Saat itu usia saya 8 tahun. Dengan modal kertas jilid warna biru muda yang saya potong 3x6 cm, saya membuat kartu nama sendiri yang saya bagikan ke teman-teman SD saya. Isinya hanya nama, tempelan gambar Donal Bebek (saat itu saya suka sekali dengan tokoh kartun ini) dan sebaris kalimat yang menunjukkan motto hidup saya.
Silly, hanya bermodalkan semangat untuk berkreasi dengan memanfaatkan bahan yang ada _saat itu Papi saya membawa pulang banyak sekali kertas jilid warna biru muda yang katanya cuma jadi sampah di kantornya_ dan keinginan untuk memberi sesuatu pada teman-teman kelas yang dengannya mereka bisa mengingat saya, terpikirlah ide membuat kartu nama.
Saat itu malam hari, sekitar pukul 8 malam selepas Isya. Keluarga saya sedang berkumpul di ruang tengah. Kedua kakak saya sedang berkutat dengan buku PR mereka, diiawasi Ibu saya. Papi saya sedang keluar kota. Saya, yang sudah selesai mengerjakan PR mengambil kertas jilid biru muda, kartu gambar Donal Bebek (sewaktu kecil saya menyebutnya kartu wayang), gunting, lem, dan spidol warna warni.
"Masa isinya cuma (tulisan) nama ade aja? Nggak mau ditambahin apa gitu?" Ibu yang sudah duduk disamping saya melihat ke kertas jilid yang sudah saya gunting dan tempeli gambar Donal.
"Bagusnya diisi (tulisan) apa lagi ya, Bu?"
I really have no idea.
"Motto hidup aja, de." Mas Santo, kakak laki-laki saya menyambar. Dari gerakannya memasukkan buku-buku ke dalam tas, dipastikan dia telah selesai mengerjakan PR.
"Motto hidup itu apa sih, Bu?" Saya, yang saat itu masih 8 tahun, bertanya dengan polos. Sambil menerawang sebuah bubuk berwarna putih yang ada di dapur Ibu saya (orang Jawa menyebut vetsin/micin/penyedap rasa dengan sebutan moto).
"Motto hidup itu slogan atau semboyan yang ade pake buat ngejalani hidup. Cita-cita hidup ade." Ibu menjelaskan.
"Slogan atau semboyan itu apa, Bu?" Masih, saya bertanya dengan polos.
"Em, kalimat atau kata-kata, de." Sepertinya Ibu sedang menyederhanakan sesederhana mungkin.
"Ooh... Kalo motto hidup Ibu apa?" Saya bersemangat memikirkan apa kalimat yang akan saya tulis di kartu nama saya.
"Hidup dan mati hanya untuk Islam." Ibu mantap sekali saat berkata itu.
"Kalo Mas Santo motto hidupnya apa?" Saya bertanya pada kakak saya yang sudah bergabung duduk disamping Ibu.
"Maju terus pantang mundur. Hahahaha" Sambil guyon, dia jawab juga pertanyaan saya.
"Oh, kalo gitu ade tulis maju terus pantang mundur aja ya?" Saya siap-siap menulis di bawah nama saya.
"Ntar nabrak loh kalo maju terus nggak belok kiri. Ahahahaha" Tiba-tiba Mbak Citra, kakak perempuan saya ikut nyeletuk.
Saya cemberut. Tangan saya yang semula sudah siap menulis terangkat kembali. Saya berpikir.
"Yang bagus apa ya, Bu?" Saya menatap Ibu saya. "Pinjem motto hidup Ibu dulu aja ya? Sampe ade tau apa motto hidup ade. Hehe." Saya nyengir kuda.
"Kalo gitu, pake B. Inggris aja de biar keren." Mas Santo memberi saran yang saya sambut dengan senyuman.
HAPSARI DIAN WAHYUNINGRUM
~ Islam is My Life and My Die ~
Maka jadilah tulisan seperti itu yang tertera dalam 8 kartu nama yang berhasil saya buat malam itu.
