Setelah hari itu saya jadi benci mendengar nama "abi". Tiga hari yang sungguh terasa bodoh. Lelaki itu, bernama evan. Tapi karena memang dasar sayanya ini bodoh, saya salah kira dan memanggilnya kak abi. Padahal... Dasar bodoh!
# # #
"Tante, di istiqlal ada shelter busway nggak? Kalo dari sini transit berapa kali?"
"Hm, kayaknya sih ada deh halte busway di istiqlal. Tapi, tante juga nggak seberapa tahu. Udah sih, besok tante anterin kesananya. Tenang aja."
"Emang Tina nggak mau pake mobil tante?"
"Tina mana berani bawa? Yang ada juga tante yang nyupirin dia. Lagian, dia ntar sore terbang ke singapura kok."
"Beneran tante? Emang tante berani nyetir ke istiqlal?"
"Bisa sih. Tapi tante nggak tau jalannya. Jadi, besok ada sepupu yang nganterin kok. Udah, kamu tenang aja. Yang penting nyampe di istiqlal jam 8 pagi kan?"
Saya nyengir. Bahagia. Padahal saya udah menyiapkan diri untuk sedikit tersesat, tapi, syukurlah kalau saya diperlakukan bak putri. Hii hii.
# # #
"Denger-denger kamu lulusan HI juga ya?"
"Iya."
"Saya juga lulusan HI loh. HI Unpar. Tapi tahunnya udah tua. Hehe."
"Oh, iya ya kak."
"Sekarang, aktivitas kamu apa? Denger-denger katanya kamu ini pinter tapi nggak diijinin kerja sama orangtuamu ya?"
Saya cuma nyengir.
"Lulusan HI itu gampang-gampang susah. Jurusan yang terlalu luas cakupannya jadi kalo ngomongin lapangan kerja, ujung-ujungnya idealisme ngilang nggak tau kemana. Perhatiin deh, lulusan HI banyakan kerjanya dimana: Di Bank. Sementara idealismenya kemana?"
Saya cuma senyum. Dalam hati membenarkan.
"Padahal, sejujurnya kalo dipikir-pikir, worthless banget deh anak HI kerja di Bank. Tapi kalo mau ngejer kedubes apa deplu, malahan didominasi sama lulusan hukum. Jarang yang HI malah. Kamu dulu masuk HI karena apa?"
"Kenapa ya kak, hm, dulu masih lugu kak. Pilih HI karena keren. Karena HI dulu rasanya langka. Nggak kayak komunikasi apa akuntansi yang dimana-mana ada. Hehe." Nggak tahu kenapa, saya sejujur itu.
"Nah, see. Saya dulu juga gitu. Denger HI itu, kayaknya keren. Dulu masuk Unpar, kalo bilang kuliah jurusan HI, kayaknya beda banget. Keren gimana gitu. Tapi, setelah lulus, baru mikir, sekedar keren itu ternyata nggak cukup."
Dia tersenyum lalu melanjutkan, "Makanya, kalo di dunia kerja, yang dibutuhin adalah skill. Kamu punya skill, hayok lanjut. Kalo nggak punya skill, ya kamu tertinggal. Dan, sekarang coba pikir, kerja apa yang paling enak?"
Saya nggak nyambung sama omongannya. Saya garuk-garuk kepala. Nggak tahu mau ngomong apa, saya nyengir dan bilang, "Hm, apa ya... " masih sambil nyengir.
"Di dunia ini.... blaa blaa blaa." Saya mendengar angka statistik itu disebut-sebut lagi. Yang di dunia ini uang melimpah justru dipegang oleh manusia dengan statistik paling rendah, sementara mayoritas manusia berkutat pada pekerjaan dengan gaji kecil. Lalu, kurva yang pernah saya lihat di salah satu seminar itu pun membayang di depan mataku lagi. Tapi, saya masih saja duduk di kursi dan mendengar orang asing di depanku ini terus berbicara. Kenapa saya nggak pergi saja? Karena dia terus berbicara dan berbicara...
"Dan, kamu tahu nggak, lebih enak berbisnis dengan barang atau berbisnis dengan orang?"
Saya sebenernya capek, tapi entahlah, mungkin saya ngerasa nggak enak, mungkin saya menghormati tante si pemilik rumah, entahlah. Jadi saya tetep menjawab, "Hm, saya sih nggak bisa dagang kak. Jadi, saya lebih suka berurusan dengan orang daripada barang."
"That's right. Lebih enak dan mudah berurusan dengan orang ketimbang barang. Jadi, berbisnislah dengan orang jangan berbisnis dengan barang." Dia tersenyum.
Sebenarnya saya nggak mengerti dengan apa yang dia katakan. Tapi, demi kesopanan, saya mencoba tersenyum.
"Well, saya ada urusan bentar. Jadi saya pergi dulu ya. Makasih buat diskusi kita sore ini. Fiko, Abi pergi dulu ya.."
Fiko, anak tante si pemilik rumah cuma mengangguk. Sedetik kemudian dia berteriak, "Abi, besok kita jadi jalan-jalan kan yah?"
Lelaki itu menengok, sambil tersenyum dia melayangkan jempolnya. Lalu berlalu.
"Tante, dia itu siapa sih? Sepupunya tante?
"Hm, dia itu sepupuan sama iparnya tante."
"Oh, kerjanya apa tante?"
"Hm, kalo misalnya SCTV mau bikin mug atau jam itu dia yang ngurusin. Yah, semacam itu lah."
Tante seperti nggak yakin dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Tapi, sekali lagi, saya memang sedang bodoh saat itu.
# # #
"Vi, udah siap? Kamu dianter sampe istiqlal aja?"
"Iya tante. Janjian sama temen ketemu di halte istiqlal. Katanya pas depan pintu masuk istiqlal. Fiko ikut tante?"
