Saya menulis judul ini sesuai dengan judul asli buku yang semalam saya baca. Awalnya saya penasaran karena judulnya, terlebih lagi penulisnya memakai nama kearab-araban (Islami). Jadi, saya membaca habis buku tersebut dalam sekali duduk.
Dari apa yang saya baca, buku ini cukup menarik. Proporsinya seimbang dengan mengungkapkan fakta lapangan dan pemikiran dari dua sisi yang sama2 memberi efek positif bagi mereka yang membaca dengan pemikiran terbuka (pemikiran yang sehat).
Judul : Telat Menikah Tapi Bahagia
Judul asli: Ghoiru Mutazawwijad, Lakin Sa'idah
Penulis: Muhammad Rasyid Al Uwaid
Penerjemah: Khozin Abu Faqih, Lc.
Penerbit: Al-I'tishom
Tahun terbit: 2005
Tebal buku: 210 halaman
Buku ini mengupas tentang pernikahan. Pada awal pemaparan, ilmu tentang 'menikah dini adalah sebuah sunnah yang patut dilaksanakan' dibahas dengan bahasa yang ringan dan santai. Beberapa dalil berupa hadits pun dikemukakan. Lalu sebagaimana judulnya, fakta lapangan seputar fenomena yang marak di kalangan umat Islam yaitu menunda-nunda pernikahan pun dibahas dengan gamblang. Alasan umum yang melatarbelakangi penundaan itu antara lain karena ingin melanjutkan studi, karena dilarang oleh ayah, karena ingin berkarier, karena tak memiliki kemampuan dalam memenuhi mahar dari pihak wanita, dsb.
Saya cukup tercengang ketika disebutkan bahwa usia telat menikah mencakup usia 20-an. Bahkan usia 24 ke atas dikategorikan 'beneran telat'. Haha... Jadi saya masuk kategori telat menikah? Oalah....
But well, setelah membaca buku tersebut lebih jauh, saya langsung menyadari kalau tidak pantas bagi seorang muslim yang ingin berkomitmen dengan Islam untuk tercengang seperti yang saya lakukan sebelumnya. Sudah seharusnya seorang lelaki shalih yang telah memiliki kemampuan untuk segera menikah. Pun dengan perempuan shalihah, ketika ada lelaki shalih yang melamarnya tak perlu lantas menunda-nunda. Jadi, apakah itu 20, 19, atau 16 tahun, bukan menjadi sebab menunda-nunda pernikahan. Karena tolak ukur pernikahan bukan berdasarkan usia.
And then buku ini mengemukakan banyak kasus di lapangan terkait para wanita yang telat menikah. Ada yang ketika muda selalu menolak setiap pemuda yang datang melamar dengan alasan ingin melanjutkan studi, tapi setelahnya tak ada lagi yang berani datang. Ada juga yang karena ayahnya memberikan kriteria yang sangat tinggi bagi calon suami. Pun ada juga yang memang karena tak pernah ada lelaki shalih yang baik agama dan akhlaknya yang datang melamar kepadanya. Yang lain, karena terlalu cerdasnya, terlalu cemerlang kariernya, terlalu tinggi gelar kesarjanaannya (Prof, Doktor, Magister), sampai-sampai para lelaki gentar melamar mereka.
Di akhir pembahasan dikemukakan solusi2 atas fenomena 'telat menikah' ini. Sebuah penguatan positif atas takdir Allah yang satu ini. Sebagaimana konsekuensi atas iman terhadap qadha dan qadar Allah, bentuk sikap bagi mereka yang mengalami fenomena telat menikah ini (apapun latar belakang terjadinya) adalah dengan tetap berprasangka baik kepada Allah dan mengisinya dengan kegiatan2 yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.
Lalu saya, entahlah apakah 25 termasuk usia telat menikah atau tidak, saya mengambil beberapa pelajaran dari apa yang saya baca, bahwa:
(1) Pernikahan adalah sebuah hal yang wajib diingini. Jadi setiap kita harus menanamkan dalam hati keinginan untuk menikah, keinginan untuk memiliki anak-anak yang shalih, dan bagaimana kita mempersiapkannya.
(2) Sekali lagi, PERNIKAHAN ADALAH HAL YANG WAJIB DIINGINI. Jadi tugas kita sebagai manusia terutama wanita adalah menanamkan niat dalam hati, mempersiapkan diri, berdo'a kepada Allah. Adapun kapan kita akan menikah, apakah kita akan benar-benar menikah, apakah kita akan dikaruniai anak-anak yang shalih, dsb, dsb, semua itu kita serahkan kepada Allah dengan tetap berprasangka baik kepada Allah.
(3) Tolak ukur kesiapan lelaki untuk menikah adalah memiliki ba'ah, yaitu kemampuan memberi nafkah dan penghidupan bagi istri dan anak-anaknya. Sementara tolak ukur (harus) siap menikah bagi seorang perempuan adalah manakala ada seorang lelaki sholih yang baik agama dan akhlaknya datang melamarnya. Maka, jika keduanya sudah ada pada diri masing-masing, menikahlah!
(4) Berapapun usia kita sekarang, jika belum menikah, tak perlu menyikapinya dengan penuh kesedihan, kegelisahan, kesengsaran, dsb. Jika dahulu kita melakukan kesalahan, sesalilah dan mohon ampunlah kepada Allah atas dosa kita tsb. Lalu, perbaikilah mulai sekarang. Jika dalam hati kita sudah mengingini, dalam prosesnya kita senantiasa menjaga diri, dan kita juga telah melantunkan do'a2, maka tak ada yang perlu dirisaukan jika jodoh kita belum datang. Ini tentang bagaimana kita bersabar dan ridha terhadap takdir yang Allah tetapkan bagi kita. Lakukanlah kegiatan yang positif yang memberi manfaat bagi dunia dan akhirat kita. Sehingga proses menunggu kita, menjadi masa yang produktif dalam beramal shalih.
Sebagai sebuah penguat, coba buka QS Al Kahfi: 46 yang artinya,
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya disisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan."
Allahu ta'ala a'lam.