Esoknya, saya menemukan dua kalimat di stiker sebuah mobil yang saya lihat sepulang sekolah. Islam is My Way. Dan I Live Just for Islam. Karena bagus, jadilah saya cantumkan kalimat itu dalam 12 kartu nama saya berikutnya (6 kartu dengan tulisan Islam is My way dan 6 kartu dengan tulisan I Live Just for Islam). Lalu, ke 20 kartu nama saya itu saya bagikan ke teman-teman kelas saya.
* * *
17 tahun yang lalu, saat saya menulis (lebih tepatnya meminjam dari orang lain) semua itu, saya belum benar-benar mengerti tentang makna Islam is My Way, I Live Just for Islam, apalagi Islam is My Life and My Die. Saya belum benar-benar mengerti. Tapi dari awal saya sadari bahwa apa yang saya tulis harus saya realisasikan. Bahwa saya adalah seorang muslim. Bahwa saya akan menjaga identitas kemusliman saya itu sampai akhir hayat saya. Bahwa saya, akan hidup sebagai seorang muslim. Dan saya bercita-cita mati dalam keadaan tetap menjadi muslim. Itu yang saya pahami. Dengan pemahaman anak umur 8 tahun tepatnya.
Lalu, seiring berjalannya waktu, saya lulus SD, Ibu saya mengarahkan saya lanjut ke sekolah Islam (MTs dan MA). Sedikit banyak, saya mulai mengakrabi Islam melalui pelajaran B. Arab, Qur'an Hadits, Akidah Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Beruntung, saya selalu masuk ke kelas dengan lingkungan teman-teman yang baik-baik. Bersama teman-teman, saya menjalani hidup dengan Islam sebagai acuan. Hang out ayok aja, asal pake jilbab menutup aurat. Berteman sah-sah aja, asal sama cowok nggak pegang-pegangan dan nggak pergi berduaan. Nyobain restoran baru oke aja, asal jelas kehalalannya. Kompak itu kudu, tapi kalo ujian nggak saling ngasi contekan. Ketika salah satu mulai kelewat nakal, selalu ada yang mengingatkan tentang bagaimana Islam mengatur kita untuk menjalani hidup dengan baik. Secara perlahan saya mulai mengerti, kenapa saya harus mempertahankan ketiga motto itu sebagai motto hidup saya. Islam is My Way, I Live Just for Islam, and Islam is My Life and My Die.
Ketika lulus MA dan harus berpisah sesuai dengan pilihan masing-masing, kami saling mengingatkan untuk tetap ber-Islam dengan baik. 'Keep Istiqomah', itu yang senantiasa kami ucapkan untuk satu kepada yang lainnya. Pun ketika saya dinyatakan diterima di sebuah Universitas (umum, bukan universitas Islam), saya ber-azzam untuk menjaga semangat ber-Islam saya agar terus menyala. Saya katakan pada diri, 'Haps, di kampus nanti, jangan cuma fokus kuliah. Kamu harus berbuat sesuatu untuk Islam. Pikirkan caranya!' _Honestly, saya sedikit takut dengan keberagaman yang sudah lama tidak saya akrabi. 6 tahun sekolah, saya hanya menemukan Islam sebagai satu-satunya komunitas dalam berinteraksi. Jadi, saya takut jika saya tak menjaganya, maka saya tak lagi akrab dengan Islam. Dan, saya takut kalau cita-cita saya untuk menjaga Islam sebagai hidup dan mati saya akan aus seiring keberagaman pemahaman dan interaksi yang saya hadapi. Semua itu karena saya sadar, di dalam diri ini penuh dengan aura negatif. Maka saya butuh lingkungan yang penuh aura positif untuk menjaga saya agar tetap balance.
Dan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah... Seorang senior saya yang beragama Nasrani menjadi salah satu perantara saya menemukan komunitas Islam di masjid kampus yang hingga hari ini masih keep in touch menjaga saya untuk tetap semangat ber-Islam. Meski hari ini saya sudah bermil-mil jauhnya dari kampus, tapi ukhuwah dan ilmu tentang Islam yang pernah saya dapatkan di masjid kampus memberi saya pemahaman yang nyata dan dalam tentang makna: Islam is My Way, I Live Just for Islam, and Islam is My Life and My Die.
So, what makes me fall for Islam? Because Islam itself...
Doakan saya mati dalam keadaan husnul khotimah ya :)