"Iya. Ini kan masih jam 3 in 1. Jadi biar mobil penuh Fiko juga diajak aja."
"Trus, dari istiqlal tante mau kemana?"
"Paling ngajak Fiko jalan keliling-keliling. Udah yuk, mobilnya ada di depan.
"Fik, ayo ke mobil." Saya menuju parkiran. Disana sudah berdiri lelaki itu, sambil memegang lap yang sesekali digosokkan di kaca depan mobil. Ford merah itu kelihatan mentereng sekali.
Saya duduk di kursi belakang di samping Fiko. Anak kelas 3 SD itu kelihatan masih mengantuk. Saya melirik jam di hape. Masih jam 7. Lelaki itu sudah sigap di depan stir. Tante duduk di sebelahnya.
"Kita ke istiqlal kan ini?" Sambil fokus ke jalan, lelaki itu mengkonfirmasi ulang."
"Bi, tau halte istiqlal nggak? Katanya Novi minta turun disitu. Janjian sama temennya."
"Iya, katanya pas depan pintu masuk istiqlal."
"Istiqlal itu banyak pintu masuknya, Nov. Haltenya juga ada beberapa disana. Ntar kita puterin aja istiqlal ya. Kamu sambil sms temenmu."
Saya sigap dengan hape di tangan. Dan, ternyata cuma lima belas menitan saya udah nyampe di istiqlal. Dengan selamat. Saya mengucapkan terima kasih, lalu turun. Mengirim sms ke teman saya, lalu melihat-lihat sekeliling. Ford merah milik tante melaju keluar dari istiqlal. Saya takjub dengan masjid di depan saya. Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di area istiqlal.
# # #
"Fik, tadi jalan-jalan kemana aja? Kok jam segini udah pulang?"
"Keliling-keliling aja tadi si Abi. Diajakin mampir ke senayan, malah ke grand ambassador. Mobilnya tadi mau dipinjem sama Abi ke Bekasi."
"Oh. Emang kak Abi tinggal dimana fik?"
"Hah, siapa?"
"Kak Abi. Udah pulang?"
"Hah? Abi? Lagi ke Bekasi."
"Bawa mobil?"
"Ho oh."
# # #
"Tante, Novi pulang dulu ya. Makasih buat semuanya. Maafin kalo ada salah-salah ya tan."
"Ih, kayak apa aja sih kamu itu. Hati-hati di jalan ya. Sering-sering main kesini. Papi kamu udah sampe mana?"
"Udah sampe depan tante. Paling bentar lagi nyampe. Salam buat Tina ya tan. Maaf nggak sempet ketemu."
"Iya, maafin Tina ya. Dia terbang terus. Nggak tahu, di Garuda sesibuk itu ya. Hehe."
Nggak ada 5 menit, Papi datang. Saya sudah siap dengan ransel hijau kesayangan. Saya pamit sekali lagi. Tante dan Fiko mengantar sampai pintu. Saya dan Papi menuju mobil.
Saya memilih duduk di kursi belakang. Membayangkan akan menempuh perjalanan jauh, bikin badan pegal-pegal. Jadi saya mengantisipasi untuk bisa ngelurusin badan.
Kira-kira sepuluh menit kemudian, ponsel saya berbunyi. Dari nyokap.
"Assalamu'alaikum. Kenapa mom? Ini ade udah dijemput sama Papi. Udah mau pulang."
"Iya, hati-hati. Banyak2 berdoa. Tadi barusan tante telp mom. Ngaku semuanya. Jadi kamu disana ketemu sama Evan? Evan nginep disana?"
"Hah, Evan siapa mom? Kemaren sih emang ada orang tapi bukannya namanya Abi ya? Tante sama Fiko manggilnya Abi."
"Hah, jadi tante sama Fiko udah manggil Evan dengan Abi? Astaghfirullah nikah aja belum. Ya udah lah, alhamdulillah kalo kamu kamu nggak tahu nggak apa-apa. Lebih bagus malah. Jadi nggak ngotorin hati kamu. Ya udah, banyak-banyak berdoa selama perjalanan ya. Hati-hati di jalan ya."
Saya nge-blank. Setelah mengucapkan salam saya menutup telp. Lalu, otak saya menyambung-nyambungkan peristiwa yang kemarin nggak terlihat oleh saya. Saya pernah mendengar nama Evan tersebut dalam percakapan nyokap dan tante. Evan, yang saya tahu adalah lelaki yang usianya jauh lebih muda dari tante, yang (katanya) nempel-nempel tante dan sering morotin uang tante. Dari beberapa kali yang saya dengar, nyokap sering menasehati tante untuk nggak terus-terusan berhubungan dengan Evan. Karena tiap kali tante mengadu Evan pinjam uang sekian, minta transfer sekian. Entahlah.
Tiba-tiba, air mata saya berebut keluar satu persatu. Di kursi belakang mobil, saya pura-pura berbaring. Saya berusaha menyembunyikan tangis dari Papi yang sedang serius menyetir. Entah kenapa, saya sedih sekali. Saya memikirkan tante, tina, dan fiko. Saya kasihan pada kehidupan mereka. Tapi, entahlah. Kenapa manusia bisa bodoh begitu? Entahlah. Saya benci memikirkannya.
Sejak hari itu, entah kenapa saya benci mendengar nama Abi. Entahlah. Saya merasa terganggu saja.
# # #
Flashback kejadian di pertengahan 2013 lalu. Hari ini, saya dengar tante si pemilik rumah bercerita kalau Evan sudah kabur entah kemana setelah mengantongi sekian rupiah. 'Kenapa tante nggak lapor polisi?' Tanya saya dalam hati. Itukah yang dinamakan cinta? Sungguh bodoh sekali.