikit puitis memang, namun cukup untuk menghentakkan otakku akan waktu-waktu yang terus berlalu. Sesaat, rasanya aku mengalami déjà vu. Terseret pada masa, yang kusendiri takut untuk mengingatnya.
Selama ini, aku terlanjur terlena dengan ‘zona nyaman’-ku. Merasa puas, hingga menulikan telinga untuk setiap kebenaran yang datang. Aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri. Bersembunyi, membuat mekanisme defensif dan berkata, “Kebanyakan orang juga memilih tinggal di ‘zona nyaman’ mereka, jadi kenapa aku harus keluar meninggalkannya?”
Maka, aku melewatkan hari-hariku dengan melakukan hal-hal yang kusukai. Itu saja. Sungguh, hanya itu saja. Aku hanya melakukan hal-hal yang sesuai dengan kehendak hatiku. Sama seperti kebanyakan orang. Hura-hura, foya-foya, ah…kata-kata itu tampaknya terlalu melebih-lebihkan. Saat itu aku merasa tak merugikan siapa-siapa.
Akhirnya kujalani hidupku dengan perasaan hampa. Tanpa bisa kucegah, jauh dilubuk hatiku yang terdalam, sesuatu yang semula tak kuketahui keberadaannya tiba-tiba menjerit. Terlalu sulit bagiku untuk mendeskripsikannya. Dari suatu tempat dalam hatiku, ada sesuatu yang melesat keluar dan terbang menjauh. Aku tak lagi sempat berpikir, hanya mengikuti hatiku yang ingin lari dan lari sejauh-jauhnya. Aku tak tahu, apakah aku ingin menyakiti diri sendiri atau hanya ingin menghibur diri saja? Yang aku tahu hanya aku terus berlari, meninggalkan semua pemandangan yang terhampar di hadapanku.
Aku khilaf. Kali ini aku berani mengakuinya. Aku tersadar bahwa setiap orang pasti pernah khilaf. Karenanya aku mempunyai kekuatan untuk membuka pikiran dan berani untuk mengakui segala kesalahan. Perasaan dan pikiran seseorang itu memang seringnya tak sejalan. Hati dan otak. Dua organ dalam tubuh manusia, yang sejatinya memiliki kekuatan dan semestinya mampu untuk menjadikan manusia sebagai “manusia”.
Kekhilafan memang sebuah ciri yang tak dapat dipisahkan dari makhluk bernama manusia. Tapi, apakah kita sebagai manusia akan menjadikan “khilaf” sebagai alasan untuk melegalkan setiap tindakan yang kita lakukan? Betapa tidak adilnya kita terhadap sat kata itu. Lalu, bagaimana pertanggungjawaban kita terhadap waktu yang selama ini kita lalui, dengan segala tindakan yang kita lakukan dan tak jarang kita berlindung di balik kata khilaf? Ya, ya, aku, kita, hanyalah manusia biasa. Sebuah mekanisme defensif yang cukup ampuh untuk mematahkan argumentasi apapun.
Jadi, apa? Kita menyerah kalah pada kehidupan ini? Membiarkan diri terhanyut pada kesalahan-kesalahan dan berkata, “Ah…sudah terlanjur”. Coba sejenak resapi quote yang ditulis oleh Robert Half: when you arrive at your future, will you blame your past?
Meski bertahun-tahun telah melakukan kesalahan, kita masih berhak untuk menjalani hari dan mengadakan perbaikan. Jadi, apakah kita akan berdiam dalam zona nyaman kita? Untuk berapa lama? Sampai kapan? Berapa panjang umur kita? Apakah kita puas dengan kehidupan yang kita jalani sekarang?
Maaf-maaf, rasanya ku terlalu bersemangat. Tenggelam dalam pikiran masa lalu dan terhanyut karena tulisan yang baru saja kubaca. Untaian kata diatas kertas putih yang menempel di dinding bercat hijau itu berbaris dengan begitu rapi. Ditulis dengan sangat indah. Mataku sekali lagi menyapu barisan kata itu, sebelum pergi dan melanjutkan hidup baru yang lebih berarti.
Hitungan jam terus bergerak
Pernahkah kita menghitung amalan
Yang akan membawa kita ke syurga-Nya
Ataukah waktu terus bergulir tanpa makna…?
Berjalan menekuri waktu
Satu detik, dua detik, tiga, empat
Hingga mulut berhenti berucap
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarnya masuk kotak penampungan dulu ya...
Just make sure saya baca satu persatu :-)